Chapter 7

1937 Words
Satu tahun lamanya, aku menunggu. Aku sangat bahagia bertemu denganmu lagi. *** Izza sibuk mengangkat telpon. Beberapa kali ia mengeluh. Besok adalah hari pernikahannya, namun ada beberapa hal yang belum disiapkan. Setelah marah-marah, Izza menutup telpon. Ia menjatuhkan diri ke sofa. Hari ini adalah hari yang panjang dan melelahkan. Olly mengamati Izza dari dapur. Jam dinding menunjukkan pukul 21.00 WIB. Seharusnya, Izza tidur saja. Tidak baik untuk calon pengantin terlalu banyak pikiran. Olly meletakkan gelas, kemudian menghampiri Izza. "Mbak?" Olly memanggil Izza yang tiduran di sofa. "Mending tidur di kamar aja." Izza membuka kelopak mata. "Kamu pikir Mbak bisa tidur di saat seperti ini?" Olly menelan ludah susah payah. Nada suara Izza tidak bersahabat. "Em, itu .. tapi, kalo Mbak sakit gimana? Besok hari penting buat Mbak, kan?" Izza merubah posisi menjadi duduk. Ia menyuruh Olly duduk di sampingnya. Olly menuruti perintah Izza. Beberapa detik berlalu, Izza menatap layar televisi tanpa berbicara satu patah katapun. Olly melirik Izza sekilas. Kantong mata Izza semakin terlihat. Tatapan Izza terlihat lelah. "Kenapa?" Izza berucap sambil menatap layar televisi. "Mbak jadi keriput, kah?" "Hah?" Olly mengangga, kemudian tertawa. "Iya, Mbak. Ada keriput di pipi kanan, pipi kiri juga ada." "Beneran?" Izza panik. Ia segera mencari cermin dan melihat wajahnya sendiri. "Di mana? Gak ada, kok. Kamu bohong, ya?!" "Hahaha .. Mbak Izza lucu kalo lagi panik. Kayak badut." "Berani, ya, kamu ngerjain Mbak! Sini .. Mbak gelitikin!" Izza mengelitiki pinggang Olly. Mereka tertawa. Olly berusaha menghindar, namun Izza terlalu pandai dalam hal mengelitiki. "Udah, Mbak! Geli, tau!" Izza menghentikan aksinya. Ia duduk dan menarik napas dalam-dalam. Olly juga duduk di samping Izza. "Mbak, kalau nanti Mbak udah nikah, apa kita masih bisa kayak gini?" Izza menatap Olly. Ia tidak langsung menjawab. "Menurut kamu, gimana?" "Lah, kok, malah balik tanya?" Izza membenarkan posisi duduknya. "Apapun yang kita pilih, pasti ada risikonya. Termasuk pernikahan Mbak. Sedikit banyak pasti ada perubahan, tapi .. " Olly menaikkan satu alisnya. "Tapi?" "Tapi, kita tetap keluarga. Kamu adik Mbak. Kamu tanggungjawab Mbak. Sebisa mungkin, Mbak selalu ada buat kamu." jawab Izza. "Lagipula, ketika Mbak Izza udah nikah, kamu masih tinggal satu rumah sama Mbak, kan? Mbak gak jauh-jauh dari kamu. Sekalian, kalo nanti Mbak udah punya dedek bayi, kamu jadi babysitter. Lumayan, tuh. Gak usah nyewa orang, gak keluar duit juga." "Gak mau. Olly gak suka anak kecil." Izza tertawa, kemudian mengacak-acak rambut Olly. "Bercanda." Hening. Izza menatap layar televisi yang mengabarkan berita terkini. Sesekali, Izza mengoceh jika menurutnya tidak sesuai. Olly memperhatikan Izza lekat. Tinggal menunggu waktu, Izza akan dipinang Radhi. "Mbak, apartemen ini habis bulan depan, kan? Terus, nanti kita tinggal di mana?" "Untuk sementara waktu, kita tinggal di rumah mertua." Izza tidak mengalihkan pandangan dari layar televisi. "Hah?" Olly terkejut. "Gak mau, ah! Nanti canggung sama keluarga Mas Radhi." "Lebay kamu, ah. Keluarga Radhi baik, kok. Ada Bianca, adiknya Mas Radhi. Nanti kamu bisa ngobrol sama dia. Terus, ada adik Radhi yang laki-laki. Siapa namanya? Mbak lupa. Adi? Ade? Bejo? Paijo? Aih, lupa!" "Tetep canggung, Mbak." Izza mencubit pipi Olly. "Bandel banget kamu. Nurut aja apa susahnya, sih?" "Aarghh! Sakit, Mbak! Main cubit aja!" Olly bersungut-sungut. Ia kesal. Izza mencubit pipinya sangat kencang. Kalau melar bagaimana? "Hehe .. habis kamu nyebelin." Izza berdiri dari tempat duduknya. Ia berjalan menuju kamar. "Mbak tidur duluan. Kamu jangan lupa tidur. Inget, besok bangun pagi. Jangan telat! Akadnya jam sembilan, loh." Olly berdecak kesal. "Iya, iya. Dasar cerewet!" Setelah kepergian Izza, Olly menatap kosong layar televisi. Sejujurnya, Olly sedih. Izza menemukan seseorang yang tepat. Seseorang yang menjadi tempat ternyaman Izza mengadu tentang dunia. Ia takut Izza berubah dan meninggalkan dirinya. Tetapi, tidak sopan jika ia menentang pernikahan Izza. Memangnya Izza bersedia menjadi perawan tua? Tentu saja, tidak! Olly berjalan menuju salah satu figura. Di dalam foto itu Monika tersenyum manis. Olly ikut tersenyum. "Bunda, Olly rindu. Bunda baik-baik saja? Bunda bahagia di sana?" Olly mengambil figura foto tersebut. "Besok Mbak Izza menikah, Bunda. Olly sedih, tapi Olly juga bahagia karena Mbak Izza menemukan kebahagiaannya. Bunda, jaga Olly dari atas sana." Olly memeluk figura foto tersebut dan membawanya ke kamar. Di malam yang sunyi, Olly tidur bersama Monika. Meskipun, hanya foto saja. *** Olly menatap haru Izza dan Radhi. Ijab qobul telah diucapkan satu jam yang lalu. Detik ini, Izza resmi menjadi istri sah Radhi. Izza dan Radhi terlihat bahagia. Mereka menyambut tamu dengan senyuman paling indah. Di dalam hati, Olly bahagia. Izza menemukan kebahagiaan. Ia berharap pernikahan Izza dan Radhi langgeng dan direstui Allah SWT. "Olly, kenapa nangis?" Alena panik melihat air mata jatuh dari sudut mata Olly. "Hah? Masa, sih?" Olly mengusap pipinya. Benar, air matanya terjatuh. Dengan cepat, Olly menghapus air mata itu. "Gue gak papa, kok. Gue cuma bahagia." "Ooh, gue kira lo nangis karena patah hati ditinggal Andro." Alena melanjutkan makan bakso. "Lo gak nyesel ditinggal Andro, Ly?" Olly menyatukan kedua alisnya. "Ngapain gue nyesel?" "Kali aja lo cinta sama Andro, tapi gengsi. Sekarang zamannya cinta tapi gengsi." "Gak usah kebanyakan nonton sinetron, deh, Len. Otak lo jadi geser." "Astaghfirullah, mulutnya dijaga, neng. Pedes kayak samyang." Olly tidak mendengarkan ucapan Alena. Ia memakan siomay yang ia ambil dari salah satu stand makanan. Alena menggerutu karena Olly tidak menggubris ucapannya. Sabar. "Eh, Ly, kata lo Mas Radhi punya adik laki-laki, kan?" Alena celingak-celinguk mencari seseorang. "Tapi, kok, gak keliatan, ya? Atau adiknya Mas Radhi transparan?" "Hush! Lo ngomong apaan, sih? Gak sopan tau." Alena memutar bola mata jengah. "Ly, yang gak sopan itu lo, ya .. dari tadi mulut lo yang gak punya rem." "Kata siapa?" "Ka--" "Olly, sini!" Ucapan Alena terpotong karena Izza memanggil Olly untuk foto bersama. Olly segera menghampiri Izza dan meninggalkan Alena. Kesal. Alena sangat kesal. Dalam hati, ia menyumpahi Olly. Jika ia tidak memiliki hati, ia ingin sekali melempar bakso ke arah Olly. Di sisi lain, Olly foto bersama dengan Izza dan Radhi. Tidak hanya mereka, Olly juga foto dengan Tante Eva dan Om Rizal--ibu dan ayah Radhi. Tidak lupa, Bianca--adik terakhir Radhi--juga ikut foto bersama. Namun, ada yang kurang. "Bunda, Kakak ke mana?" Pertanyaan Bianca mewakili pertanyaan Olly. "Bentar, Kakakmu emang lemot." Tante Eva kesal. "Bisa-bisanya Ravin ketiduran di hari pernikahan kakak kandungnya. Keterlaluan itu anak!" Sebentar .. namanya siapa? Ravin? Sepertinya, ia pernah mendengar nama itu. Nama yang sangat familiar di telinga Olly. "Nah, itu dia!" Tante Eva menunjuk seorang laki-laki jakung berparas cina. "Ravin! Sini! Cepetan, ditungguin ini!" Olly mengalihkan pandangan ke arah seorang laki-laki yang ditunjuk Tante Eva. Laki-laki itu mengenakan batik dengan motif yang sama. Ketika mata Olly dan Ravin beradu, mereka menyadari bahwa mereka pernah bertemu satu tahun yang lalu. "Lo?!" "Lo?!" Olly dan Ravin saling menunjuk satu sama lain. Mata mereka membelalak. Apakah semesta sedang bercanda? Orang yang paling Olly hindari, sekarang menjadi kakak iparnya? Fixs, ini tidak lucu! *** "Aduh, ternyata kalian saling kenal, toh?" Om Rizal tertawa. "Kenapa gak bilang dari awal?" Setelah foto bersama, Olly diwawancarai oleh keluarga Radhi. Izza ikut tertawa seakan kejadian hari ini adalah hal paling lucu. Olly melengos. Menurutnya, hari ini adalah hari paling menyebalkan. "Bagaimana mau bilang, Pa? Mereka baru ketemu hari ini." jawab Tante Eva. "Ravin itu gak pernah dateng kalo ada acara penting. Tunangan Radhi aja dia keluyuran sama temen-temennya. Hari ini kalau tadi Bunda gak guyur air, Ravin gak bakal bangun, Pa." "Iya, Bun. Kak Rav emang kebo. Udah kebo, jelek lagi. Pantes aja gak punya pacar! Wleee .. " Bianca menjulurkan lidahnya, mengejek Ravin yang tidak tahu malu. Karena kesal, Ravin melempar kulit kacang ke arah Bianca. "Kebanyakan ngomong lo, bocil! Diem ae." "Bunda!! Kak Rav nakal!" Bianca mengadu. "Aelah, gak seru lo, ah! Dasar tukang ngadu!" "Biarin, wleee .. " Bianca menjulurkan lidah lagi. Olly menarik napas dalam-dalam. Entah mengapa Olly tidak suka melihat Ravin. Olly belum bisa menerima kenyataan bahwa Ravin kakak iparnya. Lelaki model Ravin menjadi kakak ipar? Tidak salah? Sifat dan kelakuan Ravin jauh dari ekspektasi Olly. Apalagi, setelah ini mereka tinggal satu rumah? Tante Eva menepuk punggung Olly. "Olly?" Olly terkejut. Ia sadar dari lamunannya. "Eh, iya, Tante?" "Duh, kamu gak denger, ya?" Olly tersenyum canggung. "Maaf, Tante." Tante Eva tidak marah. Ia tersenyum tulus. "Kamu kapan ketemu Ravin? Ketemu di mana?" "Itu .. " Olly melirik Ravin. Laki-laki itu santai memakan cemilan di depannya. "Olly ketemu Ravin di kafe, Tante." "Oh, jadi, kalian gak sengaja ketemu?" Tante Eva tertawa. "Berarti jodoh, dong!" "Uhuk! Uhuk!" Ravin tersedak kacang yang ia makan. Ia memukul dadanya kuat. "Minum! Kalo gak minum gue mati, nih!" "Apaan, sih? Lebay, deh, Kak Rav." Bianca menyodorkan air mineral kepada Ravin. Ravin meneguk air itu secepat mungkin. Setelah minum, ia menatap Olly. Perempuan berambut panjang itu sangat cantik. Senyumnya indah. Tatapan matanya juga menarik. d**a Ravin berdisko. Jantungnya berdegup kencang. "Tante, Om, Olly ke toilet sebentar, ya .. " Olly berdiri dan pamit ke belakang. Tante Eva dan Om Rizal mengangguk pelan. Setelah itu, Olly berjalan meninggalkan mereka. Ravin menatap Olly. Pertemuan kedua mereka begitu mengejutkan. Ravin tidak menyangka ia akan bertemu Olly sebagai kakak ipar. Apakah kakak ipar boleh mencintai adik iparnya? *** Ravin menunggu Olly di depan toilet. Ia mondar-mandir seperti orang tidak waras. Ia harus berkenalan dengan Olly. Tentu saja, bukan dengan cara konyol, melainkan cara yang keren. Ravin ingin dikenal Olly sebagai laki-laki yang dingin, tapi keren. "Gimana cara kenalannya?" Ravin bergumam. "Gue perlu sujud gak, sih? Atau ngesot aja?" Ravin mondar-mandir dengan mengigit kuku jari. Ia berdehem dan mengulurkan tangan seperti mengajak seseorang berkenalan. "Ekhm! Olly, kenalin gue Ravin. Salam kenal. Aish! Geli, ah! Cupu banget." "Olly, gue suka sama lo. Anjir, kenapa nembak?! b**o!" "Olly, apa kabar? Lo inget gue, kan? Gak! Sok kenal banget!" "Olly, gue mau nikah sama lo!" "Apa?" Olly keluar dari toilet dengan wajah datar. Ravin tergelak. Tubuhnya mati rasa. Tatapan Olly datar, tetapi menusuk jantung Ravin. Mengapa jadi begini? Ravin berniat berkenalan dengan cara normal, tetapi malah menjadi abnormal? "Lo mau nikah sama siapa?" "ENGGAK! GUE GAK MAU NIKAH SAMA LO!" Tanpa sengaja, nada suara Ravin meninggi. Ia segera membungkam mulutnya. "Eh, maksud gue, gue .. gue .. " Olly berkedip dua kali. Ia menatap Ravin aneh. Ditatapnya Ravin dari atas ke bawah. "Gue benci sama lo!" "Hah?" Ravin mengutuk dirinya sendiri. Ia gugup dan salah tingkah. Mulutnya tidak bisa diajak kompromi. "Maksud gue--" "Makasih udah benci sama gue." Olly tersenyum tipis. "Gak semua orang berani ngungkapin perasaannya kayak lo." Setelah berkata demikian, Olly meninggalkan Ravin. Ravin terdiam. Ia tidak bisa bergerak sedikitpun. Pertemuan kedua mereka tidak berjalan baik. Ravin menjambak rambut kuat-kuat. Berulangkali, ia menyalahkan diri sendiri. "Enggak! Gak bisa dibiarin. Gue harus ngajak Olly kenalan." Ravin bergumam. Ia berlari mencari Olly. Matanya menyusuri setiap sudut ruangan mencari sosok Olly. Beberapa detik kemudian, Ravin menemukan Olly berbicara dengan Alena. Ravin memantapkan hati, menarik napas dalam-dalam, dan menghampiri Olly. Kali ini, ia tidak boleh gagal. Ia tidak boleh memalukan diri sendiri. Ravin berjalan mantap. Kepercayaan dirinya meningkat. Ketika fokus pada Olly, tanpa sadar, kaki Ravin menginjak kulit pisang. GEDUBRAK! Ravin terpeleset dan tangannya berpegangan pada kaki Olly yang berdiri tidak jauh dari tempatnya. Kebetulan saat itu, Olly mengenakan dress batik. Olly menatap Ravin yang berpegangan kakinya. Bukannya berdiri, Ravin malah mendongak ke atas--hal yang tidak seharusnya ia lihat. "KYAAAA! MBAK IZZA, RAVIN NGINTIP OLLY! KYAAA!" Olly merebut nampan dari pelayan dan memukul Ravin dengan nampan. "DASAR m***m! MATI AJA SANA! MATI!" "Aduh, sakit, woi! Gue gak ngintip lo, anjir! Kenapa lo kege'eran?" "Apa? Masih berani ngeles?! Mbak Izza panggil polisi sekarang juga!!!" Suasana yang seharusnya damai menjadi riuh. Semua tamu tertawa terbahak-bahak melihat interaksi Olly dan Ravin. Mereka sangat lucu. Ternyata, Ravin gagal menjadi manusia keren untuk Olly. Rencana Ravin tidak berhasil. Ia gagal total. Pertemuan mereka tidak sempurna. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD