Chapter 6

1993 Words
Kuatlah seperti pepohonan karena hidup tidak selalu ramah. *** Satu tahun kemudian. Sebuah panggung kelulusan berdiri megah dan indah. Murid perempuan berdandan dan memakai kebaya tradisional. Murid laki-laki mengenakan jas hitam. Mereka terlihat cantik dan tampan. Setiap murid berlomba-lomba mengabaikan moment istimewa dengan kamera. Bergaya formal atau sekocak mungkin. Hari adalah hari kebebasan. Hari ini adalah hari kemenangan. "Olly, selamat atas kelulusannya .. adik Mbak udah lulus SMP, nih. Udah gede, dong." Izza mengusap rambut Olly penuh cinta. Ia tersenyum bahagia dan memeluk Olly. "Oh, sebentar lagi masuk SMA, udah siap jatuh cinta belom?" Olly melepaskan pelukan Izza dan menatap sang Kakak dengan tatapan tidak suka. "Apaan, sih?! Belom juga masuk, udah ngomong cinta-cintaan. Gak sopan, tau!" "Kamu ini galak banget, turun siapa, sih?" Izza terkekeh. "Bunda." Kekehan Izza berhenti. Ditatapnya Olly. Raut wajah Olly terlihat sedih. Kenangan masa lalu mengelayuti hati dan pikirannya. Izza menghela napas kasar. Satu tahun berlalu setelah Monika meninggalkan mereka. Kepergian Monika memberi luka tersendiri. "Olly, Bunda udah bahagia di sana." Ucapan Izza membuat Olly menatap sang Kakak. "Kalau Bunda ada di sini, Bunda pasti gak ingin kamu sedih. Hari ini, hari kemenangan kamu, loh. Masa muka kamu murung gitu? Senyum, deh. Pasti cantik." Olly tersenyum singkat. "Makasih, Mbak. Makasih untuk selalu ada buat Olly." "Gak gratis, ya .. " Izza menahan senyum. Terbesit dipikirannya untuk berniat jail. Ekspresi Olly berubah drastis. Jelas sekali kalau Olly kecewa dengan ucapan Izza. Jadi, selama ini Izza tidak tulus? Izza tertawa terbahak-bahak. "Jhahaha! Kamu lucu banget kalo dikerjain." "Issh! Mbak Izza apaan, sih?! Aku kira beneran!" Olly mengerucutkan bibir kesal. Izza mengacak-acak rambut Olly gemas. "Aduh, adik Mbak polos banget, sih. Jadi, tambah sayang." "Halah, boong, tuh." Izza tersenyum, kemudian memeluk erat Olly. "Mbak gak pernah bohong soal menyayangimu, Olly. You're my everything in my life." Olly membalas pelukan Izza. "I know my love is not great, but I'll make sure it makes you happy. Thank you and i love you." Tiba-tiba, Alena datang dan memeluk Izza dan Olly. "Alena ikutan, dong. Alena juga mau dipeluk." Mereka tertawa. Sikap Alena seperti anak kecil yang merengek meminta permen. Ternyata, bahagia itu sederhana. Tidak perlu muluk-muluk. Cukup dengan bersyukur, bahagia akan datang tanpa diminta. "Ly, ayo, ke sana! Acaranya mau dimulai, tuh." Alena menarik tangan Olly agar mengikutinya. "Iya, iya! Sabar." Olly menoleh ke arah Izza. "Mbak, Olly---" "Iya, Mbak tunggu di sini." Izza tersenyum lebar. Olly mengikuti langkah kaki Alena. Acara yang ia tunggu, akhirnya tiba. Olly menoleh ke arah Izza dan tersenyum. Meskipun, Izza adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki, Olly tidak pernah merasa sendirian. Izza lebih dari cukup untuk menjadi matahari di hidupnya. *** Ravin mencomot satu bakwan dari piring. Mengunyahnya cepat, kemudian mengambil lagi. Ravin, Emo, Eno, dan Bambang menikmati jam istirahat di kantin. Ujian akhir semester telah dilaksanakan. Tidak ada kegiatan selain class meeting dan penerimaan raport hari Jum'at. Suasana kantin tidak seramai biasanya. Pembelinya sibuk menonton lomba di lapangan utama. Mengapa Ravin berada di kantin? Karena ia perlu tenaga setelah mengacaukan acara OSIS yang membuat sang Ketua OSIS murka. Bagi Ravin, tidak ada hari tanpa niat yang jail. "Buset, lo makan apa lari pagi, Vin? Cepet amat." Bambang mengoceh melihat Ravin yang kesetanan memakan bakwan. "Mengisi nutrisi setelah perang besar." Ravin menjawab dengan mulut penuh makanan. "Heran gue, badan cungkring tapi makannya banyak banget. Nutrisi lo ilang ke mana?" Emo menyuapkan bakso ke dalam mulut. "Eh, Mo, lo lupa? Ravin kan bulu onta. Bulu onta mana punya lemak." Eno menyeletuk asal. "Iya, juga. Hahaha! Bulu onta Arab!" "Kebanyakan bacot lo pada." Ravin meneguk segelas es teh sekali tandas. "Eh, jengger ayam, ambilin gorengan di depan lo, dong." Bambang menunjuk dirinya sendiri. "Gue?" "Iyalah, masa tukang ojek? Cepetan, yam!" Bambang pasrah meraih piring di depannya dan menyerahkan pada Ravin. Baru kali ini, ada orang yang memanggilnya jengger ayam. Emo dan Eno tertawa melihat Ekspresi Bambang yang tidak terima. Bibir Bambang mengerucut lucu. Seorang atlet sepak takraw merajuk. Badan saja yang kekar, tapi hati lembek. "Vin, gue mau ngomong sama lo." Seorang perempuan berbando pink menghampiri Ravin. "Gak bisa. Sibuk." Ravin cuek dan mengabaikan perempuan itu. Emo, Eno, dan Bambang saling menatap. Perempuan yang berdiri di samping Ravin adalah Vania. Vania adalah salah satu perempuan populer di SMA 1 Bangsa. Tidak hanya cantik, Vania juga multitalenta. Vania mempunyai suara yang merdu. Ia menjuarai setiap ajang pencarian bakat. Para lelaki mengantri untuk merebutkan hatinya. Tidak ada yang tidak mau menjadi pacar Vania, kecuali Ravin. "Vin, please .. " Ravin meneguk es teh milik Eno. Kemudian, berdiri dan meninggalkan kantin. Vania mengepalkan kedua tangan. Satu tahun ia mengejar Ravin, tetapi Ravin tidak pernah menghargai usahanya. "RAVIN! GUE SUKA LO!" Ravin menghentikan langkah. Tidak ada yang tidak mendengar teriakan tersebut. Teriakan Vania menyita seluruh atensi pengunjung. Dalam hitungan detik, Ravin dan Vania menjadi bahan pembicaraan. Vania menghampiri Ravin. Ia meraih tangan Ravin dan menggenggamnya erat. "Gue mohon .. jangan kayak gini. Gue gak bisa--" "Apa yang lo pengen?" Ravin menatap Vania datar. "Eh? Gu-gue .. " "Lo pengen jadi pacar gue?" "Apa?" "Kalau pacaran sama gue buat lo berhenti ngejar gue, ayo, kita pacaran." Seluruh orang di kantin mengangga mendengar perkataan Ravin. Seorang Ravin mengajak Vania pacaran? Selama ini, Ravin tidak pernah pacaran. Bahkan, dekat dengan perempuan lain saja tidak pernah. Tetapi, tidak ada angin, tidak ada hujan, Ravin menerima pernyataan cinta Vania "Benarkah?" Vania tersenyum malu-malu. "Iya, gue mau jadi pacar lo." Ravin tersenyum miring. "Ck! Dasar .. " "Eh? Lo bilang apa, Vin?" Perkataan Ravin terlalu pelan untuk didengar. "Enggak papa." Ravin meninggalkan kantin dan menghilang. Vania menjerit-jerit kesenangan. Perempuan itu berpelukan dengan sahabatnya. Seperti mendapat kupon berhadiah, Vania sangat bahagia. "Gila si Ravin. Maksudnya apaan coba?" Emo berdecak kesal melihat tingkah Ravin. "Baru kali ini gue liat Ravin serius gitu, biasanya dibikin becanda. Ravin beneran kecantol Vania? Gak heran, sih. Vania cantik, mana bisa bulu onta nolak." Eno menyeruput es teh. "Tapi .. menurut gue, Ravin gak suka Vania." Bambang berargumen. "Lah, terus?" "No, lo salah kalo ngira Ravin gak bisa nolak Vania. Vania yang gak bisa ditolak Ravin. Mungkin, Ravin capek, akhirnya diiyain aja." Bambang bangkit dari tempat duduknya. "Kemon key, nyusul bulu onta. Kasian sendirian kayak kucing ilang." Emo bangkit dan mengikuti langkah Bambang. Eno tidak paham dengan perkataan Bambang, namun tidak memikirkannya terlalu dalam. Bagi mereka, Ravin adalah orang absurd dan tidak mudah ditebak. Bisa saja, hari ini Ravin tertawa, namun satu detik kemudian berubah menyeramkan. Ravin tetaplah Ravin. Si kocak yang terkadang tidak memakai otak. *** Acara kelulusan telah usai. Peserta diizinkan berfoto bebas. Setelah foto bersama dengan teman sekelas, Olly dan Alena mengelilingi sekolah yang akan mereka tinggalkan. Olly meminta Izza pulang terlebih dahulu karena ia ingin menghabiskan waktu dengan Alena. Terlebih lagi, Izza sibuk menyiapkan pernikahannya. Olly tidak ingin Izza kelelahan karena mengurus ini dan itu. Izza akan menikah? Tentu saja! Dengan siapa Izza akan menikah? Siapa lagi kalau bukan dengan Radhi? Pasti kalian terkejut atau malah tertawa? Dunia memang selucu itu. Pertemuan Izza dan Radhi yang tidak sengaja membuat mereka terikat satu sama lain. Jodoh tidak dapat ditebak. Orang yang awalnya tidak saling mengenal disatukan dalam akad pernikahan. "Olly, selamat, ya!" Alena memberikan selamat. "Lo hebat jadi lulusan terbaik. Nilai UN lo tinggi banget, sumpah. Gue mah bukan apa-apa." Olly memeluk Alena. "Jangan sedih." "Ih, siapa juga yang sedih?" Alena mengerucutkan bibir. "Gue bahagia tau!" "Masa?" "Iya, Olly! Sebel, deh!" Olly terkekeh pelan. Alena lucu sekali. Tidak apa jika Olly hanya memiliki satu teman. Satu teman yang tidak pernah meninggalkannya lebih penting daripada seribu teman yang ada ketika butuh saja. Olly beruntung memiliki Alena. "Len, foto, yuk!" Olly mengajak Alena foto bersama. "Asyiap!" Olly dan Alena bergaya di depan kamera. Beberapa foto dengan gaya berbeda-beda tersimpan. Olly tidak menyangka ia bertahan sampai hari ini. Setelah kematian Monika, Olly mengira hidupnya berantakan. Ternyata, ia baik-baik saja. "Mau gue fotoin?" Suara Andro menghentikan gerakan Olly dan Alena. Mereka saling menatap, kemudian mengangguk. Alena menyerahkan ponsel pada Andro. "Fotoin yang cakep, Ndro! Kalo jelek gue ketekin!" Alena melemparkan ancaman. "Iya, iya, cerewet lo." Andro mengambil beberapa foto Olly dan Alena. Sejujurnya, ia ingin berbicara dengan Olly. Andro sangat mencintai Olly. Ditolak berulang kali tidak membuatnya menyerah. Namun, kali ini, ia harus menyerah. "Nih, bagus, kan, kalo gue yang moto?" Andro tersenyum bangga. "Wah! Bagus banget!" Alena berteriak histeris. "Gue upload di **, ah!" "Dasar .. Ibu-ibu sosialita." umpat Andro. "Apa?" "Enggak apa-apa." Andro memutar bola mata kesal melihat Alena. Alena berbeda dengan Olly. Alena lebih bar-bar dan aktif, sedangkan Olly lebih banyak diam dan tidak berbicara ke sembarang orang. Terkadang, Andro ingin menjadi Alena yang bisa akrab dengan Olly. "Ly, gue mau ngomong." Andro menatap Olly serius. Olly menaikkan sebelah alisnya. Andro tersenyum miris. Lihat perbedaannya, kan? Olly bahkan tidak menjawab apapun. Bagi Olly, menaikkan sebelah alis berarti pertanyaan 'mau ngomong apa?' "Ikut gue, yuk!" "Alena?" Andro menatap Alena sebentar, kemudian menatap Olly. "Alena lagi asik sendiri. Lo gak liat dia asik liat foto?" Olly menatap Alena. Iya, perkataan Andro benar. Alena terlihat senang melihat hasil foto Andro. Mungkin, ketika ia membuka **, akan dipenuhi foto Alena. "Sebentar aja, Ly. Gue gak akan ngapa-ngapain lo, kok." Olly menimang sejenak, kemudian mengangguk. Andro berjalan menjauh dari Alena. Ia mengajak Olly ke rooftop. Pemandangan kota Semarang terpampang indah. Gedung-gedung tinggi berdiri kokoh. Lalu lintas yang tidak pernah sepi kendaraan. Orang-orang yang sibuk dengan urusan masing-masing. Beberapa detik, Andro dan Olly saling diam. Mereka menikmati pemandangan. Angin berhembus seakan-akan menjadi angin terakhir di mana Andro bersama Olly. "Ly .. " Tidak ada balasan dari sang Pemilik nama. Andro tersenyum perih. Ia tahu cintanya tidak terbalas. Meskipun sakit, Andro tetap mencintai Olly. "Gue mau pindah ke Bandung, Ly." Andro berkata sejujurnya. Olly melirik Andro. Tatapan Andro kosong. Jadi, alasan Andro sedih adalah ia akan pindah ke Bandung? "Hari ini, hari terakhir gue di Semarang, hari terakhir gue ketemu lo, Ly." "Kenapa pindah?" Andro tersenyum. "Nenek gue meninggal sebulan yang lalu, gak ada keluarga di Semarang, jadi, orang tua gue mutusin buat pindah ke Bandung. Setidaknya, di Bandung ada keluarga yang akan bantu ketika susah." Olly terdiam. Ia tahu menjadi Andro tidak mudah. Olly tidak bisa apa-apa. Ia tidak tahu bagaimana menghibur orang. "Gue cinta sama lo, Ly." Andro menatap Olly. "Mungkin, ini pengungkapan terakhir gue buat lo. Maafin gue, ya .. gue selalu ngerepotin lo." Andro tersenyum. "Mencintai lo adalah kebahagiaan buat gue. Terima kasih udah hadir dihidup gue. Terima kasih untuk tiga tahunnya. Tiga tahun mencintai lo tidak ada perubahan. Lo gak pengen jadi pacar gue?" Olly menggeleng. "Enggak." "Haha .. Udah berapa kali lo nolak gue, Ly? Lima puluh kali? Atau .. seratus kali?" "Maaf." "Lo gak usah minta maaf. Bukan salah lo, Ly. Lo punya hak buat nolak gue. Tugas gue cuma mencintai lo. Sebatas itu." Hening. Andro beradu dengan pikirannya sendiri. Perasaannya tidak dapat digambarkan. "Ly, jangan lupain gue, ya? Nembak lo seratus kali cukup buat lo ingat gue, kan?" Olly menatap Andro, kemudian tersenyum tipis. "Iya, gue gak akan lupain lo." Blush! Pipi Andro memerah. Olly tersenyum? Batin Andro berteriak dan memberontak. Pertama kalinya Olly tersenyum padanya. Sangat cantik. "Lo kenapa?" Olly bertanya. Andro terlihat memerah dan lesu. "Sakit?" "Ah! Eng-enggak. Gu-e ga-gak papa." Andro menggaruk tengkuk. Keringat dingin keluar dari pelipis. "Eh, Ly, gue duluan, ya! Bye!" Andro memacu langkah kaki menjauh dari Olly. Namun, langkahnya terhenti ketika Olly memanggil namanya. "Andro .. " "I-iya?" Olly tersenyum lebar. "Terima kasih udah cinta sama gue. Maaf gue gak bisa balas perasaan lo." Pipi Andro semakin memerah. Suhu tubuhnya meningkat. Rasanya jantung berdetak kencang seperti ingin keluar. Badannya terasa lemas tidak bertenaga. Senyum Olly cantik. Sangat cantik hingga tidak pantas untuk ia miliki. Andro tersenyum, kemudian mengangguk. "Iya, terima kasih kembali." Cinta bukan berarti memiliki. Cinta juga berarti melepaskan. Melepaskan apa yang tidak ditakdirkan untuk kita. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD