Chapter 5

1373 Words
Dia tidak pergi, melainkan kembali ke tempat asalnya. *** Olly menatap gundukan tanah merah di depannya. Sebuah batu nisan bertuliskan 'Monika Az-Zahra' terpampang jelas di depan mata. Satu persatu orang-orang meninggalkan tanah makam. Langit membiru. Awan menggantung indah di sana. Burung berterbangan riang. Cuaca cerah berbanding terbalik dengan suasana hati Olly. Ketika air mata Olly jatuh, dunia bergembira seolah-olah tidak terjadi apapun. "Olly, pulang, yuk .. " Izza mengusap punggung Olly lembut. Olly bergeming. Tatapannya tidak beralih dari batu nisan di depannya. "Olly, ayo, pulang .. " Izza tersenyum. "Keinginan kamu melihat Bunda sembuh udah terwujud." Olly menatap Izza penuh tanda tanya. "Maksud Mbak Izza apa?" Izza menghembuskan napas kasar sebelum menjawab, "Setiap yang hidup pasti mati. Kita tidak pernah tahu kapan ajal seseorang menjemput. Ketika Bunda memilih menyerah, bukan berarti Bunda menyerah sepenuhnya. Bunda hanya mengikuti takdir sang Pencipta." Izza menatap kedua mata Olly lekat. "Bunda sembuh, Olly. Sembuh bukan berarti sehat seperti semula. Ketika Bunda tidak lagi merasakan sakit karena kanker, itu juga termasuk sembuh. Sembuh dalam arti sesungguhnya." Olly terdiam. Air matanya kembali mengalir. Izza dengan sigap menghapus air mata itu. "Apa yang kamu rasakan, Mbak juga rasakan, Olly. Tetapi, kita tidak boleh sedih terus. Hidup tetap berjalan tidak peduli bagaimana perasaan kita." Izza mengelus rambut Olly yang berterbangan karena angin. "Kamu masih punya Mbak. Mbak janji selalu mendampingi kamu. Apapun yang terjadi, bahagia atau sedih, kita hadapi bersama, ya?" Olly mengangguk. "Iya, Mbak. Makasih udah nenangin Olly." Izza memeluk Olly erat. Di balik kacamata hitam yang Izza kenakan, air matanya mengalir deras. Hatinya terasa ngilu. Batu nisan di depannya terasa asing. Beberapa hari lalu, Monika masih bernapas, namun, hari ini tubuh Monika terkubur di bawah gundukan tanah. Izza melepaskan pelukannya, kemudian tersenyum. "Tugas kita adalah mendoakan Bunda. Ketika manusia telah tiada tidak ada yang bisa menyelamatkannya, kecuali tiga perkara. Sedekah jariah, Ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang sholeh. Olly maukan doain Bunda?" "Iya, Mbak, Olly bakal doain Bunda sehabis sholat." "Pinter." Izza mengacak-acak rambut Olly sambil tertawa. Sedangkan, Olly tersenyum tipis. Tidak bisa dipungkiri, kepergian Monika membuat Izza dan Olly terguncang. Namun, dibalik semua itu, mereka belajar untuk tetap tegar meskipun dunia sedang tidak ramah. Mereka belajar mengikhlaskan apa yang seharusnya pergi. Mereka juga belajar untuk saling menguatkan. "Olly .. " Suara lirih dari seseorang membuat Izza dan Olly menoleh ke belakang. Olly menatap datar. Tidak ada gerakan yang menandakan bahwa Olly senang atas kehadiran sahabatnya. Olly ingat, sebelum Monika meninggal, Olly bertengkar dengan Alena di salah satu mall. Olly tidak benci Alena. Namun, ada sedikit rasa kesal karena perkataan Alena yang menyakitkan. "Selesaikan masalah kalian. Mbak tunggu di depan, ya?" Izza menepuk punggung Olly dua kali sebelum meninggalkan adiknya. Setelah kepergian Izza, Olly diam seribu bahasa. Suara desiran angin memenuhi ruang antara Alena dan Olly. Alena gemetar. Keringat dingin bermunculan di dahinya. "Ly, gue minta maaf." Alena menunduk. "Gu-gue sa-salah. Maaf, Ly .. " Melihat Alena membuat Olly tidak tega. Alena tidak sepenuhnya salah. Alena tetap menemani Olly setelah mendengar kabar kematian Monika. Bahkan, Alena menginap di rumahnya agar ia tidak sedih. Olly menghela napas kasar, kemudian mendekati Alena dan tersenyum. "Gue juga minta maaf, ya? Gue egois dan gak mikirin perasaan lo." Alena mengangguk, kemudian memeluk Olly. "Makasih, Ly. Makasih .. " "Lepasin, ah! Diliatin orang, noh!" Olly memberontak. Namun, Alena tidak peduli dan semakin mengeratkan pelukannya. "Len, lepasin! Jijik, ah!" "Gue sayang lo, Ly." "Homo, Len. Haram!" "Hehe .. demi lo gue rela keluar jalur." "Gue yang gak rela!!" *** Izza menunggu Olly di dalam mobil. Ia mengistirahatkan diri sejenak. Izza tidak ingin menangis, namun, air matanya keluar tanpa izin. Ternyata, mengikhlaskan tidak semudah yang dibicarakan orang-orang. Mengikhlaskan terasa berat dan sulit dilakukan. Tok! Tok! Tok! Izza terkejut. Seseorang mengetuk kaca mobilnya. Di luar, Radhi tersenyum tipis. Izza berkedip dua kali. Ia tidak salah lihat, kan? Izza menghapus air mata, kemudian menurunkan kaca mobil. "Dok--eh, Radhi, ada apa?" "Izza, temani saya makan cendol." Radhi tersenyum lagi. "Hah? Cen-cendol?" "Kamu tidak mau? "Ah, i-iya, saya mau, Dok--eh, Radhi." Izza menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Radhi terkekeh pelan, kemudian membukakan pintu mobil untuk Izza. "Silakan." Izza merasakan pipinya memerah seperti tomat. Perilaku Radhi sangat manis. Beberapa detik, ia mengira Radhi memiliki perasaan padanya. Tidak mungkin laki-laki setampan Radhi memiliki perasaan untuknya. Tidak, ini dunia nyata bukan novel. Radhi memesan dua cendol, kemudian duduk di sebelah Izza. Hening. Tidak ada percakapan di antara keduanya. Izza memilin jari. Sesekali, ia melirik Radhi, kemudian melirik ke arah lain. "Radhi--" "Izza--" Izza dan Radhi memanggil di waktu yang sama. Izza menunduk. Pipinya terasa panas. Radhi menyeka peluh di dahi. Ia tidak menyangka damage yang dihasilkan sehebat ini. "Loh, loh, Mas sama Mbak kok malu-malu gitu?" Ibu penjual cendol mengantar pesanan. "Aduh, Mas, langsung di dor aja, toh. Nanti keburu diambil orang." Radhi tersenyum canggung, sedangkan Izza semakin menunduk. "Mas ganteng, loh. Mbaknya juga cantik kayak Syahrini. Maju mundur cantik, Mbak. Bunga-bunga, hehe .. " Ibu penjual menirukan gaya Syahrini ketika berbicara. "Ya udah, saya gak ganggu, deh. Semoga beruntung, Mas." Setelah kepergian Ibu penjual, atmosfer di antara Izza dan Radhi semakin mencekam. Izza mengaduk cendol tanpa berniat memakannya, sedangkan Radhi melahap cendol dengan cepat. Mereka menikmati debaran jantung masing-masing. Berharap agar salah satu dari mereka tidak mendengar detak jantung yang bergetar hebat. "Izza dimakan cendolnya." Radhi memutuskan untuk mengawali pembicaraan. "I-iya, Radhi." Hening lagi. Suara deru motor yang melintas membuat Izza dan Radhi menjadi canggung. Seolah-olah motor itu mengejek Radhi yang tidak bisa mencari topik pembicaraan. "Izza .. " Izza yang berniat menyuapkan cendol ke mulut menghentikan pergerakan. Ia meletakkan sendok dan melirik Radhi. "Iya?" Radhi tersenyum. "Jangan bersedih. Kamu tidak sendirian. Kalau butuh sesuatu, kamu bilang saja ke saya. Saya akan bantu." Izza mengangguk dan tersenyum. "Terima kasih, Radhi." "Sama-sama." *** Tet! Teet! Tett! Jam istirahat SMA 1 BANGSA dimulai. Bel istirahat berbunyi nyaring. Kelas X Ips 4 berhamburan menyerbu kantin. Ravin tertidur tenang selama jam pelajaran. Tidak ada angin, tidak ada badai, tiba-tiba Ravin terbangun, menguap lebar, kemudian berlari meraih sapu. Emo, Eno, dan Bambang saling menatap. Tanpa dijelaskan, mereka tahu apa yang dilakukan Ravin. "AI LOP YOU BABEH!!" Ravin menaiki meja dan menyanyi sesuka hati. "AYO! SEMUA NYANYI!" "Betingkah ini bocah! Bikin susah aja!" Bambang mengumpat. "Hoi! Bulu onta! Lo malu-maluin gue, anjir! Turun!" Emo berlari dan menarik-narik Ravin agar turun dari meja. Bambang ikut membantu Emo. Ia menarik kaki kanan Ravin. Bergelayutan manja agar kaki Ravin tidak berpindah tempat. Eno mengarahkan Emo dan Bambang agar tidak menabrak teman lain. Seperti tukang parkir andal. "Kanan! Kanan! Eh, salah. Kiri, deng! Kiri, Mo! Kiri! Aelah, gue bilang kiri, oneng!" Eno mengintruksi. "Kiri, woi! Geser ke kiri, nyet! Di kanan ada Wati!" "Eh, beleduk! Lo enak ngomong, doang! Gue megangin bulu otak kayak megangin badak blesteran sapi tau gak?!" Emo memeluk erat kaki kiri Ravin. "Lagian, ini bocah tenaganya gede banget. Makan daging dinosaurus kali, ye?" "Mo, kebanyakan bacot lo kayak cewek depan komplek! Pegangin Ravin, jangan sampe lepas!" Bambang memegang kaki kanan Ravin kuat. "ANGKAT TANGANMU TEMAN-TEMAN!! NIKMATI KONSER RAVIN YANG GANTENG INI!" Ravin membuka mulut bersiap-siap menyanyi. "BALOOOONKUU ADAA LAMAAAA .. RU---mmbbh." Eno menyumpal mulut Ravin dengan taplak meja guru. Mulutnya komat-kamit di depan air mineral, kemudian meminum air tersebut dan menyemburkannya pada Ravin. BYUR! Karena Emo dan Bambang dekat dengan Ravin, mereka terkena semburan dari Eno. Wajah Ravin, Emo, dan Bambang basah terkena air semburan Eno. "Wahai, genderuwo, kuntilanak, tuyul, pergi lo dari tubuh sahabat gue!" Eno membaca mantra sambil meraup wajah Ravin. Dipeganginya kepala Ravin dan menyemburkan air lagi. "Pergi lo pada!" Ravin mengusap wajahnya. Ia menatap Eno datar. Begitupula Emo dan Bambang, mereka menatap Eno dengan tatapan seakan-akan ingin melahap hidup-hidup Eno. "Alah, Mak, anakmu salah lagi." Eno meringis, kemudian nyengir kuda. "Maap, ye .. maap banget, gue kagak sengaje. Nih, yee .. tadi itu ada setan kerasukan setan. Setannya stress karena bisulan di pantat." Ravin turun dari meja dan mendekati Eno. Tatapan Ravin datar, namun menyeramkan. Eno mundur perlahan sambil nyengar-nyengir, kemudian berlari dengan kekuatan kaki seribu. "MAMAKE TOLONG ANE!!" "ENOOO!!" Hari itu, Eno menjadi sasaran empuk untuk Ravin, Emo, dan Bambang. Hanya kekuatan doa yang mampu menyelamatkan Eno dari buasnya Ravin. Mari berdoa bersama. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD