Chapter 4

1780 Words
Olly berlari tergesa-gesa ketika matahari malu-malu menampakkan diri. Kaki kecilnya melangkah cepat menuju kamar Izza. “Mbak! Mbak Izza! Mbak Izza bangun!” Olly mengetuk tanpa henti sambil berteriak heboh. “Mbak Izza!” Di dalam kamar, Izza mengumpat. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 04.00 WIB. Untuk apa Olly membangunkannya? Masih terlalu pagi untuk menyiapkan sarapan dan berangkat sekolah. Dengan langkah gotai, Izza membuka pintu. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah senyuman Olly yang mengembang indah. “Apaan, sih? Berisik tau gak? Masih subuh, noh!” Izza menunjuk jendela dengan dagunya. Olly meraih tangan Izza dan menggenggamnya erat. Izza terkejut dengan gerakan cepat Olly. Ditatapnya Olly lekat. Adiknya menatapnya dengan mata puppy eyes. Untuk beberapa detik, Olly dan Izza saling menatap tanpa bicara. “Mbak Izza lupa, ya?” Olly melepaskan genggaman tangannya. Raut wajahnya terlihat lesu dan kecewa. “Mbak Izza lupa sama ulang tahun Bunda? Hari ini ulang tahun Bunda, Mbak .. “ Izza terdiam sejenak, kemudian menghela napas kasar. Melihat Olly sedih membuat Izza merasa bersalah. Izza tidak pernah lupa hari ulang tahun Monika. Mana mungkin ia melupakan hari penting orang yang melahirkannya? Hanya saja, tahun ini berbeda dengan tahun sebelumnya. Tahun ini Monika koma dan tidak tahu kapan akan bangun. Menyadari Monika yang terbaring lemah di rumah sakit membuat d**a Izza berdenyut nyeri. Izza menghampiri Olly yang merajuk. Adiknya membelakanginya dengan tangan bersedekap di d**a. Izza mengusap lembut bahu Olly. Dibawanya tubuh Olly agar berhadapan dengannya. Izza tersenyum. “Olly .. “ “Meskipun Bunda belum bangun, Mbak Izza gak boleh melewatkan hari ini.” Olly menatap mata Izza penuh pengharapan. “Kita rayakan ulang tahun Bunda, ya? Nanti Olly ajak Alena ke rumah sakit. Kita rayakan ulang tahun Bunda kayak tahun sebelumnya.” “Olly .. Bunda—“ “Olly tahu .. “ Mata Olly berkaca-kaca. Ia menatap langit-langit rumah agar cairan bening tidak jatuh dari sudut matanya. “Olly tahu .. umur Bunda gak akan lama .. Mbak Izza gak pernah bilang bukan berarti Olly gak tahu. Olly gak sebodoh itu, Mbak.” Izza mendekap Olly. Ia membiarkan Olly menangis sesenggukan dalam pelukannya. “Maaf .. maaf .. Mbak gak sangggup memberitahumu, Olly.” Suara Izza berubah parau. “Olly be-berhak tahu, Mbak .. Olly ju-ga anak Bun-da .. “ Olly semakin sesenggukan. Izza semakin mendekap Olly. Ia tidak mau Olly bersedih. Ia juga tidak mau Olly melihatnya menangis. “Mbak .. Olly pengen ngerayain ulang tahun Bunda.” Olly melepaskan dekapan Izza dan menghapus air mata dengan punggung tangan. Ia meraih kedua tangan Izza dan menatap mata Izza lekat. “Olly mohon ,, Olly gak tahu kapan Bunda pergi, tapi Olly pengen memberikan yang terbaik untuk Bunda.” Izza tersenyum dan mengusap rambut Olly. “Nanti kita rayakan ulang tahun Bunda. Ajak Alena juga.” Olly tersenyum tipis, kemudian memeluk Izza lagi. “Terima kasih, Mbak .. “ Izza mengangguk. Olly tahu merayakan ulang tahun Monika di rumah sakit bukan ide yang bagus. Tetapi, ia tidak ingin menyesal karena tidak sempat merayakannya. Bisa saja tahun ini adalah tahun terakhir Olly merayakan ulang tahun Monika. *** Olly dan Alena mengunjungi salah satu mall setelah jam pelajaran selesai. Mereka berencana membeli kue tart untuk acara ulang tahun Monika. Olly sangat antusias memilih kue Wajahnya memancarkan kebahagiaan. Alena mengikuti ke manapun Olly pergi—mengunjungi satu persatu toko kue di mall tersebut, meskipun tidak ada satupun yang Olly beli. “Len, di toko lain aja, deh. Di sini gak ada yang cocok sama selera Bunda.” Olly melangkah keluar dari toko kue, namun ditahan oleh Alena. “Ly, udah dua jam kita keliling mall buat cari kue doang. Kaki gue pegel, nih.” Alena memijat-mijat kakinya yang sakit. “Istirahat bentar, ya?” Olly berdecak kesal. “Ck! Makin lama nanti. Buruan!” Alena memutar bola mata jengah sambil mengikuti langkah Olly mengunjungi toko kue lainnya. Olly melihat-lihat, bertanya, kemudian keluar toko. Olly melakukan hal tersebut sebanyak lima kali di setiap toko kue yang ia kunjungi. Alena menarik napas dan menghembuskannya secara perlahan. Ia harus bersabar. Olly sedang pubertas. “Ly, kue ini lucu banget, deh. Tante Monika pasti suka.” Alena memperlihatkan kue tart berwarna biru langit dengan hiasan bunga cantik. Olly menghampiri Alena, kemudian menggeleng. “Bunda gak suka warna mencolok. Pilih yang lain aja.” “Gimana kalo yang ini?” Alena menunjuk etalase kaca yang berisi kue cokelat cantik. “Warnanya gak mencolok dan Bunda lo suka cokelat, kan? Cocok, tuh.” Lagi-lagi, Olly menggeleng. “Enggak. Gue gak suka hiasannya. Terlalu sederhana.” “Kalo yang ini? Hiasannya mewah, nih. Ada orang-orangannya, laki-laki sama perempuan. Yang laki ganteng, yang perempuan cantik. Lucu banget gak, sih?” Alena menunjuk salah satu kue cokelat yang mirip kue pernikahan. “Len, Bunda ulang tahun bukan mau nikah lagi.” “Iya juga, ya .. “ Alena mengangguk-anggukan kepala, kemudian menunjuk kue lainnya. “Ini, deh! Tante Monika belum pernah makan red valvet, kan?” Olly menggeleng. “Red valvet mahal, Len.” Alena menarik pergelangan tangan Olly menuju salah satu kue berwarna putih. “Kue vanilla kayaknya enak, deh. Ini aja, Ly.” “Hiasannya bagus, Bunda juga suka vanilla.” “Iya, kan? Ini aja!” “Tapi—“ “Eeiisssttt!” Alena menempelkan jarinya di bibir Olly. “Jangan banyak alasan, nanti gak jadi beli.” Olly menepis jari Alena. Ia memasang wajah garang. “Len, hari ini ulang tahun Bunda. Gue harus cari kue yang paling baik. Gue gak mau asal beli. Lo tau paham gak, sih? Lo gak tau perasaan gue, coba—“ “Lo egois, Ly.” Alena menatap Olly dengan tatapan kecewa. “Lo cuma mikirin diri lo sendiri.” “Apa?” “Gue tau hari ini adalah hari penting buat tante Monika, tapi lo sadar gak, sih? Tante Monika koma, sedangkan lo sibuk ke sana ke mari cari kue ulang tahun, keluar masuk toko kue, bingung memilih kue seakan-akan Tante Monika akan makan kue yang lo beli. Kita udah dua jam cari kue, tapi gak ada satupun kue yang lo beli? Lo gak mi—“ Ucapan Alena terhenti ketika menyadari ekspresi wajah Olly. Air mata terjatuh dari kedua mata Olly. Tatapan Olly berubah kecewa. Alena membeku. Ia sadar kalau perkataannya terlalu menyakitkan untuk Olly. Alena mendekati Olly, namun Olly mundur perlahan. “Ly, ma-maaf .. gu-gue gak bermaksud kayak gitu.” “Kalo lo gak mau nemenin gue, gak papa, kok. Lo tinggal bilang aja.” Olly menghapus air mata dengan kasar. “Gue pengen berharap sedikit. Sedikit aja, Len. Gue pengen Bunda sadar saat gue ngerayain ulang tahunnya. Apa itu salah, Len?” “Ly .. “ Alena berkaca-kaca. Kini, rasa bersalah menghantui dirinya. “Gue minta maaf .. Gue—“ “Lo bener, Len. Gue egois. Maaf .. maaf udah buat lo capek karena menenin gue. Seharusnya gue menerima kenyataan aja. Seharusnya gue gak bersikap bodoh seakan-akan Bunda akan sembuh kayak dulu lagi. Maaf, Len .. maaf .. “ Olly berbalik dan berlari meninggalkan Alena. Alena terdiam. Ia menatap punggung Olly yang perlahan-lahan menghilang. Berulangkali, ia meruntuki diri sendiri karena keterlaluan terhadap Olly. Seharusnya ia menuruti permintaan Olly. Bukan Olly yang egois, melainkan dirinya. Alena memikirkan dirinya sendiri. Ia hanya fokus pada rasa kesal dan lelahnya tanpa memikirkan perasaan Olly saat ini. Alena menangis sesenggukan sambil berucap. “Olly .. ma-maafin gue .. “ *** Olly memasuki area rumah sakit dengan mata sembab. Setelah bertengkar dengan Alena, Olly memutuskan membeli kue ulang tahun di toko yang ia lewati. Ia tidak bingung memilih kue. Perkataan Alena benar, tidak seharusnya ia keluar masuk toko seperti orang gila. Olly menghapus air matanya yang jatuh tanpa izin. Perkataan Alena memang menyakitkan, tetapi melalui perkataan itu, Olly sadar diri. Jika Alena tidak berkata seperti itu, mungkin saat ini, ia masih memilih kue. Ia akan membuang waktu dengan sia-sia. Langkah Olly terhenti. Matanya menangkap Dokter Radhi dan Izza. Dokter Radhi menggeleng lesu. Gurat kesedihan menggantung di wajahnya. Izza menangis histeris. Firasat Olly mengatakan hal buruk terjadi. “Maaf .. saya dan tim medis di rumah sakit ini sudah berusaha sekuat tenaga. Bu Monika telah berpulang pada Sang Pencipta.” “Enggak .. Radhi, selamatkan Bunda .. sa-saya mohon .. saya mo-mohon .. “ Izza menangis. Tubuhnya lemas dan jatuh ke lantai. “Saya mohon, Radhi .. se-selamatkan Bunda .. “ BURGH! Kotak kue yang dibawa Olly jatuh. Pipinya dipenuhi air mata. Dadanya terasa sesak dan sakit. Dunia Olly runtuh. Kabar kematian Monika membuat Olly mematung tidak bergerak. Izza bangkit dan memeluk Olly erat. “Olly .. Bun-da .. “ “Bunda masih hidup!” Olly melepaskan pelukan Izza dan berlari memasuki kamar Monika. Pemandangan pertama yang Olly lihat adalah tubuh Monika diselimuti kain putih. Olly terguncang. Pemandangan paling menyeramkan yang pernah Olly lihat. Kakinya patah-patah menghampiri Monika. Tidak! Pasti ini mimpi, iya, kan? Perlahan, tangan Olly membuka kain putih yang menyelimuti tubuh Monika. Tangannya bergetar. Ia menyangkal kenyataan bahwa Monika meninggalkannya tanpa mengucapkan kata pamit. Bagaikan ribuan pisau menghunus jantungnya, Olly merasakan sakit ketika melihat wajah Monika pucat pasi. “BUNDAA! BUNDAA JANGAN TINGGALKAN OLLY!” Olly memeluk erat tubuh Monika yang terbujur kaku. “Bunda .. Olly sayang Bunda .. jangan pergi, Bunda .. " Izza tidak kuasa menahan tangis. Melihat Olly membuat Izza semakin terluka. Ia mendekati Olly dan membawanya menjauh dari Monika. “Olly .. biarkan Bunda tenang di sana.” Olly menangis histeris. Perawat menutup kembali kain putih tubuh Monika dan membawa jenazah Monika menuju ruang jenazah. Olly ingin mengikuti Monika, namun tertahan oleh Izza. “Lepaskan Olly, Mbak! Olly mau ikut Bunda! Olly gak mau kehilangan Bunda! Bunda!!” “Olly .. jangan begini .. tolong .. ikhlaskan Bunda .. “ Izza memeluk erat Olly. Sangat erat hingga tak ingin Olly rapuh. Mereka menangis. Matahari kehidupan Izza dan Olly telah pergi. Meninggalkan sejuta kenangan dan rasa pedih. Kepergian Monika menyisahkan duka pada dunia Izza dan Olly. Inikah rasanya kehilangan seorang ibu? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD