Bab 1

1680 Words
Malam yang dingin untuk lelaki yang sedang meminum segelas s**u. Ia terus teringat dengan ucapan gadis pujaannya tadi siang. "Lo harus minum s**u yang banyak, biar tinggi." Oh, Stella sangat perhatian. Begitu pikir Bram. Tapi, apa dia tidak bisa mengucapkan kalimat itu dengan lebih lembut? Tanpa nada sinis dan mengejek, mungkin. "Bro, mau sampe berapa gelas lo minum s**u? Itu udah gelas ketiga. Daritadi gue ngitung." Bram langsung tersedak, mendengar ucapan Guntur. Membuat kaget saja, orang yang satu itu. "Pokoknya sampe gue tinggi. Kira-kira berapa gelas lagi, ya?" Bram menatap Guntur dengan putus asa. Guntur sejenak berpikir, lalu menghitung dengan jemarinya. "Menurut gue, apa yang lo lakukan sekarang itu bodoh. Mau sepuluh gelas, lo tetep aja nggak bisa tinggi dalam waktu singkat." Bram menyipitkan matanya. "Really?" Ia heran, kenapa Guntur kali ini terdengar pintar? "Ya! Mendingan lo ke sini, dan bantuin gue ngehabisin pizza. Ayo!" Bram menatap pizza di meja dengan mual. "Gue udah kenyang karena minum s**u. Lo aja yang makan, deh." "Ah, parah. Gue mesen banyak, gue kira lo juga laper." Guntur menekuk wajahnya. "Oke, gue makan. Tapi, nggak bisa banyak." Bram akhirnya duduk, dan mengambil satu potong pizza. "Gapapa, yang penting gue nggak makan sendirian." Bram mendengus geli. "Oh, Buddy..." Guntur menyengir, dan mereka berdua memakan pizza dengan tenang. Namun, tiba-tiba Bram berhenti makan karena teringat ucapan jahat Stella. "Bram, badan lo udah kecil. Tingkah lo jangan sampe kayak anak kecil juga, dong." Guntur mengernyit, melihat Bram yang melamun. "Lo mikirin apa?" Bram mengerjap, dan berdeham. "Erm ... nothing." "Gue bisa baca pikiran lo, lho. Dan menurut gue, lo lagi mikirin kata-kata bebeb gue." Bram mengernyit. "Bebeb lo?" "Iya, Stella." Oh, Bram lupa. Itu adalah panggilan sayang Guntur untuk Stella. "Oh, iya. Dia kalo ngomong jujur banget, ya." "Jujur nyelekit gimana gitu, ya?" Guntur tertawa, lalu kembali serius. "Sori, gue malah ikutan ngeledekin lo." "Gapapa, udah kebal," ucap Bram tersenyum miris. "Buddy, lo nggak pendek. Cuma imut-imut gemesin aja. Nggak ada yang salah menjadi lelaki imut. Lo harus pede!" Bram terkekeh. Guntur memang selalu bisa menghibur dirinya. "Makasih, gue merasa lebih baik." "Bagus! Jadi, berhenti minum s**u kayak orang gila. Jangan maksain diri lo buat tinggi, ngerti?" Bram mengangguk pelan. Lalu menyisir rambutnya dengan jemari. "Gue nggak masalah kalo diejek anak-anak yang lain. Tapi, kalo Stella ... gue ngerasa sedih." "Why?" Bram mengangkat bahunya. "Mungkin, karena dia berada di level yang jauh berbeda dari gue. Gue ngerasa bener-bener terhina, Buddy." Dan mungkin, karena dia adalah cewek yang gue suka sejak lama. Guntur menopang dagunya, lalu berpikir keras. "Level yang jauh dari lo? Merasa terhina? What the hell, Bram? Lo nggak kalah kaya dari Stella." Bram menggeleng. "Bukan level itu. Tapi, level popularitas. Gue di SMA itu kayak apa, sih? Cuma debu, kali." Guntur mengangguk mengerti. "Berarti, gue juga debu. Atau temennya debu? Eh, gimana, sih?" Bram menepuk dahinya. Dia kira, Guntur akan langsung mengerti. "Ya, lo butiran debu juga. Ngerti?" "Wow! Gue jadi pengin nyanyi, deh." Guntur berdeham sejenak. "Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi, aku tenggelam dalam lautan luka bakar..." "Luka dalam, Dodol." Bram memutar bola matanya. "Oke. Dalam lautan luka dalam... Aku tersesat dan tak tau arah jalan pulang--" "Rumah lo di komplek sebelah, pokoknya rumah lo pagernya warna hijau. Atau, lo tanya satpam aja kalo emang nyasar." Guntur langsung memandang Bram dengan dahi berkerut. "Bram, gue cuma nyanyi. Kenapa lo anggap gue kayak orang ilang?" Bram langsung tertawa terbahak-bahak. "Gue bercanda. Lucu 'kan?" "Ha-ha, lucu. Kayak boneka santet." Guntur bangkit berdiri, lalu memakai jaketnya. "Eh, lo mau ke mana?" tanya Bram bingung, masih tertawa. "Pulang. Doakan gue nggak tersesat!" teriak Guntur saat berjalan keluar dari rumah Bram. "Oh, okay! Kalo tersesat, ingat, tanya satpam aja!" "Oke, makasih sarannya!" Bram terkekeh, dan bahkan menghapus air mata di sudut matanya. Memang hanya Guntur yang selalu bisa membuatnya merasa lebih baik. Setidaknya, sahabatnya yang satu itu bisa membuat Bram tertawa lepas, bahkan sampai mengeluarkan air mata. *** Pagi hari, Bram dikagetkan oleh Guntur yang tidur di kursi terasnya. Tentu saja sudah memakai seragam sekolah. "Nih bocah kenapa malah tidur?" Bram mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menimpuk sahabatnya itu. Lalu ia menemukan batu bata, tapi setelah berpikir panjang, ia tidak mungkin menimpuk Guntur dengan batu bata. Ia tidak sejahat itu. "Lo nyari apa, Bro?" Bram masih melihat tanah di halaman depan. "Apa aja, buat nimpuk Guntur." "Hah? Nimpuk gue?" tanya Guntur menguap lebar. "Iya, eh?" Bram menoleh ke Guntur, dan sahabatnya itu malah melambaikan tangannya. "Hello, Mas Bram." Bram menyisir rambutnya ke belakang, dengan jemari. Lalu meringis menghampiri guntur. "Udah bangun? Kok tadi lo tidur?" "Ngantuk, lama banget nungguin lo." "Ohh, yaudah. Ayo berangkat. By the way, ada belek tuh di mata lo. Ew." Bram menunjuk mata Guntur. Guntur langsung mengusap matanya, sambil bangkit berdiri. Lalu ia pun menepuk-nepuk pundak Bram. "Aduh, Mas Bram perhatian banget." "Gross! Belek lo ada di pundak gue!" Bram panik, tapi ia tertawa sambil membersihkan pundaknya. Sedangkan Guntur, ia langsung berlari masuk ke dalam mobil Bram. "s****n. Bangke!" gerutu Bram lalu menyusul Guntur, namun ia duduk di kursi pengemudi. Bram disambut oleh Guntur yang menyengir lebar. "Peace, Bro!" "Ha-ha, terserah." Bram menyalakan mobil, dan melajukannya menuju sekolah. Mereka sudah hampir terlambat. Dan tentu saja Bram menyalahkan Guntur. Sesampai di sekolah, mereka berdua turun dengan santai. Tidak ada angin yang membuat rambut mereka seperti iklan shampo, tidak ada orang-orang yang langsung melihat ke arah mereka, seperti di sinetron. Mereka bahkan tidak dilirik oleh satpam sekolah. Bram dan Guntur menghela napas panjang. Lalu tanpa sengaja, mereka bertemu dengan seseorang yang kemarin membela Bram di kantin. "Pagi, Disa," sapa Guntur sok kenal, sok dekat. Disa mendengus geli. "Pagi, Guys." "Nggak sama Troy?" tanya Bram heran. Biasanya mereka selalu berangkat berdua 'kan? "Oh, Troy? Dia masih markirin motornya. Gue disuruh duluan." Bram mengangguk, lalu tersenyum canggung. "By the way, thanks. Kemaren lo sampe berantem sama Stella, gue jadi ngerasa nggak enak." "Selow! Gue udah biasa berantem sama nenek sihir itu." Disa tersenyum lebar. "Lo jangan masukin kata-katanya ke hati. Anggep aja itu hanya gonggongan anjing. Oke?" Bram terkekeh. "Oke, deh." "Eh, jangan gonggongan anjing, kali. Meongan kucing, aja. Stella kan manis." Guntur protes. Disa dan Bram langsung memutar bola mata. Itu 'kan hanya metafora. Dan Guntur terdengar sangat menggelikan. "Eh, ada kalian." Troy berdiri di sebelah Disa setelah berlari dari parkiran motor. "Eh, ada Troy." Bram tersenyum lebar, lalu bersalaman canggung dengan Troy. Salaman ala laki-laki. "Eh, ada Guntur juga, lho." Guntur menunjukkan cengiran satu juta dolarnya, lalu bersalaman dengan Troy juga. Troy tertawa. "Terserah, deh. Eh, kalian masih mau ngobrol? Atau mau masuk? Bentar lagi bel, astaga!" Guntur menarik tangan Bram, untuk melihat jam tangan yang ada di tangan Bram. "Anjir, lima menit lagi bel! Ayo, kita harus lari!" "Lebay, guru piketnya hari ini baik. Tenang aja!" kata Bram, kembali menarik tangannya. "Nggak bisa tenang. Kita harus disiplin! Ayo, Bram! Eh, kalian berdua juga harus lari. Biar kompak! Kuy!" Guntur menarik tangan Bram, dan menyeret lelaki kecil itu untuk berlari bersamanya. Tentu saja Bram hanya bisa pasrah. Troy dan Disa langsung berpandangan bingung. Tapi, ide cemerlang langsung muncul di otak Disa. "Balapan, yang terakhir masuk kelas, harus traktir bakso!" Disa langsung berlari mendahului Troy, bahkan Troy belum siap untuk berlari. "Lo curang, Dis!" *** "Gila, gue merasa sehat banget! Besok-besok, kita harus lari kayak tadi!" Bram masih mengatur napasnya. "Ogah, gue capek!" "Eh, lari itu bikin tinggi, lho!" hibur Guntur semangat. "Lari nggak bikin tinggi. Gue nggak b**o kali, Bro." "Eh? Iya, ya. Gue lupa. Yang bikin tinggi tuh renang, sori." Guntur meringis. "Nah, pinter. Hari minggu besok, lo harus nemenin gue berenang. Deal?" "Di rumah lo? Oke!" Tiba-tiba pintu kelas terbuka, dan terlihat Arwin--ketua kelas, langsung berteriak dengan heboh, "Eh, ada OSIS! Kayaknya ada razia!" Bram mengernyit. "Razia apa, Win?" Dengan senyum manis, Arwin menjawab, "Razia orang pendek, kali." "Sialan." Bram memandang Arwin datar. Menahan kesal. "Heh, Win! Mana ada razia begitu? Kalo ada, Bram udah ketangkep dari dulu." Guntur malah tertawa bersama Arwin. Sambil ber-high five ria. Bram semakin kesal, ia mengembuskan napas dengan perlahan. Ia kira, Guntur akan membelanya. Ternyata malah semakin menghina. Sungguh keterlaluan. "Makasih, Guntur. Lo membuat pagi gue semakin cerah." "Ah, Buddy! Gue emang selalu membuat pagi semua orang cerah, indah, dan bewarna..." Bram lagi-lagi memutar bola matanya. Sangat jengah. "Pagi, Semua!" Mata Bram langsung melebar, saat melihat siapa yang masuk ke kelasnya, dengan ramah. "Stella?" "Kok lo kaget? Dia 'kan emang OSIS, Bro," bisik Guntur. "Emang iya? Oh, pantes dia terkenal. Gue bego." "Ya, lo bego." Bram menoleh, memandang Guntur dengan mata melotot. "Bercanda, lo pinter. Buktinya, gue selalu nyontek lo 'kan?" Guntur terkekeh. "Heh! Yang di belakang, jangan berisik! Denger nggak tadi gue ngomong apa?" tegur Stella, sambil bertolak pinggang. Ia menegur Bram dan Guntur. "Eh? Lo tadi bilang 'I love you', kayaknya." Guntur menggaruk tengkuknya, sambil tersenyum bodoh. "Bukan, Guntur. Gue tadi ngasih pengumuman, akan ada audisi buat band sekolah besok. Ngerti?" Stella bicara begitu tajam, dan ketus. "Oh! Oke! Gue ikutan, deh! Bram juga pasti ikut." Guntur langsung merangkul Bram, tapi Bram berusaha menghindari tatapan tajam Stella. "Emangnya kalian bisa apa?" "Banyak! Kita berdua suka musik, Stell. Tenang!" Guntur masih tersenyum sangat lebar, dan semangat. "Wow, okay. Kita lihat besok aja. Dan kebetulan, gue juga jadi juri. So, good luck!" Stella tersenyum miring. Tentu saja ia meragukan kemampuan Bram dan Guntur. Mereka tidak mungkin bisa lolos audisi band. Begitu pikir Stella. "Oke, yang mau ikut audisi besok, silakan kumpul di studio musik, setelah istirahat. Semoga beruntung, karena band hanya butuh empat orang." Setelah Stella keluar dari kelas, Bram langsung memukul belakang kepala Guntur. "Lo ngomong apa tadi? Gue ikut audisi juga? Lo gila!" "Argh ... gue masih waras. Lo 'kan bisa main bass. So, why not?" Guntur mengusap-usap kepalanya yang sakit. "Why not? Gue nggak mau! Apalagi Stella jurinya, gue nggak bisa." "Buddy, ini kesempatan kita!" "Kesempatan? Kesempatan apa?" Bram bingung. "Kesempatan untuk terkenal. Ingat? Lo mau terkenal, atau mau bertahan jadi debu?" Bram berpikir sejenak. Jika dia terkenal, setidaknya itu bisa membuat Stella tidak merendahkannya lagi. Ya, Bram harus ikut audisi band besok! Stella, kita akan ada di level yang sama. Tunggu aja!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD