Bab 2

1854 Words
Bram terlihat pucat. Ia bahkan hanya mengaduk-aduk kuah baksonya, yang sudah ditambahkan bon cabe. Bram kali ini tidak nafsu makan, ia benar-benar gugup. Mungkin, karena hari ini adalah audisi band. "Kalo lo nggak mau makan, buat gue aja baksonya. Jangan diaduk-aduk! Nanti baksonya pusing..." Bram sedang tidak ingin bercanda. Ia langsung mendorong mangkuk baksonya ke arah Guntur, yang duduk di sebelahnya. "Abisin aja, terserah." "Lo kenapa, sih? Kayak cewek, bilang terserah mulu. Dari pagi, lo udah bilang terserah sebanyak tujuh kali!" Bram dengan lemas langsung menempelkan kepalanya di meja kantin. "Gue mau mati aja." "Heh! Jangan asal ngomong!" Guntur melotot. "Cepet cerita, lo kenapa? Sini curhat sama Mamah," ujar Guntur menepuk-nepuk kepala Bram. Bram memiringkan kepalanya, memandang Guntur. "Gue nggak mau ikut audisi..." "WHY?" "Gue takut gagal. Banyak banget ternyata yang ikutan, Bro. Kalo gue gagal, Stella pasti bakal tambah ngejek gue." Bram memasang wajah sedih, putus asanya. Guntur kasihan, ia pun menepuk-nepuk bahu Bram. "Bebeb gue nggak sejahat itu. Lo jangan nethink mulu, ah." Bebek, kali. Batin Bram. "Eh, sori. Gue ganggu bentar, boleh?" Bram dan Guntur melihat siapa yang duduk di hadapannya. Bram kembali duduk dengan benar. "Kenapa, Troy? Tumben," ujar Bram berusaha terkekeh. "Gini, kalian ikut audisi band 'kan?" tanya Troy mengusap tengkuknya. Bram dan Guntur otomatis mengangguk. "Nyanyi, bukan?" Troy bertanya lagi. "Gue nggak mau memamerkan suara emas gue. Jadi, gue mau main drum aja pas audisi." Guntur menyengir. "Gue bisa nyanyi, sih. Tapi, ketat banget pasti. Banyak yang mau jadi vokalis, kayaknya." Bram mengaruk kepalanya. Dia juga tidak percaya diri, mana mungkin ia bisa menjadi vokalis? Suaranya pas-pasan. "Terus? Lo mau ngapain nanti, Bram?" Troy mengernyit. "Main bass. Kalo lo?" Troy mengangguk mengerti. Dan ia sedang sangat bingung, karena Disa memintanya audisi untuk menjadi vokalis. Tapi, Troy merasa tidak siap untuk itu. "Gue main gitar aja, deh." "Keren! Berarti kita bertiga bukan saingan," kata Guntur lalu mengajak Troy untuk tos. "Yoi!" sahut Troy sambil bertos ria dengan Guntur. Bram panik saat bel masuk berbunyi. "Mampus!" "Selow, Buddy! Tarik napas... buang. Tarik napas..." Bram langsung memutar bola matanya. "Gue gugup, bukan mau melahirkan." "Yakin?" Guntur mengerutkan alisnya. "Eh, iya lo cuma gugup. Nggak mungkin melahirkan." Troy tiba-tiba terkekeh. "Lucu juga lo, gue baru tau." "Iya dong! Gue ini selain ganteng, juga lucu. Biasakan diri lo, Troy." Guntur tersenyum lebar. "Ow-kay." Troy tersenyum bingung. "So? Mau bareng ke studio?" "Ayo!" Guntur dengan semangat memaksa Bram untuk bangkit berdiri. "Come on, Buddy!" Bram masih ingin duduk, ia menahan dirinya dengan kuat. "Nggak, gue takut..." "Troy! Bantu gue, cepet." Guntur melototi Troy, agar ikut membantunya. Troy dengan terpaksa membantu, dengan menarik lengan Bram agar bangkit berdiri. "Ayo, Bram. Jangan kayak anak kecil gini." "Gue bukan anak kecil!" "Makanya ayo! Lo harus buktiin, kalo walau lo pendek, lo berbakat!" Benar juga kata Troy. Seperti ada keajaiban di detik berikutnya, Bram langsung bangkit berdiri, menepis tangan Troy dan Guntur. "Gue bisa jalan sendiri. Ayo kita audisi!" Guntur dan Troy menahan tawa mereka, lalu mengikuti Bram menuju studio musik. Bram benar-benar berubah dalam hitungan detik. Ia tiba-tiba bisa berjalan penuh percaya diri ke studio musik. Menakjubkan! "Ready, Guys?" tanya Bram sebelum membuka pintu studio. Troy dan Guntur mengangguk pelan, malah mereka yang tiba-tiba gugup. Saat pintu dibuka oleh bram, mereka bertiga langsung membuka mulut karena melihat begitu ramainya studio musik. "Mereka semua ikut audisi? Yakin, bukan peserta demo?" Pertanyaan Guntur dijawab oleh Bram dengan gelengan kepala, dan ekspresi speechless. Troy juga tak kalah terkejut. Apa mereka akan mungkin lolos, melawan semuanya? *** Setelah mengantre selama setengah jam, akhirnya giliran Troy tiba. Bram dan Guntur mengacungkan jempolnya untuk Troy. "Good luck!" Bram tersenyum lebar. "Jangan lupa berdoa, Troy!" tambah Guntur. Troy mengangguk, lalu berdoa dengan singkat sebelum duduk di sebuah kursi dan mengambil gitar yang disediakan. "Nama?" tanya salah satu juri perempuan, yang tidak asing bagi Troy. "Kita udah kenal, Stell." "Jawab aja, susah amat." Stella memutar bola matanya. "Troy Alexander." "Oke, silakan mulai. Terserah mainin lagu apa aja, yang menurut lo bisa membuat lo lolos audisi," jelas Stella sambil memegang kertas berisi nama-nama murid, yang ikut audisi. Sudah banyak yang dicoret, karena kebanyakan malah mengecewakan. Tidak bisa bernyanyi atau memainkan alat musik, tapi tetap nekad ikutan. Stella sungguh bingung dengan orang-orang seperti itu. Sungguh membuat waktunya terbuang sia-sia. Troy. Stella tidak terlalu mengenal Troy dengan baik, karena Troy adalah sahabat dari musuh bebuyutannya dari SMP. Stella sungguh membenci Disa. Jadi, ia juga benci dengan sahabat Disa. Tapi, kali ini dia harus profesional. Troy mulai memetik gitar, dan Stella terkejut karena Troy memainkan lagu Little Things. Dan walau Troy tidak bernyanyi, permainan gitarnya sungguh membuat Stella meleleh. Setelah Troy berhenti bermain gitar, Stella dan kedua juri lainnya langsung bertepuk tangan. "Troy, permainan yang bagus. Silakan tunggu pengumuman hasil audisi besok, di mading." Stella tersenyum lebar. "Oke, Stell." Troy mengembuskan napas lega, dan berjalan menuju tempat duduknya dekat Bram serta Guntur. Sebenarnya, hanya tersisa mereka bertiga sekarang. "Good job, Bro!" Bram ber-high five dengan Troy, begitu juga Guntur. "Next!" Guntur langsung mengusap wajahnya. "Doakan gue berhasil, Kawan-kawan!" Lalu ia bangkit berdiri dan berjalan hingga berada di depan para juri. "Nama?" "Niall Horan." "Guntur..." Stella menggeram, menatap Guntur tajam. "Ha! Tuh lo tau nama gue, Beb. Jangan sok nggak kenal, ah." Stella memijit pelipisnya. "Terserah. Lo mau ngapain? Nyanyi?" "Bukan. Tebak lagi, dong!" "Jangan buang waktu gue. Lo mau ngapain, sih?" "Oke. Gue mau main drum." Guntur memajukan bibirnya beberapa senti. "Really? Lo bisa, atau cuma nekad kayak yang lain?" tanya Stella, sedikit sinis. "Kayaknya sih, bisa. Gue sering numpang latihan di rumah Bram, Stell. Lengkap banget alat musik Bram, dia---" "Jangan bahas dia. Just do the thing." Stella menunjuk drum dengan dagunya. "Atau, apa mau nama lo langsung gue coret?" "Eh, jangan. Oke! Just watch and learn, Babe." Stella memutar bola matanya, lalu terpaksa memerhatikan Guntur yang sudah duduk di depan drum dan memegang stik drum. Guntur memejamkan mata sejenak. "Bismillah, tolonglah hambamu yang ganteng ini..." Oh, ternyata Guntur berdoa. "Cepet!" "Iya, sabar dong, Sayang." Guntur mendengus, lalu akhirnya ia mulai memukul drum dan menciptakan irama yang cukup menarik. Tidak menyakitkan telinga, ternyata. Para juri saling berbisik-bisik. "Bagus, nih. Nggak nyangka." Stella sedikit kagum dengan permainan drum Guntur. "Iya, lebih bagus lah dari yang lain. Kalo yang lain malah kayak gebuk kasur, Stell." Denny--ketua osis, ternyata juga mengakui permainan drum Guntur bagus. Strlla mendengus geli. "Apa dia akan kita lolosin?" "Iya, kenapa nggak?" tanya Tasya bingung. "Dia sedikit ... annoying." "Tapi, wajahnya lucu, Stell. Dia juga lumayan good looking. Nggak ancur banget, lah." Tasya terkekeh, karena Guntur terlihat begitu serius saat bermain drum. Dan itu sangat lucu. "Walau males ngakuin itu. Tapi, lo bener." Stella menghela napas panjang. Setelah Guntur selesai, ia langsung melempar stik drumnya dengan gaya selangit. "Thank you! Kalian luar biasa!" Stella, Denny dan Tasya langsung menepuk wajah mereka. Apa Guntur pantas menjadi anggota band sekolah? "Thanks, Guntur. Lihat pengumuman besok, ya." Tasya berusaha tersenyum ramah. "Oke, Mawar!" "Tasya. Nama gue Tasya!" "Maaf, kita kan belom pernah kenalan. Nama gue Guntur!" "Gue nggak nanya." Tasya mengernyit. Guntur meringis. "Gue lupa, lo udah tau nama gue. It's fine." Setelah Guntur kembali duduk bersama Troy dan Bram, Tasya langsung berbisik pada Stella. "What's wrong with him? He's freak..." Stella tersenyum miring. "I know. Itu yang membuat gue ragu buat lolosin dia." Bram berdeham, karena ia sudah berdiri di depan para juri. "Bisa gue mulai?" Stella dan kedua rekannya langsung melihat Bram yang ternyata sudah memegang bass. "Lo yakin?" Stella menaikkan alisnya, tidak percaya kalau Bram bisa memainkan alat musik itu. "Apa lo mau gue main alat musik yang lain? Gue bisa." Stella terkekeh. "Serius? Terus, kenapa lo milih bass, kalo lo bisa semua alat musik?" "I don't know. Gue ngerasa, kayaknya dikit yang akan mau audisi untuk jadi pemain bass. Mereka lebih mau jadi vokalis atau gitaris, peluang gue lolos dengan bass ini jadi semakin besar. Jadi, gue pilih bass." Stella bertepuk tangan dengan lambat. "Wow, pemikiran yang bagus. Lo bener, sejauh ini cuma dua orang yang audisi main bass. Tapi, kedua orang itu bagus banget mainnya. Apa lo tadi nggak liat?" Bram mengangguk. "Bagus banget, tapi mereka nggak punya sesuatu, yang gue punya. Lo mau tau?" Stella mengernyit. "Apa? Badan yang kecil?" Bram mendengus geli. "Yeah, mereka bertiga tinggi, dan punya badan yang besar. Tapi, pasti lo tau apa yang kurang dari mereka. Iya 'kan?" Bram mengedipkan satu matanya di akhir kalimat. Tasya langsung bertopang dagu memandangi Bram. "Ah, dia ganteng, Stell. Boleh gue bawa pulang nggak, ya?" tanya Tasya pelan, tapi Bram bisa mendengarnya. Bram hanya tersenyum miring memandang Sella. "Shut up, Tasya," kata Stella tajam. Lalu ia kembali menatap Bram. "Lo sangat percaya diri dengan wajah lumayan ganteng lo itu, ya? Tapi, lo kayaknya lupa sama kekurangan utama lo." "Apa? Kurang tinggi? Apa ada tinggi minimal untuk menjadi anggota band? Gue akan mundur, kalau memang ada." Bram beralih memandang Denny dan Tasya secara bergantian. "Nggak! Nggak ada, kok! Tenang aja!" Tasya dengan semangat menjawab Bram. "Stell, nggak ada ngaruhnya tinggi badan sama band." Denny terkekeh. "See?" Bram tersenyum puas, ia merasa menang. "Fine. Cepat mulai, dan buktiin kalo lo emang bisa main bass. Bukan cuma sok bisa." Stella mendengus kesal, tentu saja. "Oke, Cantik." Bram tersenyum singkat pada Stella, lalu mulai memainkan bass-nya. Bram membuat nada-nada yang enak didengar, entah itu lagu apa. Tapi, ia berhasil membuat Stella semakin kesal. Ternyata Bram tidak hanya asal bicara. Tasya masih bertopang dagu memerhatikan Bram. "Alis Bram tebel banget. Jadi gemes, deh." Stella memutar bola matanya. Oh, dia terlalu banyak memutar bola mata karena Bram. Permainan Bram diakhiri dengan senyuman leganya. "Gimana? Apa gue udah bisa buktiin sesuatu?" Stella mengernyit. "Buktiin apa, maksud lo?" "Buktiin, kalau orang pendek juga bisa main bass." Bram terkekeh, dan langsung mendapat sorakan semangat dari Guntur dan Troy. "Ha-ha, terserah. Lihat aja besok, Bram." Stella terkekeh sinis. Saat Stella dan Bram bertatapan dengan sengit, tiba-tiba pintu studio terbuka. "Sori, apa gue telat untuk ikut audisi?" "Nico! Astaga, akhirnya lo dateng juga." Stella langsung berlari mengamit lengan Nico--gebetannya. "Gue lupa, kalo ada audisi. Wow, cuma mereka bertiga yang ikutan audisi?" Nico memandang Bram, Guntur dan Troy. "Nggak, lah. Yang lain udah selesai, mereka peserta terakhir." Stella terkekeh, berusaha tetap terlihat cantik. "Oh, cool." Nico mengedikkan bahunya. "Silakan mulai nyanyi, Nico." Stella lalu kembali melihat Bram yang masih berdiri di tempatnya. "Minggir, lo keliatan semakin pendek kalo berdiri di sebelah Nico." Jleb. Bram berjalan melewati Stella dan Nico, tentunya sambil mendengus kesal. "Ayo, kita pergi, Guys." "Nggak mau lihat audisi Nico dulu?" tanya Troy heran. "Nggak usah, karena dia pasti lolos. Bukan begitu, Stell?" Bram melirik stella. "Tebakan yang tepat." Stella tersenyum manis. "Nico emang bisa nyanyi, wajar kalo dia pasti lolos." "Oh, yakin bukan karena dia gebetan lo?" tanya Bram sinis. "Bukan! Puas? Gue akan menilai dengan profesional." Bram kembali berjalan mendekati Stella, dan berdiri di hadapannya. "Profesional? Jadi, lo akan nilai gue dengan profesional juga 'kan? Apa menurut lo, gue akan lolos?" Stella sempat terdiam. Bingung. Ia sebenarnya tadi sempat berpikir untuk meminta Tasya dan Denny untuk tidak meloloskan Bram. Ia sangat kesal dengan Bram. "Gue nggak bisa jawab. Lo harus nunggu besok." "Fine." Gue harap, lo nggak membuat keputusan yang salah...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD