Terjebak Cinta Pertama

3680 Words
Jakarta Utara, Apartemen milik Aldi Jam 20.00 WIB “Riska.”  Panggilan itu menggema saat Ryan antusias memasuki apartemen dan tak sabar bertemu dengan wanita yang sejak tadi ingin ia temui. “Kau dimana, Ris?” Sekali lagi Ryan memanggil Riska setengah berteriak sambil menutup pintu. Pandangannya menyusuri setiap sudut apartemen yang hanya terdapat perabot, tak menemukan Riska, tapi sling bag nya tergeletak di atas sofa.  Ryan memanggilnya di setiap ruangan hingga akhirnya ia melangkah menuju kamar dan mendapati Riska tengah duduk di bibir ranjang sambil memeluk sebuah  buku diary. Wajahnya tertunduk, bahunya naik turun karena menangis terisak-isak. Ryan mendekat, duduk lalu memeluk. “Ada apa? Mengapa kau menangis?” Ia memegang kedua pipi Riska yang basah dan mengusapnya.  “Aldi. Dia ….” Riska menyodori diary milik Aldi. Ia tak sanggup meneruskan kalimatnya. Setiap kali mengingat Aldi membuatnya sedih. Rasa kehilangan itu kembali membuatnya tersiksa dan sulit untuk merelakannya pergi. Dan, kini air matanya kembali mengalir, mengingat lembaran demi lembaran diary Aldi yang sudah ia baca. Sebuah diary yang lama tersimpan di peti kecil bawah ranjang. Ryan menerima diary yang bersampul hitam. "Boleh k****a?" Meminta izin Riska. Bagaimanapun juga, segala milik Aldi masih menjadi miliknya. Kepala Riska terangguk pelan, tapi kedua bahunya masih bergetar. Ia mencoba menghentikan tangisnya, walau setiap lembaran diary yang Aldi tulis menggambarkan besarnya cinta pria Spanyol itu terhadap dirinya. Ryan membuka lembaran demi lembaran buku diary itu. Ia membacanya pelan.  “14 Februari 2007, hari ini launching novel pertamaku di sebuah Mall Bekasi. Aku sangat bahagia karena hari ini juga aku mengenal gadis itu. Gadis yang bernama Riska Anggraeni,  pelajar SMP. Oh God, aku jatuh cinta padanya dan baru saja aku menyuruh Jeff mengirimi mawar jingga untuknya. Ia ulang tahun hari ini dan ini tahun pertama aku mengirimkan bunga untuknya. Semoga aku bisa bertemu lagi dengannya, karena aku sudah jatuh cinta padanya. Pada Riska Anggraeni.” Ia menyudahi membaca, memeluk Riska lagi dan menepuk pelan punggungnya. Menurut Ryan yang tertulis di diary itu bukan hal yang membuatnya terkejut. Sudah lama sekali ia mengetahui Aldi menyukai Riska, terutama saat mereka masih menjalin cinta. Ia pernah melihat salah satu foto Riska tersimpan di dalam dompet Aldi saat memberi uang kepadanya untuk membeli Yakult. Namun, ia baru tahu jika Aldi adalah pria yang rutin menghadiahi Riska bunga mawar jingga, bunga yang dikirim setiap tahun. Jauh sebelum ia mengenal dan jatuh cinta pada Riska  Ryan melepaskan pelukannya. “Kau sudah makan?” Kini ia mengkhawatirkan Riska dan tak ingin wanita itu kembali stress hanya karena teringat pada suaminya yang sudah tiada, sama seperti saat masih hamil dulu. “Sudah, tapi ….” Riska mengusap pipinya yang basah. “Aku masih lapar, Yan.” Suaranya terdengar manja, salah satu ciri khasnya yang Ryan sukai. Entah kenapa tawa Ryan pecah melihat wajah melas Riska. Kebiasaan Riska yang tidak pernah hilang sejak dulu. Tangannya reflek mengambil ponsel dari saku celana. “Kita pesan pizza saja, gimana? Kau mau?” tawarnya yang tak lama melihat anggukan kepala Riska sebagai jawaban. “Baiklah.” Bergegas menghubungi makanan ala delivery. Satu loyang pizza dengan topping full keju mozzarella, itulah topping pizza favorit Riska. Hal yang berkaitan dengan keju. Ryan bangkit dari ranjang. “Aku mandi dulu.” “Tunggu, Yan.” Riska menarik tangannya cepat. Dahi Ryan berkerut. “Ada apa? Apa ada yang mau kau pesan lagi selain pizza? Atau ….” Sebelah sudut bibirnya terangkat bersamaan dengan tatapannya yang genit. “Kau ingin--” “Menemanimu mandi?” Kedua mata Riska berputar cepat. Ia tahu di pikiran pria memang tak jauh dari hasrat, dan itu terlihat dari tatapan Ryan. Lagi-lagi Ryan tertawa dan membenarkan tuduhan itu, walau hanya sekadar gurauan. “Ternyata terbaca ya? Jika kau tidak keberatan tidak apa-apa.” Ia meneruskan tawanya lagi. Kepala Riska menggeleng serius. “Bukan itu. Sini dulu ....” Menarik paksa lengan Ryan, membuat pria berwajah oriental itu berdiri tepat di depannya yang terduduk di bibir ranjang. Jantung Ryan berdebar kencang, tubuhnya terasa panas melihat wajah Riska menengadah tepat berada di bagian perut dan area sensitif, selintas pikiran liarnya tentang oral s*x mengambang. Posisi yang tepat untuk melakukan itu. "Ada sesuatu yang membuatku penasaran sejak dulu," Riska bangkit, ia mengendus-endus hidungnya ke arah kemeja Ryan. “Baumu tidak berubah, kau pakai parfum apa? Sejak dulu aku menyukai bau parfummu, Yan,” katanya serius. Bukan tidak pernah menghirup aroma yang serupa, beberapa kliennya pernah memiliki aroma yang sama, tapi aroma itu identik dengan Ryan. Seakan parfum itu hanya Ryan yang cocok menggunakannya. "Parfum?" Ryan memastikan dan tertawa kecil, ia sudah membayangkan adegan erotis tapi sayangnya Riska hanya menanyakan merek parfum yang ia pakai sejak dulu. “Bvlgari, Ris,” jawabnya, mencoba menormalkan suhu tubuhnya yang sempat tegang. Senyum Riska mengembang, matanya terpejam sambil mengendus. “Harum. Aku suka bau--” Ucapannya terhenti ketika Ryan menarik tangannya dan mendekapnya erat.  “Ciumlah jika kau suka, tapi aku belum mandi.” Ryan tertawa begitu juga Riska “Tapi kau wangi,” timpal Riska, menengadah mendongak melihat wajah pria yang pernah ia cintai beberapa tahun yang lalu, pria yang menjadi kekasih dan ciuman pertamanya. "Benarkah?" Tangan Ryan mengusap pipinya. “Kau juga tak berubah, Ris.” Menatap tajam bola mata Riska, bola mata yang dulu menatapnya penuh cinta, memberi kebahagiaan hanya untuknya seorang. Tanpa Aldi dan Nick. Ryan menelusuri wajah Riska yang tak pernah berubah sejak dulu, selalu cantik dan menggoda hasratnya untuk sentuh. Tangannya mengusap mulai dari alis, mata, hidung dan bibirnya yang ranum. Ujung ibu jarinya terhenti di bibir ranum itu. Bibir yang pertama kalinya ia kulum saat di Sukabumi dulu dan menjadi ciuman pertamanya. Entah kenapa usapan lembut jari Ryan membuat ingatan Riska melayang pada kisah lama. Masa-masa pertama dekat hingga menjadi kekasih. Semua terasa indah dan menggugah hasrat untuk mengulangi kisah lamanya yang pernah kandas. Entah karena cinta atau mungkin sebagai cara menebus kesalahan. Bibir Riska setengah terbuka, matanya terpejam mengingat kejadian 7 tahun yang lalu, saat first kissnya bersama Ryan di Sukabumi. Ciuman itu terlalu mengetarkan jiwanya dan memaksa ingin merasakannya lagi. Membuka perasaan cinta yang masih bersemayam di sudut hatinya bersamaan dengan sebuah perasaan bersalah. Dua perasaan yang takkan pernah hilang. Sebagai pria normal, melihat bibir wanita yang dulu puas ia lumat dan kini hadir dalam keadaan setengah terbuka dan dalam status wanita single, hasratnya menginginkan mengulangi masa-masa indah itu. Bukan karena hasrat semata, karena masih menanti dan mencintainya tulus. “I still love you, Ris.” Ia menekan kuat-kuat bibir Riska, menarik bibir bawahnya hingga memudarkan lipstik merah muda itu. Sejuta perasaan Riska rasakan sekarang. Ia tak menduga kembali merasakan ciuman lembut Ryan setelah lamanya menghilang. Hangat ... manis, lembut dan bau rokok itu ciri khas ciuman Ryan. Ciuman pertamanya yang tidak pernah berubah. Namun, di saat memori indah kebersamaan bersama Ryan melayang, wajah Nick terlintas jelas dan membuatnya tersadar. "Maaf." Ryan melepaskan ciumannya cepat, melihat Riska membuka mata dengan raut wajah kaget. Ia yakin Riska akan memarahinya atau mungkin menamparnya, sudah bertindak gegabah hanya karena terbawa suasana dan ia siap menerima hukuman dari Riska sekarang. “Maafkan aku, Ris. Aku hilang kendali, aku--” “Sebaiknya kau mandi, Yan," sela Riska cepat, seakan menganggap tidak terjadi apapun di antara mereka beberapa detik yang lalu. "Aku akan menunggu kurir itu di sofa.” Kakinya melangkah untuk keluar dari kamar tapi Ryan mengikuti dan menarik tangannya di depan pintu.  “Riska." Tarikan tanga Ryan memaksa Riska berbalik dan menatap wajahnya yang penuh penyesalan. "Jika kau marah karena ciuman itu, katakan saja, tapi aku benar-benar masih mencintaimu. Aku … sulit melupakanmu. Katakanlah aku sudah gila yang tidak bisa move on darimu, tapi inilah yang terjadi. Kau …." Mereka saling menatap. Kilau mata mereka seakan sudah bicara sejuta kata. "Ryan." Tak ada alasan Riska untuk tidak mendekap tubuh kekar yang dulu pernah memeluknya hingga tertidur. Pelukannya di luar ekspektasi Ryan dan membuatnya terheran. “Aku tahu kau masih mencintaiku, tapi aku ….” wajahnya menengadah menatap bola mata coklat muda Ryan. “Aku sudah berdosa padamu. Aku sudah mengkhianatimu bahkan mencampakkanmu, Yan. Aku tidak ingin menyakitimu lagi. Aku hanya ingin kau bahagia walaupun aku … juga sulit melupakanmu.”  Kepala Riska tertunduk malu mengingat hal yang pernah ia lakukan terhadap Ryan dulu. Air mata menetes bukan menangisi Aldi lagi, tapi perasaan cintanya pada Ryan tidak menemukan jalan untuk berlabuh. Ia sadar hubungan percintaannya bersama Ryan hanya menghadirkan toxic relationship. Di saat bersama saling menyakiti tapi setelah berpisah sulit untuk saling melupakan. Itulah hubungan mereka. Terlalu sulit untuk bersatu dan melabuhkannya pada jenjang pernikahan. “Kau terlalu baik untukku, Yan.” Riska kembali menengadah. Air matanya mengembang dan ia benci menyadari semakin dalam cintanya pada Ryan hanya berujung nestapa. Terasa sulit untuk bisa kembali bersama, walau berharap bisa menebus kesalahannya terdahulu dan menggantinya dengan sejuta cinta. Apakah bisa? Ryan memang menyetujui ucapan Riska, hatinya memang pernah hancur berkeping-keping ketika Riska lebih memilih Aldi dibandingkan dengan dirinya, tapi ia sudah memaafkan. Rasa cintanya lebih besar dibandingkan rasa benci karena ia tahu ‘Didalam cinta selalu ada maaf dan pengorbanan’ dan kini ia sudah memaafkan semuanya. “Aku sudah memaafkanmu, Ris.” Tangannya mengusap pipi Riska lagi. “Tapi salahkah jika kita bersama seperti dulu lagi?  Bahkan aku pernah mengajakmu untuk menikah ....” Kini ia merengkuh punggung Riska erat, membisikkan kalimat yang sejak dulu bersemayam di hatinya. “Aku masih mencintaimu, Ris. Dari dulu sampai sekarang cintaku tak berubah. Aku sungguh tidak bisa melupakanmu dan ... aku harus menjadi sahabatmu hanya untuk bisa bertemu dan bicara denganmu lagi. Aku …  tidak adakah harapan untukku lagi?”  Sejenak Riska terdiam. Ia tahu Nick dan Ryan memiliki kepribadian yang berbeda jauh walau sama-sama mencintainya tulus. Ia juga tahu Nick selalu ada di dekatnya saat dirinya terpuruk dalam kesedihan dan kesulitan, tapi perasaannya lebih berat pada Ryan. Selain menjadi cinta pertama, ia dan Ryan pernah melewati rintangan cinta mereka dan menangis bersama. Jika saja Ryan tidak kuliah di Singapura dan mengabaikan perhatiannya karena LDR, pastinya ia sudah menyandang gelar istri dari pria berdarah Singapura itu dan perselingkuhan itu mungkin tidak akan terjadi. Namun, takdir mengatakan lain. Pilihan Tuhan adalah yang terbaik. Begitu juga dengan Aldi, tapi apakah kembali menjalin cinta dengan Ryan adalah pilihan Tuhan? Lalu bagaimana dengan Nick? Pilihan berat di antara dua pilihan.  Yang Riska lakukan sekarang, menatap lekat Ryan. “Bisakah kau memberiku waktu untuk memikirkannya, Yan? Aku takut ….” “Mengabaikanmu lagi?” sela Ryan. Ia sadar itu kesalahan besar yang pernah ia perbuat. Mengabaikan dan miscommunication. “Aku takkan mengulangi kesalahan yang sama, Ris. Itu sudah menjadi cambuk untukku. Percayalah padaku, kali ini aku akan berusaha menjadi kekasihmu yang baik.” Ia menggenggam tangan Riska dan meyakinkan dirinya sudah berubah. Bukan Ryan yang dulu. Bukan Ryan mahasiswa yang disibukkan dengan segudang tugas dari dosen. Ia kini sudah berhasil menjadi seorang Desainer interior ternama yang mempunyai puluhan karyawan. “Ryan, aku---” Ucapan Riska terhenti saat suara bel berbunyi. Mereka menoleh ke arah pintu utama. “Mungkin itu kurir.” Riska menebak kurir dari pizza yang sudah Ryan pesan. “Mandilah. Aku akan menerimanya,” katanya, bergegas melangkah menuju pintu, sementara Ryan memilih kembali masuk ke dalam kamar dan membersihkan diri di kamar mandi dalam. Riska membuka pintu tanpa melihat tamu di layar monitor. Ia tak sabar menerima dan menyantap pizza yang sejak tadi ia nantikan. Perutnya lapar walau sudah menyantap makan siang bersama Jeff dan orang penerbit.  Setelah membuka pintu, senyumnya memudar melihat pria yang berdiri di depannya sambil tersenyum lebar. "Berulang kali aku menelpon tapi kau tidak mengangkatnya, Ris. Aku terpaksa menghubungi Jeff untuk mengetahui keberadaanmu,” kata pria itu sambil ngeloyor masuk dan melintasi Riska yang terheran. “Nick?!” Riska berbalik meski tangannya menutup pintu.  “Jangan katakan ponsel jauh dari jangkauanmu, Ris,” kata Nick lagi terus melangkah menuju sofa lalu terkejut melihat tas Ryan di atas kursi. “Ryan sudah pulang?”  “Ya, dia sedang mandi.” Langkah Riska mengikuti Nick lalu mendaratkan bokongnya di depan Nick yang menagih jawaban. “Yang kau katakan benar, Nick. Ponselku ada di dalam tas, sedangkan aku bersama Ryan di kamar.”  Wajah Nick mendadak cemas dan dahinya berkerut. “Kamar? Berdua dengan mantanmu?" Seketika pikiran bercabang membayangkan adegan romantis mereka. “Jangan-jangan kalian--” “Itu tak seperti yang kau pikirkan, Nick,” sela Riska yang tahu isi pikiran Nick saat ini karena sudah tersulut cemburu. “Aku berhasil menemukan ini.” Mengangkat diary milik Aldi yang baru saja ia taruh di meja. "Diary?" Nick merebutnya dari tangan Riska, melihat sambil membolak-balikkan sampulnya saja, terlihat sama sekali tidak tertarik untuk membacanya. "Aku yakin dia menulismu di sini. Atau menulis tentangku juga?" Ucapan Nick memicu tawa Riska. "Kalaupun menulis tentangmu, tentu saja tentang kejahilanmu, Nick," Mendengar bunyi belnya berdering lagi, ia bergegas bangkit. “Itu pasti dia!”  "Siapa?" Dahi Nick berkerut melihat Riska berlari kecil menuju pintu dan antusias membukanya. "Seandainya seantusias itu juga kau menungguku," gumamnya melihat Riska tersenyum lebar sambil mengangkat satu kotak pizza. “Time's to eat!” Riska memperlihatkan kotak pizza itu seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan cotton candy. Terlihat bahagia. "Kenapa kau tidak bilang padaku?" Entah kenapa Nick keberatan melihat keantusiasan Riska hanya untuk sekotak pizza. " Jika kutahu, aku sudah membelikanmu lebih banyak dari sekotak pizza itu. Kalau perlu aku ...." "Membeli sahamnya? Atau restorannya?" tebak Riska yang tahu ujung ucapan kesombongan Nick. Tawa Nick pecah bersamaan Ryan yang baru saja keluar dari kamar dan hanya mengenakan celana pendek dan bertelanjang d**a dengan sebelah tangan menggenggam kaos. Ryan terkejut melihat Nick duduk dan tertawa bersama Riska. “Kau sudah lama, Nick?” tanyanya mengejutkan Nick yang reflek menoleh ke arahnya. Senyum Nick mengembang terlihat dipaksakan. “Baru saja tiba, Yan,” jawabnya yang juga terkejut melihat penampilan Ryan yang memamerkan otot lengan, dadanya yang bidang dan otot perutnya yang terlihat keras. Ternyata aku harus bersaing dengan pecundang ini. Sebelah sudut bibir Nick terangkat lalu tertawa kecil. Tangan Riska melambai, meminta Ryan mendekat. “Ayo, Yan. Kita makan bersama,” ajaknya dilanjuti membuka kotak pizza itu dengan rasa tak sabar. Aroma keju dan bawang bombai pun menyeruak tajam dan memenuhi ruangan. Tentu saja menggugah selera Riska yang sejak tadi tak sabar untuk menyantap. Tangan Riska mengambil irisan pertama pizza yang full topping keju mozzarella itu. Ia membuka mulut dan bersiap akan menyantapnya, tapi saat ujung irisan pizza itu mendekat ke arah mulutnya, dengan cepat tangan Nick menarik tangannya dan mengarahkan ke mulutnya cepat. Nick mengunyah dan tersenyum puas. “Ehm, enak,” Melihat raut wajah Riska yang kesal dan kecewa tapi tidak mengurungkan niatnya untuk kembali mengunyah irisan pizza yang masih di genggaman tangan Riska. Wajah Riska bertekuk kesal melihat ulah jahil Nick. Tangannya reflek menaruh sisa gigitan Nick di dalam kotak itu lagi. “Kau menghilangkan selera makanku, Nick.” Ia merajuk tapi Nick tertawa melihat sikap manja Riska dan membuatnya gemas. Melihat mereka berdua, Ryan menggeleng-geleng. Ia duduk di samping Riska sambil mengenakan kaos lalu mengambil satu irisan. “Buka mulutmu, biar aku suapin,” pintanya menyodori irisan pizza itu di depan mulut Riska dan membuat Nick kaget. "Baiklah." Riska membuka mulut dan menggigit pizza itu dan mengunyahnya pelan.“ Ini enak sekali. Kejunya terasa banget, Yan. Sekarang giliranmu, ini makanlah.” Kali ini ia gantian yang menyodori pizza di depan mulut Ryan. Tanpa menunda, Ryan menggigit irisan pizza itu dengan lahap. “Pilihanku tak salah, ini enak dari pada merek yang pernah kau beli,” katanya yang mengingatkan pada masa lalu mereka.  Keakraban mereka memaksa Nick menoleh secara bergantian pada Riska dan Ryan. Ia jengkel melihat mereka seperti sepasang kekasih dan mengabaikan kehadirannya seakan sudah menjadi pengganggu. “Uhuk-uhuk.” Nick meninju berkali-kali dadanya untuk mencari perhatian mereka. Melihat Nick yang tiba-tiba tersedak, dan berhasil membuat Riska cemas. “Sebentar aku ambilkan air minum dulu.” Ia berlari menuju dapur dan bergegas membuka kulkas. Melihat isi kulkas, Riska terkejut separuh isi kulkas itu dipenuhi dengan kaleng bir dan botol air mineral, tapi tidak sebanyak bir-bir itu. Tangannya sigap mengambil tiga botol air mineral, lalu berlari kecil lagi ke arah mereka. "Minumlah." Tak lupa Riska juga membuka tutup botol itu dan menyodorinya dengan wajah cemas.  Tangan Nick meraih cepat dan meneguknya. "Thanks." Ia menghabiskan separuh isi air itu. Pandangan Riska beralih menatap Ryan. “Mengapa banyak sekali bir di kulkas, Yan? Kau tidak kasihan dengan ginjalmu?” tanyanya dengan nada gusar mengingat kebiasaan buruk Ryan yang tak berubah sejak SMA. Pertanyaan itu sudah terbayang di pikiran Ryan, tapi ia kalah cepat dari Riska untuk menyembunyikan minuman beralkohol itu. Ia pun tertawa kecil menutupi kecerobohannya. “Aku jarang meminumnya, Ris. Itu hanya stok saja. Jika beberapa kawanku main ke sini hanya itu yang kuhidangkan.” Salah satu cara membela diri dan membuat alasan logis walau sebenarnya mengkonsumsi bir beberapa kali dalam seminggu. Alasan klasik. Riska tahu itu cuma alasan Ryan saja. “Besok akan kuganti dengan s**u. Itu baik untukmu, Yan, dan …  beberapa biskuit,” katanya lagi dengan tatapan penuh makna.  Merasakan suasana yang menjengkelkan dan melihat mereka saling beradu pandang dan tersenyum, Nick menggeleng kesal. Dalam hatinya mengumpat, seakan ingin membawa Riska pergi menjauh dari sepupunya yang sejak dulu tidak ia sukai, sama seperti Jeff. Nick melirik arloji dan bangkit. “Aku pergi dulu. Aku harus menemui seseorang,” katanya yang kali ini bukan siasat mencari perhatian Riska. Dahi Riska berkerut. “Kau mau kemana?” Seingatnya Nick hanya bertemu dengan Mario tujuan kedatangannya ke sini, bukan dengan yang lain. Nick berpikir sebentar. “Party,” katanya, melihat Riska seakan kecewa mendengar jawabannya yang sedikit ekstrim. “Aku pergi dulu, Yan.”  Ryan mengangkat tangan kanannya. “Hati-hati, Nick.” Melirik Riska yang juga bangkit dan mengikuti Nick berjalan menuju pintu utama. “Nick, tunggu,” Riska mengejar langkah panjang Nick dengan segurat kecemasan. “Apakah kau akan mabuk?” Pertanyaan itu terpaksa ia lontarkan karena peduli. Kedua bahu Nick terangkat dan bibir bawahnya maju sedikit ke depan. “Aku tidak tahu,” jawabnya tanpa menoleh. Bukan jawaban itu yang ingin Riska dengar. Entah kenapa ia menuntut jawaban pasti. “Apakah kau akan one night stand dengan wanita lain?” Kali ini pertanyaannya terlalu to the point.  Apakah ia mencemburui sesuatu yang belum terjadi? Langkah Nick terhenti di depan pintu dengan tangan memegang knop. “Sepertinya tidak.” Lalu berbalik menatap Riska yang menatapnya khawatir. “Aku tidak ke klub, Ris. Hanya menghadiri acara perkumpulan warga Barcelona saja, kami hanya merayakan sesuatu dengan wine asli buatan Spanyol. Jadi kau tak perlu khawatir, ok?”  Embusan napas Riska terdengar jelas oleh Nick. Sebuah kelegaan. “Syukurlah,” Nick menekan knop dan pintu terbuka. “aku pergi dulu, Ris. Kabari aku jika kau membutuhkan aku.” Ia keluar tapi berhenti melangkah dan berbalik. “Tunggu, kau tidak pulang ke Bogor?” “Tidak.” Riska menggeleng yakin. “Hari sudah malam dan Jeff sudah pergi ke Bekasi menemui Anwar. Dan, aku ….” “Tidur di sini?” tebak Nick. “Bersama Ryan?” Alis kanannya terangkat dan menanti jawaban Riska. “Ya.” Riska mengangguk menyetujui tebakannya. Shit! Nick kembali mengumpat dalam hati. “Memangnya kenapa jika aku tidur dengannya?” Riska memasang wajah naif. “Aku lebih khawatir jika tidur denganmu,” guraunya menahan tawa. Namun, sayangnya Nick tidak menanggapi serius gurauan Riska. Ia lebih mencemaskan sesuatu yang tidak ia inginkan selama ini. Mengenai kedekatan mereka. “Bagaimana jika kalian melakukan s*x?” Akhirnya kalimat itu terpaksa Nick katakan. Sebuah kecemasan yang ia takutkan terjadi pada mereka, karena ia tahu Riska masih memendam perasaan pada Ryan, terlebih lagi Ryan adalah cinta pertama wanita itu. Semua hal buruk mengenai mereka terlintas sejak tadi. Ia pun kembali bicara. “Kau tahu ‘kan jika pria dan wanita tidur satu ranjang akan datang iblis untuk menggodanya,” katanya serius. Menurutnya semua pria takkan bisa menahan hasrat saat tidur bersama seorang wanita terlebih lagi wanita yang masih ia cintai. Tawa Riska pecah seiring gelengan kepalanya. Ia tidak menyangka Nick sejauh itu berpikir tentangnya bersama Ryan, walau ia tahu Nick sudah mencemburuinya. “Itu tak berlaku pada Ryan, Nick, tapi itu akan terjadi jika aku tidur denganmu. Jika memang benar seperti yang kau ucapkan, aku sudah lama menikah dengannya sebelum aku menjadi kekasih Aldi. Dia …  pria yang bisa menahan hasratnya.” Bukan semata pembelaan, tapi ia pernah membuktikannya saat masih menjalin hubungan. Dan ia yakin Ryan belum berubah dan tidak semudah itu menidurinya. Ya, ia sangat yakin tidak akan terjadi sesuatu spesial malam ini.   “Oh ya? Aku tak yakin." Nick setengah tertawa dan kekecewaan masih terlihat di wajahnya. "Sebaiknya kau bermalam di apartemenku, Ris,” tawarnya penuh harap dengan wajah memelas. Riska menggeleng meskipun tersenyum. “Tidak, kau pasti akan menyelinap masuk kekamar dan meniduriku. Lagipula Mario akan menempati apartemenmu, Nick. Aku takkan bisa tidur jika ada kalian berdua.” Seketika pikirannya membayangkan dua pria nakal berada di satu unit apartemen dengannya. Bisa-bisa aku masuk langsing, keluar hamil. Senyum Riska memudar dan menggeleng membayangkan hal yang menjijikkan seperti film semi yang pernah ia tonton di YouTube. Threesome. Ia sama sekali tidak menyukainya. Terlalu ekstrim. Tepat dugaannya, Nick sudah menduganya. “Aku tahu kau takut aku menidurimu karena kau belum siap. Tapi, kau jangan khawatir. aku akan menyuruh Mario tidur di rumah Tia nya lagi atau di hotel, dan aku akan tidur di sofa. Jadi, sebaiknya kau ikut denganku, Ris.” Sekali lagi Nick memohon, ia tak rela Riska menghabiskan malam bersama Ryan dan takut kecemasannya terjadi. Dan, untuk kedua kalinya Riska menolak.“Maaf, Nick. Jangan paksa aku. Aku akan menginap disini dan aku pasti aman bersamanya. So, bye Nick. See you tomorrow .…” Riska melambaikan tangan lalu mencoba menutup pintu secara perlahan. Saat pintu akan tertutup, Nick melihat jelas senyum Ryan mengembang lebar seakan menjadi pemenang malam ini. Ya, pemenang yang bisa menaklukkan Riska. Setelah menutup pintu, Riska mendengar bel itu berbunyi lagi dan di monitor terlihat Nick masih berdiri di depan pintu. Ia bisa memastikan Nick sedang mengumpat. Tentu saja karena cemburu. “ Definitivamente lo harás, Ris! Ningún hombre puede resistir su deseo a menos que no sea normal! (Kau pasti akan melakukan dengannya, Ris! Tak ada pria yang bisa menahan hasratnya kecuali ia tak normal!).”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD