Hanya Sahabat

2477 Words
Suara kicau burung, aroma petrikor yang terbawa angin dan sinar matahari yang perlahan menampakkan wujudnya pagi ini berhasil membuat Riska terjaga. Ia menoleh ke kiri tepatnya ke arah dinding, tersenyum melihat bingkai foto pernikahannya bersama Aldi yang terpajang di sana. Foto yang selalu menjadi alasannya untuk terus hidup dan bahagia bersama orang yang masih menyayanginya tulus. Begitu juga menanti pria yang akan menjadi suaminya kelak.  “Morning, Al.”  Sapaan itu selalu menjadi ucapan pertama di setiap pagi Riska setelah terjaga. Meskipun pagi ini terasa dingin dan menggugah hasrat untuk menarik selimut lagi, ia sadar banyak hal yang harus ia lakukan hari ini untuk urusan resort dan yang lain. Dengan langkah gontai, ia pun menuju kamar mandi. Tak butuh waktu lama untuk membersihkan diri, dua puluh menit baginya sudah lebih dari cukup, selebihnya mengenakan setelan tanpa lengan dan rok span di bawah lutut berwarna hijau lalu berhias. Setelah beres, Riska siap bekerja hari ini. Ia bergegas keluar ruangan tapi terkejut melihat Nick juga keluar dari kamarnya dengan sebelah tangan menggeret koper. “Kau mau kemana, Nick?” Seingatnya Nick tidak menceritakan niatnya untuk melakukan perjalanan hari ini. Baik itu pergi ke luar negeri maupun ke luar kota. Terlihat mendadak dan tergesa-gesa untuk meninggalkan resort. Apa dia akan pergi ke Australia karena aku sudah menyinggung tentang Sergio? Namun, melihat penampilan Nick yang terlihat biasa, Riska meragukan arah tujuan Nick jika destinasinya ke luar negeri. Mengenakan kaos slim fit putih, celana chino pendek krem dan sneaker, ia terlihat seperti akan menikmati pemandangan pantai, tapi tidak dengan koper dalam genggamnya. Nick melangkah dan menggeret koper ke arahnya. “Jakarta." Ia mengangkat gagang koper yang isinya terlihat ringan. "Aku harus mengantarkan sisa pakaian Mario untuk kubawa ke apartemen karena siang nanti dia akan tiba dari Perancis. Aku memintanya untuk tinggal di apartemenku karena aku harus tinggal di sini untuk menemanimu.” Senyumnya mengembang, mendekati Riska lalu bersiap untuk mencium bibirnya yang dilapisi lipstik merah muda.  “Stop, Nick.” Riska membuang wajah. “Kau harus menjaga sikapmu.” Suaranya mengecil melihat beberapa pengunjung melintasi mereka di koridor. “Lagi pula hubungan kita--” “Hanya make out? Bukan sepasang kekasih?” Nick setengah tertawa, membaca arah tujuan ucapan Riska. “Ok, kalau itu maumu, Ris. Aku akan menjaga sikapku, tapi dengan syarat ….” Kini tatapannya seperti sebilah pedang yang siap dihunuskan. Terlalu serius. Seperti bukan Nick yang biasanya. “Siapapun pria yang mencoba mendekatimu harus berhadapan denganku.”  “Oh Tuhan." Riska memutar kedua bola matanya cepat. “Kau mulai membual lagi.”  Ia menghela napas pelan dan menggeleng, tetapi itulah Nicholas yang sesungguhnya. Selalu membuatnya jengkel, baik ucapan, perbuatan dan tidak mengenal waktu. Dahi Nick reflek berkerut. “Membual? No. Ini sungguh-sungguh, Ris. Aku akan battle dengan siapa pun rivalku. Tidak peduli itu Ryan, klienmu atau siapa pun itu. Kau tidak percaya?” Sekali lagi Riska menghela nafas kesal. Berbicara dengan Nick memang seperti berdebat dengan seorang Don Juan. Selalu ada cara untuk merayu dan menjatuhkan wanita dalam pelukan. “Aku lebih mempercayaimu pergi ke Jakarta dan aku akan menyusul nanti siang daripada kau menghalangi kedekatanku dengan pria lain, Nick.” Ia terpaksa memberitahu Nick, meski awalnya ingin merahasiakan kepergiannya ke Jakarta.  “Ke Jakarta? Untuk apa? Kau akan menyusulku?” tebak Nick percaya diri lalu kembali melangkah menuju tangga dan berjalan beriringan dengan sebelah tangan menarik koper. “Tidak.” Pandangan Riska ke depan dan tersenyum saat ada pengunjung berpapasan mereka. “Aku ingin menemui penerbit untuk membahas tentang biografi Aldi bersama Jeff,” sahutnya serius. “Aldinov lovers dan masyarakat umum ingin tahu banyak tentang Aldi, dan hanya Jeff yang mengetahui perjalanan panjang Aldi selama 10 tahun menjadi novelis. Dan, di buku itu terselip tentang kisah kami--” “Tentang ia merebutmu dari Ryan?”Langkah Nick terhenti saat akan menuruni tangga, begitu juga dengan Riska yang terdiam sebentar dan berdiri saling berhadapan. Menurut Riska, Nick melupakan sesuatu. Dengan terpaksa ia harus mengingatkannya lagi. “Bukan tentang itu, tapi tentang dia pernah menjadi secret admirer ku jauh sebelum aku mengenal Ryan. Apa Aldi tidak pernah menceritakanmu? Bahkan dia sudah pernah mengatakannya di televisi secara live saat itu." Bibirnya melengkung ke atas mengingat moment Aldi mencium bibirnya di depan publik. Setelah kejadian itu hidupnya berubah, begitu juga sudah kehilangan Ryan. Melupakan? Tidak. Nick ingat jelas kejadian itu walaupun dirinya berada di Kalimantan bersama Mario saat kejadian itu berlangsung. "Oh, acara konferensi pers itu?" Ia mengangkat kopernya saat menuruni tangga. "Aku tidak menyangka adikku yang kalem berani mencium wanita naif sepertimu di depan televisi." Kalimatnya terdengar seakan-akan mengolok-olok, walau sebenarnya ia  cemburu saat kejadian itu terjadi.  Nick bergegas menuruni tangga. Sementara kerutan dahi Riska seakan tidak menerima ucapan Nick. "Kau akan melakukan hal yang sama jika berada di posisinya saat itu, Nick." Secara jelas Riska membela tindakan Aldi, menurutnya ciuman itu terjadi karena dorongan kawan sesama jurnalis yang menginginkan bukti konkrit mengenai hubungan mereka, dan itulah yang terpaksa Aldi lakukan. Menciumnya secara live di saluran televisi. Langkah Nick terhenti setelah tiba di bawah, ia berbalik, kepalanya menengadah melihat Riska yang terdiam di undakan tangga ketiga. "Tidak, tebakanmu salah." Ia menggeleng menanggapi ucapan Riska yang notabene sebuah pembelaan terhadap tindakan Aldi. Menurutnya itu tidak lebih dari perbuatan konyol. Kurang ekstrim. "Jika aku berada di posisinya saat itu, aku tidak hanya menciummu tapi melamarmu. Memberitahu dunia bahwa kau bukan sekadar kekasih, tapi calon istriku," Nick mengatakannya serius, seakan membeberkan dirinya lebih layak menjadi suaminya daripada Aldi ataupun Ryan.  Yup, itulah salah satu sikap Nick yang cukup berbahaya. Membuat siapapun tidak bisa menolak ketika ia sudah memutuskan sesuatu. Dan, ia sanggup melakukan lebih dari yang Aldi lakukan. Kalimat Nick sanggup membuat Riska terdiam dan membisu. Ia tahu Nick sungguh-sungguh tulus mencintainya, tapi ia menanti Nick membuktikan ucapannya tadi meski hatinya sedikit meragu. “Mengapa kau begitu percaya diri mengatakan itu padaku, Nick? Apa kau berani membuktikannya? Melamarku di depan orang lain?” Sebelum menjawabnya, Nick setengah tertawa meski tatapannya sama seperti tadi. Terdengar seperti sebuah tantangan bukan? “Tentu. Jika Tuhan berkehendak, aku akan melamarmu di depan orang banyak. Itu pun jika Ryan tidak menghalangiku.” Ia tertawa setelah menyebut nama Ryan, satu-satunya rival yang masih bersemayam di hati Riska. “Aku pergi dulu. Sepertinya Wawan sudah menungguku di parkiran.”  Nick melanjutkan langkahnya meninggalkan Riska yang kembali terdiam di anak tangga dan ia terus berjalan menuju pintu keluar lobi. Ia lega mengatakan itu dan berharap Tuhan mewujudkan doanya kali ini. “Tunggu,” Riska terkesiap. Ia tersadar Nick sudah tak ada di depannya, pria itu sudah menghilang. “Nick!” Ia setengah berlari dan menemukan Nick yang akan menaiki mobil yang sudah terparkir di depan lobi.  “Nick, apa kau sungguh-sungguh dengan ucapanmu?”  Sebelah kaki Nick terpaksa menapak di atas aspal lagi. Ia bahkan berjalan mendekati Riska, menyelipkan beberapa helai rambut Riska yang menjuntai di pipi ke belakang telinga lalu tersenyum tipis. “Suatu hari nanti aku akan membuktikannya padamu. Itupun jika hubungan kita bukan sekadar untuk make out saja, tapi menerimaku jadi calon suamimu, Ris. Karena aku ... sungguh-sungguh mencintaimu." Kini tangannya membelai pipi Riska lalu melangkah mundur. "Sorry, aku harus pergi." Ia berbalik lalu menaiki mobil dan duduk di samping supir. Riska menyaksikan mobil itu melaju lalu menghilang setelah memasuki jalan raya. Tangannya mendarat di pipi lalu terdiam sebentar teringat dengan semua ucapan Nick. Secara perlahan bibirnya melengkung ke atas, mendengar suara Jeff, ia berbalik lalu kembali memasuki lobi. ❤️❤️❤️ Jakarta Pusat, Toko kue  The Sweetest Jam 11.45 WIB “Oke, kita istirahat dulu.” Seruan Ryan menghentikan pekerjaan para pekerjanya yang sedang mengecat toko milik Jeny. “Satu jam lagi kita lanjut, Guys.” Mengingatkan mereka walaupun mereka termasuk pekerjanya yang disiplin waktu.  Lisa yang sedari tadi memperhatikan, mengambil alih. Ia mengajak mereka ke sebuah ruangan. Mereka pun bergegas menuju sebuah ruangan di samping kasir yang sehari-harinya menjadi dapur tempat kue dan roti itu diproduksi. Di atas meja persegi berbahan kayu jati sudah tersedia empat nasi kotak beserta irisan buah semangka sebagai pencuci mulut, sesuai jumlah pekerja itu. Dia bersikeras menyiapkan itu semua walau tahu itu kewajibannya sebagai klien, hanya kerelaannya saja, sesuai dengan isi kontrak. “Bagaimana jika kita makan bersama, Pak Ryan, Pak Raaj?” Jeny menghampiri Ryan yang sedang berbincang bersama Raaj. Mereka terkesiap melihat kehadiran Jeny yang baru saja memasuki ruangan di saat menunjuk beberapa lampu dan ornamen di dinding. Mereka menoleh ke arah Jeny yang sedang menantikan jawaban.  “Kalian suka masakan Padang?” Sebelah alis Jeny terangkat, masih menanti jawaban. Meski ia tahu benar Ryan menggemari masakan Padang, itu pun ia ketahui dari artikel situs online tentang biografi Ryan. Senyum Ryan sebagai pertanda jawaban ‘ya’, dan ia juga ucapkan secara lisan. “Tentu. Aku sudah lama tidak makan rendang.” Lalu menoleh ke arah Raaj. “Bagaimana, Raaj?”  Kepala Raaj menggeleng. “No, thanks.” Menolak dan tersenyum kecut. “Aku tidak bisa bergabung dengan kalian karena aku ada janji dengan seseorang.” Dengan cepat melirik arlojinya dan berdecak. “Seperti aku sudah terlambat. Aku pergi dulu.”  Raaj mendekatkan bibir ke telinga Ryan. “Kau harus berterima kasih padaku nanti, Yan,” bisiknya lalu bergegas meninggalkan mereka menuju mobil yang terparkir di depan toko Jeny. “Bagaimana, Pak Ryan? Bisa kita pergi sekarang?” Jeny memutuskan pandangan Ryan yang memperhatikan mobil yang Raaj kendarai sudah menghilang dari pandangan. Ia melihat Ryan tersenyum lalu mengangguk. Letak restoran Padang hanya sekitar lima puluh meter dari toko Jeny. Mereka cukup berjalan kaki menuju ke sana, menikmati cahaya matahari yang sedikit redup dan angin berembus pelan. Walaupun bertepatan pada jam makan siang, untungnya di sana masih tersedia beberapa meja kosong. Jeny menunjuk meja yang berada paling sudut. “Sebaiknya kita duduk di sana,” ajaknya, melangkah tergesa-gesa setelah melihat beberapa rombongan pengunjung yang akan memasuki restoran. Setelah memesan dan menanti beberapa menit, seorang pelayan membawa beberapa piring berisi lauk dan nasi yang berada di kedua lengan. Pelayan itu menghidangkannya di atas meja yang kemudian membawa dua gelas jeruk peras dingin. Aroma lauk pauk yang kaya akan bumbu, menggoda siapapun berada di ruangan yang kini dipenuhi pengunjung untuk menelan ludah ataupun tidak menunda waktu untuk melahapnya. Sama seperti Ryan dan Jeny. Mereka pun menyantap hidangan itu dengan lahap.  Tanpa ragu dan malu, Jeny menyantap hidangan itu menggunakan tangan tanpa sendok ataupun garpu. Sama yang seperti Ryan lakukan. Ia juga tidak menutupi dirinya yang selalu menambah nasi setiap kali menyantap menu khas Sumatera Barat itu.  “Maaf, aku ke toilet dulu."  Jeny bangkit setelah menyudahi makan siangnya saat Ryan menyeka mulut dengan selembar tisu. Setelah Ryan mengangguk dan membiarkan Jeny melangkah ke toilet, ponsel yang ia taruh dalam saku celananya bergetar. Setelah merogoh dan membaca nama yang tertera di layar, senyumnya melebar. "Hallo, Ris?" Menyapa sekaligus memulai percakapan bersama Riska setelah sehari kemarin tidak ada komunikasi diantara mereka. “Kau dimana, Yan?” Riska memastikan dugaannya sesuai ucapan Ryan tempo hari, mengerjakan proyek di sebuah toko kue. "Apa aku sedang mengganggumu?" Pertanyaan Riska seakan mengingatkannya saat masih menjalin hubungan. Selalu menanyakan keberadaan dan mengkhawatirkannya. Ia menyukai bentuk perhatian itu, tapi sayangnya ia tak boleh terlalu percaya diri mengingat Riska bukanlah kekasihnya sekarang. Ia harus sadar diri. Situasinya sudah berbeda. “Aku di Jakarta pusat, sedang mengerjakan toko kue yang kemarin aku ceritakan kepadamu. Apa kau mengingatnya?”  "Tentu." Riska mengangguk dan reflek tersenyum. "Klien yang kau bilang cantik itu bukan?” guraunya, meski sedikit merasakan sebuah rasa yang tak ingin ia ucapkan. Cemburu. Ryan berpikir sebentar, telunjuknya menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Ya, dia cantik, Ris.” Dari nada suaranya terdengar ada sebuah keraguan. Bukan karena meragukan kecantikan Jeny, melainkan Riska lah yang ia inginkan sekarang. “Tapi kau tetap yang terbaik, Ris,” sambungnya yang tak lama mendengar suara tawa Riska di seberang sana. "Kau selalu gombal," kata Riska disela tawanya. Ryan meyakinkan Riska lagi. "No. Aku serius."  “Aku di Jakarta sekarang, Yan." Riska terpaksa memberitahu keberadaannya. Ia bisa mengetahui keterkejutan Ryan dari embusan napasnya yang terdengar di speaker ponsel. Berita baik! Bagi Ryan bisa bertemu dengan Riska di Jakarta adalah berita baik mengingat wanita cantik itu jarang memiliki waktu luang. Tentu saja ia bahagia mendengarnya, seperti halnya dengan bibirnya yang melengkung ke atas. "Benarkah?!" Masih tidak percaya sekaligus bahagia. Merasa tak sabar untuk segera bertemu. "Iya, beneran." Riska tertawa lagi mendengar respon Ryan yang setengah tak percaya. "Nanti malam aku ke apartemen. Ada sesuatu yang harus aku cari di kamar. Kau tak mengubah kunci kombinasi pintu kan?”  Ryan menggeleng dan ingat benar kunci kombinasi unit apartemen itu. “Tidak, Ris. Masih yang dulu. Tanggal lahirmu. Aldi memakai kode itu untuk apartemenmu karena tanggal lahirmu mudah diingat.”  Tapi kau tak pernah mengingatnya, Yan. Jika teringat dengan tanggal 14 Februari memang banyak hal yang tak bisa Riska lupakan. Di tanggal itu ia selalu menerima buket mawar jingga dari Aldi sejak SMP kelas tiga, Ryan yang tidak pernah mengingat hari ulang tahunnya selama menjadi kekasih dan di tanggal itu juga Aldi meninggalkan dan memberinya status janda. Namun, semua sudah berlalu. Kini ia memulai bahagianya dari nol bersama orang yang masih menyayanginya. Begitu juga dengan Nick. "Ya, kau benar, Yan. Itu tanggal kelahiranku." Senyum Riska terlihat dipaksakan. Ia berdehem lalu bicara yang lain. “Baiklah. Aku baru saja sampai di kantor penerbit bersama Jeff. Nanti aku akan menghubungimu lagi, Bye, Yan.” “Ok, see you soon, Ris. Bye.” Ryan menutup panggilan dan terkejut Jeny melintas di sampingnya. Jeny kembali duduk, tersenyum dan mengangkat kedua alis dan merasa suasana menjadi kaku. “Maaf aku tak bermaksud menguping. Apa tidak masalah pacar Pak Ryan tahu kita makan bersama di sini?” Tiba-tiba ia merasa sungkan setelah mendengar pembicaraan mereka meski sebentar.   “Dia bukan pacarku." Ryan menggeleng, tapi perasaannya yang dalam terhadap Riska tidak bisa ia sembunyikan dan terlihat jelas di kilau bola matanya. "Tapi…” Wanita yang aku cintai. “Sahabatku." Entah kenapa kata itu terluncur dari mulut Ryan, walaupun ingin rasanya mengatakan wanita yang ia cintai saat ini. "Dia istri dari sepupuku,” sambungnya lagi. Namun, ia tidak menceritakan detail hubungannya bersama Riska. Senyum Jeny melebar, seperti merasakan angin sejuk di sekitar mereka. “Ooh ... saya pikir yang tadi itu pacar Pak Ryan. Saya--” “Panggil saya Ryan," sela Ryan cepat, merasa keberatan Jeny memanggilnya dengan kata ‘pak’. "Sepertinya umur kita tidak beda jauh. Lagipula aku ingin ….” Melihat Jeny menaikan alisnya lagi. "Kita lebih akrab sebagai klien tanpa harus canggung." Memberi alasan masuk akal, setidaknya selama menjadi klien dan project berlangsung. Kepala Jeny terangguk setuju. Tawaran menarik dan tentu saja ia tidak keberatan. “Ok, kalau begitu panggil aku Jeny.” Jeny tersipu dan mereka saling beradu pandang.  Keduanya saling terdiam, seakan mencari sebuah sesuatu yang membuat ketertarikan diantara mereka. Sesuatu yang mereka rasakan seakan duduk di hamparan rumput hijau dan dikelilingi bunga-bunga indah. Sesuatu yang memaksa Ryan menanyakan ini, “Apa kau sudah punya kekasih?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD