Just Make out

2948 Words
Aku ingin mabuk sekarang!  Kepala Riska terkulai ke belakang menerima setiap kuluman Nick yang kini lidahnya menghujam masuk ke dalam mulut, meraih lidahnya lalu memagut bibir bawahnya antusias. Aroma rokok dan kopi pun menyeruak dari mulut Nick. Anehnya Riska tak peduli. Ia menyukai aroma dan sensasi kuluman Nick yang sekali lagi membuatnya terlena membuat darahnya berdesir cepat, secepat rollercoaster yang menggunakan kecepatan Shinkansen. Hasratnya bangkit, nama Nick pun terluncur saat matanya yang terbuka dan menatap sayu wajah merona Nick. Tubuh Riska menjadi hangat, dekapan Nick semakin erat meski sebelah tangannya membuka pintu dan mendorong dirinya untuk masuk ke dalam. Pintu itu pun tertutup rapat. Di sudut lain, Ryan berdiri di ujung koridor dan melihat adegan mereka dengan kedua tangan terkepal kesal. Hatinya semakin panas mengingat Riska membalas kuluman bibir Nick, ia berharap berada di posisi itu. Posisi pria yang sedang mengulum bibir wanita yang masih ia cintai hingga kini. Tak hanya adegan itu membuat hatinya hancur, kesal dan kecewa. Ia belum sempat memberitahu Riska tentang kerinduannya selama ini, tapi ia kalah cepat dengan tindakan Nick yang sudah berhasil menjerat dengan sejuta pesonanya dan mengubah perasaan Riska dari benci menjadi cinta. Ia berkeyakinan bisa mengalahkan Nick. Apapun caranya akan ia lakukan, karena ia bukan Ryan yang dulu pecundang. Menyerah karena cinta. Kegagalannya dulu ia jadikan cambuk dan penyemangat. Untuk meraih ambisi dan cinta. Aku pasti mendapatkanmu lagi! Kali ini aku takkan melepaskanmu, Ris. Tidak untuk kedua kalinya!  “Nick,”  Riska terbaring di bawah Nick yang menindihnya di atas sofa. Lagi-lagi Nick berhasil membuatnya b*******h dan sulit untuk berpikir jernih saat ini. Pikirannya dipenuhi sebuah hasrat yang sudah lama ingin ia lakukan bersama pria yang ia cintai. Apa ini pertanda ia mencintai Nick? Atau hanya dorongan kebutuhan biologisnya saja? “Aku mencintaimu, Ris. Sejak dulu dan sekarang.” Kalimat itu terlontar disela ciuman mereka dari mulut Nick. Embusan hangat napasnya yang cepat mendarat di wajah Riska yang membalas dengan tatapan sayu.  Sekali lagi ciuman Nick berhasil membuat Riska menggila. Ia tahu Nick mengatakannya tulus dan serius. Perasaan cintanya yang tidak berubah sejak dulu meski dulu cintanya terlarang, status 'ipar' menjadi sekat diantara mereka berdua, tapi kini tak ada jarak. Mereka sama-sama tidak sedang menjalin hubungan dengan siapapun. Tentu saja status mereka single and free. Bebas mencintai dan melakukan apa yang mereka inginkan. Seperti yang mereka lakukan sejak tadi, saling membalas ciuman dengan antusias dan lembut. “Aku tahu, Nick.” Sebelah tangan Riska menangkup pipi Nick dan juga membelainya. Ia mencermati wajah Nick yang sekilas melihat wajah Aldi di sana. Ya, wajah suaminya memang ada disana. Ia menelusuri wajah Nick dengan ujung-ujung jarinya dari alisnya yang tebal, kelopak mata yang bola matanya berwarna coklat muda, hidung mancungnya dan berakhir di bibir yang baru saja melumat bibirnya lembut.  Manis … bibir Nick terasa manis …. Perasaan rindu Riska terhadap Aldi seakan tersalurkan melihat wajah Nick dari dekat, tapi ia menyadari kepribadian mereka berbeda dan Riska belum mengetahui ketulusan cinta Nick yang lainnya. Atau ia meragukan ketulusan Nick? Riska memang tak ingin memandang sebelah mata dan mendengar apa yang orang sebutkan mengenai hal buruk tentang Nick kecuali sudah membuktikannya. Yang ia tahu Nick sudah menemaninya ketika sedang berada di masa ia telah kehilangan segalanya, kehilangan Aldi, janinnya dan hari-harinya yang hampa.  Kini ia harus membuktikan bahwa Nick memang sungguh-sungguh dengan ucapan yang baru saja ia lontarkan tadi, sudah mencintainya sejak dulu dan sekarang. “Atas dasar apa kau mencintaiku, Nick? Aku tak secantik wanita Spanyol yang pernah kau tiduri dan aku juga bukan wanita dari kalangan sosialita yang biasa kau temui di Perancis. Aku hanya wanita biasa … seorang janda yang ditinggal wafat suaminya.” Riska meminta jawaban jujur, bukan semata ambisi Nick yang ingin mendapatkan dirinya hanya untuk menjadi koleksi dari wanita yang pernah ia dapatkan. Dengan tatapan setajam elang membidik mangsa, Nick menjawab, “Apa perlu alasan untuk mencintaimu?” Ia balik bertanya. “Aku tak bisa mengungkapkan semua perasaanku padamu, Ris. Tapi itulah yang kurasakan sekarang. Aku akui memang sudah banyak meniduri wanita cantik, tapi mereka hanya one night stand. Tidak lebih. Tapi, kau berbeda. Apa aku salah meniduri atau mencumbu wanita yang aku cintai? Menyentuhmu? Aku tipe pria yang berani bertanggung jawab dengan apa yang sudah kuperbuat, terlebih lagi aku mengetahui dan merasakan penderitaanmu selama ini.” Suara Nick bergetar mengatakan kalimat terakhir. Kalimat yang mengingatkan pada kekasih yang telah wafat karena kecelakaan, sama halnya dengan kejadian menimpa adik satu-satunya, Aldi.  “Kita senasib, Ris. Kita sama-sama kehilangan orang yang kita cintai karena kecelakaan. Aku tahu rasanya sulit melupakan orang yang aku cintai karena dia sudah tiada. Tapi ...." Kali ini Nick membelai pipi Riska. “Setelah jumpa denganmu, aku merasa hidup kembali. Itu sebabnya aku berubah, berubah karenamu, Ris.” Ia terpaksa menjabarkan semua perasaannya, menaklukkan gengsinya untuk jujur. Ia menginginkan Riska mengetahui semua alasan dibalik sikapnya yang selalu membuat jengkel karena sudah mencintai Riska tulus semenjak Aldi hidup. Bibir Riska melengkung ke atas. Ucapan Nick sesuai dugaannya dan masuk akal. Ia memang mengetahui Nick memendam cinta padanya sebelum menikah, tapi saat itu cintanya terlalu besar untuk Aldi dan ia tak ingin menyakiti hati Aldi walau pernah sekali melakukan stupid mistake saat di Paris. Namun, untuk saat ini ia tidak melakukan stupid mistake bersama Nick, selama suka sama suka. Seperti ciuman tadi dan posisi mereka yang kini bersentuhan. Bahkan ia merasakan jelas milik Nick menegang keras dan menempel di pahanya. “Terima kasih sudah mencintaiku, Nick. Aku menghargai perasaanmu, tapi kau kakak iparku. Bukankah itu konyol jika aku menjalin hubungan istimewa denganmu?”  Hal itulah yang membuat Riska ragu untuk menerima cinta Nick. Dirinya seorang janda yang memiliki kakak ipar masih lajang dan mencintainya. Jika dirinya menerima cinta kakak ipar, rasanya aneh walau sebagian orang menganggap itu hal yang biasa terjadi. Jawaban Riska memicu tawa kecil Nick. “Apa salahnya dengan ‘naik ranjang’? Bukankah di Indonesia banyak yang melakukan itu?” Sangat jelas ia tidak menerima ucapan Riska yang segan dengan status mereka. “Naik ranjang?” Dahi Riska berkerut. Ia pernah mendengar dua kata itu tapi baginya terlalu aneh untuk mereka. Bisa jadi dia tidak tertarik. "Ya." Kepala Nick mengangguk dan berhenti menertawai kenaifan Riska. “Menikahi kakak dari mantan suamimu. Itulah yang dinamakan ‘naik ranjang’,” Ia terpaksa memberitahunya walau yakin Riska tidak senaif itu. “Statusku bukan kakak iparmu lagi, Ris. Tapi mantan kakak ipar.” Nick menegaskan ucapannya  pada kata ‘mantan kakak ipar’. “Statusmu single sekarang dan aku berhak menjadi kekasihmu karena kau sudah bercerai dengan Aldi. Kau cerai mati dengannya. Dan aku bisa menikahimu, selayaknya kau menikahi orang lain. Kau paham?” Mendengar penjelasan Nick, seketika Riska terdiam. Ia teringat Aldi pernah mengatakan hal itu dulu. Mengenai setiap pasangan suami istri akan bercerai, baik cerai hidup ataupun cerai mati. Dan ia sadar jika dirinya bersama Aldi sudah cerai mati. Tuhan mengambil Aldi terlebih dahulu karena ia suami yang baik. Suami sempurna dan Tuhan lebih menyayanginya. Namun, menurutnya orang yang melakukan naik atau turun ranjang, dikarenakan beberapa faktor penting seperti anaknya membutuhkan figur seorang ayah atau membutuhkan pria yang harus menafkahinya. Riska sudah kehilangan janinnya dan lagi pula ia tidak membutuhkan Nick untuk menafkahinya karena ia sanggup mencari uang meski sekalipun tidak menjadi manajer atau pemilik resort. Tak ada alasan Riska untuk menikahi Nick karena dua hal itu kecuali … ia menginginkannya, mencintai Nick selayaknya kekasih, bukan hanya sebagai tempat menyalurkan hasratnya saja. Lamunan Riska buyar setelah mendengar dering ponselnya berbunyi. Begitu juga dengan Nick yang pandangan tertuju pada saku jaket jeansnya. “Aku harus mengangkatnya.” Ia bangkit, mendorong Nick pelan lalu duduk bersebelahan. Tangannya merogoh ponsel. “Ryan?” Itulah nama yang tertera di layar. “Hallo, Yan? Ada yang bisa kubantu?” sapanya to the point. Ryan membalas dengan suara tenang, menutupi perasaan yang sebenarnya yang kesal dan kecewa meski teringat adegan mesra mereka. "Kau belum tidur?” Riska melirik Nick yang yakin bisa mendengar ucapan Ryan meski tidak menggunakan speaker ponsel, pria itu memutar bola matanya karena cemburu. “Belum. Aku baru saja akan bersiap-siap tidur. Ada apa, Yan?” Sedikit terheran mengetahui mereka berada di area yang sama tapi Ryan memilih menelepon dibandingkan menemuinya di kamar. "Tidak ada." Ryan menggeleng. Tak menyadari jika dirinya sedang melakukan panggilan bukan temu wajah. “Aku hanya ingin mendengar suaramu sebelum aku tertidur, Ris. Aku masih merindukanmu.” Akhirnya kalimat itu terungkap juga, perasaan yang selama ini pendam hanya untuk memberi waktu Riska melupakan Aldi dan bersiap membuka hati untuk pria lain. Dan, inilah saatnya. “Gombal.” Riska tertawa kecil. Ucapan Ryan tadi kerap ia dengar saat dulu menjadi kekasihnya. Saat Ryan belum mengabaikannya karena alasan sibuk dengan kuliah. “Memangnya kau belum puas bertemu dengan ….” Melirik Nick yang kini mengapit tubuhnya dari belakang. Memeluk dan mencium bahunya lalu perlahan menuju leher. “Hentikan, Nick. Aku sedang bicara.” Merasa Nick sengaja mengganggu pembicaraannya dengan Ryan. Ia tahu Nick cemburu. “Kau sedang bersama Nick?” Ryan berpura-pura tidak tahu. Lagi-lagi adegan itu melayang di dalam ingatannya. Kecemburuannya menyeruak, membuatnya ingin menemui Riska detik ini. Lari berhamburan ke arahnya lalu memeluk dan mencium seperti apa yang sudah Nick lakukan. “Ya, kami ….” Sebelah tangannya menyikut pelan d**a Nick yang masih berada di belakang. “Sedang membahas masalah resort, sebentar lagi kami selesai,” dustanya, menoleh kebelakang melihat Nick menahan tawa dan menggeleng. “Oh ….” Ryan terdiam sebentar, menajamkan pendengarannya dan menangkap suara Nick yang sedang berbisik. “Apa aku mengganggu kalian?”  “Ti--tidak, Yan. Tidak sama sekali.” Dari pertanyaan Ryan, Riska bisa menilai Ryan sedang mencemburuinya sekarang. “By the way, aku ingin mengajakmu sarapan bersama besok pagi. Kau mau?” tawarnya mengalihkan pembicaraan lalu melirik Nick membuang wajah kesal dan ia bergumam dengan nada jengkel. Kepala Ryan menengadah ke arah balkon kamar Riska yang terletak di sebelah kiri atas dan terlihat jelas dari depan kamarnya yang paling sudut. “Oke, that’s good idea, Ris. Kita bertemu besok pagi. Sekarang sebaiknya kau tidur, Ris. Hari sudah malam, aku tidak ingin melihatmu sakit.” Itu juga termasuk kalimat yang Ryan katakan saat mereka belum putus, saat belum menjadi mahasiswa. Kalimat yang selalu membuat hati Riska berbunga-bunga merasakan perhatian darinya dulu. Ya, dulu sekali. “Baiklah.” Riska tersenyum tipis. “Aku akan tidur sebentar lagi. Good night, Yan.” Dengan terpaksa harus mengakhiri percakapan mereka karena tahu Ryan lelah setelah melalui perjalanan yang memakan waktu berjam-jam lamanya dari Jakarta hanya untuk menemuinya di resort.  Pandangan Ryan masih tertuju balkon, berharap Riska keluar dari kamar lalu berdiri dan tersenyum ke arahnya dari balkon. Tapi itu tidak mungkin, Riska bukan paranormal yang tahu isi pikiran dan hatinya sekarang, walaupun berharap Tuhan memberinya kesempatan kedua, untuk bisa menjalin hubungan seperti dulu.  “Good night, Ris.” Ryan terpaksa mengakhiri panggilannya dan kembali melanjutkan lamunannya memandang balkon. Meskipun lelah, ia belum merasakan kantuk, tapi tidak dengan Raaj yang sudah terlelap sejak beberapa menit yang lalu. “Sebaiknya kau kembali ke kamarmu, Nick. Aku ingin tidur.” Riska berusaha melepaskan kedua tangan Nick yang masih melingkar erat di pinggang. "Nick?" “Sebentar lagi, Ris.” Nick menolak, yang terjadi ia semakin mengeratkan pelukan dan mengecup pipinya. Riska berbalik. “Nick?! Jangan buat aku--” Ucapannya terhenti ketika Nick kembali mendekatkan wajahnya dan bersiap untuk mengulangi ciuman tadi, tapi  Riska membuang wajah. "Hentikan, Nick. Kau bukan kekasihku yang bisa menciumku sesuka hatimu."  Ia terpaksa mengatakan itu, dan tentu saja mengundang rasa penasaran Nick. Dahi Nick berkerut. "So, kita hanya make out?" Memastikan tentang hubungan mereka setelah hari ini mereka saling berciuman dan menikmati setiap detik ciuman yang mereka lakukan. Sejenak Riska terdiam. Ia pun tidak mengerti status hubungannya bersama Nick setelah melalui hari ini dengan sesuatu yang ia lakukan penuh kesadaran. Ada sesuatu yang seakan dirinya mencegah dirinya untuk menerima cinta Nick yang tidak ia pahami, walaupun ia tahu perasaan tulus dan kesungguhan Nick. "Anggaplah seperti itu." Ia bangkit tapi dengan cepat Nick menarik tangannya dan membuatnya kembali duduk di samping. "Lepaskan aku, Nick."  "Tidak." Nick sama sekali tidak melepas tangannya yang melingkar di pergelangan tangan Riska. "Jika kau membutuhkan waktu karena tidak percaya dengan ketulusanku, ok. Aku akan menunggumu hingga kau siap, Ris. Tapi aku ...." Ia melepaskan genggamannya dan kini beralih di pipinya dengan pandangan fokus pada bibir Riska yang lipstiknya sudah luntur. "Sungguh-sungguh mencintaimu." Riska memutar kedua bola matanya. "Aku tahu, Nick. Tapi, saat ini aku---” Tiba-tiba suara ketukan dari balik pintu memutus pandangan mereka berdua dan beralih menuju ke arahnya.  “Aku harus membukanya.” Riska bangkit, tapi langkahnya tertahan setelah Nick menarik tangannya. “Biar aku saja.” Nick bangkit. Ia berjalan menuju pintu utama dan bersiap bicara kasar jika orang di balik pintu itu Jeff. Namun, dugaannya salah.  “Bukankah kau baru saja menelponnya? Ada apa?”  Seketika ia merasa Ryan menjadi pengganggu momen pentingnya bersama Riska saat ini. Setidaknya ia harus waspada pada perilaku Ryan yang sewaktu-waktu akan merebut Riska dari genggamannya kali ini. Menutupi kecemburuannya, Ryan terpaksa bersandiwara. “Kupikir kau sudah tidur, Nick.” Menjawab santai meski ingin ia katakan kecewa dengan perbuatan mereka. "Aku baru teringat sesuatu. Boleh aku masuk?” Ryan menoleh ke dalam dan mendapati Riska duduk di sofa. Sebenarnya Nick ingin mencegah Ryan mendekati Riska apapun alasannya, tapi setelah mendengar kedekatan bersama Riska hanya make out, mau tak mau ia harus berlapang d**a mendapatkan Riska dan membuka pintu. “Tentu. Masuklah.” Memberi jalan Ryan masuk lalu melirik Riska. “Ris, aku ke kamarku dulu. Aku ingin tidur dan bermimpi indah malam ini.” Nick setengah berteriak dengan sebelah mata berkedip. “Aku tinggal dulu, Yan,” Tanpa mendengar jawaban Ryan, ia beranjak keluar. “Ada apa, Yan?" Riska bangkit dan penasaran. Belum ada sepuluh menit mengakhiri pembicaraan di ponsel, Ryan menghampiri dengan raut wajah yang mengartikan seribu makna. “Aku ….” Ryan melangkah mendekat. "Apa kau punya celana pendek yang bisa aku pakai?" tanyanya, menjadi alasan kedatangannya sekarang. "Celana? Tentu." Riska bergegas berjalan menuju lemari yang berada di samping ranjang. “Kau tidak berubah, Yan. Apa kau masih tidur hanya mengenakan celana pendek saja?” Menebak kebiasaan Ryan. "Ya." Ryan mengangguk. "Karena kedatanganku mendadak, aku lupa membawa baju salin, Ris. Aku tidak nyaman tidur pakai celana panjang. Lagi pula tidak mungkin aku hanya pakai underwear." Sebelah alisnya terangkat, berharap Riska paham. Tentu saja Riska paham, Ryan tidak pernah nyaman tidur sekamar bersama meski sesama pria hanya mengenakan underwear. Aneh tapi cukup masuk akal  "Baiklah. Aku cari dulu." Riska mencari pada pintu pertama, ia biasa meletakkan pakaian santai Aldi di sana, baik itu kaos dan celana pendek. “Sepertinya aku masih menyimpan celana pendek Aldi yang belum dipakai deh,” gumamnya dengan pandangan dan tangan tertuju pada isi lemari yang masih dipenuhi pakaian milik Aldi. "Kupikir kau sudah tidur." Ryan duduk di bibir ranjang mengamati Riska yang sibuk merogoh isi lemari.  Sehelai celana pendek tersodor. “Ini. Pakailah.” Tangan Riska terjulur ke depan Ryan memegang celana bermotif pohon kelapa. "Thanks, Ris." Ryan menerima dan bangkit. “Maaf aku mengganggumu.”  "Tidak apa-apa, Yan." Senyum Riska mengembang tipis. Tatapan Ryan sama seperti dulu, kilau matanya penuh dengan kasih sayang. Sama sekali tidak berubah. “Maksudku, dengan ucapanku di panggilanku tadi,” jelasnya lugas. Untuk sejenak keheningan menyelimuti mereka. Pandangan Riska masih lekat pada kedua bola mata coklat Ryan yang menanti respon. Senyum itu pun kembali Riska berikan dan berkata, “Terima kasih, Yan.” Ia berbalik dan kembali fokus pada isi lemari. Dia menghindar.  Ya, Ryan merasa Riska sedang menghindar dari ucapan tentang perasaan cintanya yang masih ada. Seketika ia merasa seakan cintanya kembali bertepuk tangan. “Sepertinya kau sudah jatuh cinta padanya,” gumamnya dan yakin Riska mendengarnya, itu terlihat kedua tangannya terhenti saat merapikan pakaian.  Riska terdiam dan menyadari dirinya memang sudah jatuh cinta dan terjerat pesona Nick, tapi itu bukan hal yang salah untuk ia lakukan karena dirinya tidak lagi menyandang status kekasih atau istri orang. Dirinya wanita single. Wanita yang bebas memilih pria yang ia sukai, termasuk Nick. Ataupun Ryan. “Kau tak membutuhkan kaosnya juga, Yan?” Riska sengaja mengalihkan pembicaraan. Lebih tepatnya untuk menjaga perasaan Ryan. Ryan setengah tertawa, ia sudah menduga jawaban Riska dan berpikir mereka sudah menjalin hubungan lebih dari sekadar ipar. Kekasih? Harapnya tidak. “Hmm … boleh, Ris. Aku membutuhkannya juga.” Dengan terpaksa ia mengikuti alur ucapan Riska yang memang tidak ingin membahas kedekatannya dengan Nick, meski dirinya menginginkan kepastian tentang hubungan mereka. Sekali lagi tangan Riska tersodor ke depan. "Ini." Sehelai kaos putih warna kesukaan Ryan. “Kau menyukai kaos putih bukan? Kau bahkan dulu sering menemuiku dengan kaos putih.” Dari bibir Riska kembali melengkung ke atas, menurutnya Ryan terlihat tampan dengan kaos putih dan mengingatkan dirinya saat-saat mereka melakukan pendekatan dulu. Ryan yang kerap mengenakan baju berwarna putih kemana pun. “Kau satu-satunya wanita yang paling tahu aku, Ris.” Ryan menerima, pembicaraan ini bukan ia yang memulai menyinggung tentang masa lalu mereka, tapi Riska sendiri. "Thanks, Ris.” Pandangannya bergantian dari bibir dan mata indah Riska. Namun, teringat dengan adegan mesra mereka, membuat Ryan kembali kesal. “Tidurlah.” Ryan mengusap ujung kepala Riska. “Kau pasti lelah.” Melihat matanya memerah dan menguap karena kantuk. “Ya.” Kepala Riska mengangguk. “Aku menunggumu besok pagi di resto. Ajak Raaj juga, Yan.” Walau mengantuk, ia masih sempat-sempatnya tersenyum lagi. “Baiklah. Aku ke bawah dulu." Ryan mengecup ujung kepala Riska lalu tersenyum menatapnya yang terdiam. "Goodnight, Ris.” Lalu berjalan menuju pintu. “Good night, Yan.” Riska membalas setelah Ryan menutup pintu itu dan meninggalkannya sendiri. Ia terbaring di ranjang, melihat langit-langit kamar dan teringat dengan ucapan Ryan tadi. “Jatuh cinta? Ya, aku memang jatuh cinta padanya. Pada Nick, kakak iparku yang brengsek.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD