Part 2

1118 Words
    Tak terasa sudah hampir seminggu, dua hari lagi adalah saat-saat yang paling menegangkan bagi keluarga Danies. Mereka sangat berharap Pak John bisa menolongnya.     Masih ada waktu bagi Danies sebelum menghadapi keputusan dari perusahaan Pak John. Sebenarnya ia bukanlah perusahaan yang memiliki cabang di mana-mana. Pak John hanya memiliki satu buah perusahaan properti yang ia namai Canan Company, sebuah perusahaan yang bergerak dalam beberapa proyek pembangunan seperti infrastruktur jalan, apartement, taman, perumahan, mall dan masih banyak lagi. Bahkan di gedung perusahaannya itu, ia membuat sebuah taman indah lengkap dengan air macur dan kolam yang mengelilinginya, serta gazebo dan bunga-bunga yang mengiasinya. Taman itu berada di tengah-tengah yang dikelilingi tembok-tembok gedung yang terbuat dari kaca agar setiap orang yang lewat dapat melihat dan merasakan kenyamanan dan ketenangan. Taman itu adalah hadiah ulang tahun untuk cucunya, Rossie saat berulang tahun yang ke 10. Padahal pada awalnya itu adalah taman biasa dengan kondisi yang seadanya.     Kala itu Danies menyempatkan ke toko buku yang ada di pinggir jalan. Namun siapa sangka kalau ia harus bertemu dengan orang yang ia tidak suka. Siapa lagi kalau bukan Rossie.     Bruuk....     Terdengar suara rintihan seseorang yang terkena pintu mobil yang baru saja dibuka.     "Maaf. Aku tidak sengaja. Apa kau baik-baik saja?" tanya Danies yang kaget, karena tak sengaja pintu mobil yang ia buka malah mengenai orang.     "Aku tidak apa-apa hanya saja barang-barangku menjadi berantakan," jawab seorang wanita yang jatuh tadi. Matanya sedari tadi tertunduk membereskan buku-buku yang sepertinya baru ia beli.     "Ini!" kata Danies sambil memberikan buku yang ia pungut.     "Terima kasih," balas wanita itu namun disertai heran.     "Astaga kau lagi?" kata wanita itu terlihat kesal.     "Rossie!" kata Danies yang juga ikut kaget.     "Tak bisakah kau hati-hati dan melihat-lihat dulu sebelum kau membuka pintunya? Kau lihat badanku terasa sakit karenamu," tanya Rossie kesal.     "Kau seharusnya berjalan dengan hati-hati. Lagi pula aku sudah minta maaf," jawab Danies yang ikut mengeraskan suaranya.     "Aku rasa aku sudah berjalan dengan cukup hati-hati sebelum kau teledor seperti ini. Mudah sekali kau mengatakan maaf begitu saja," kata Rossie sambil mencoba untuk bangkit.     "Jadi apa maumu? Apa kau mau kita berdebat seperti di bandara?" tanya Danies. Matanya terlihat memandang tajam kedepan muka Rossie.     "Aku mau kita tidak akan pernah bertemu lagi," jawab Rossie sambil membalikan badan kemudian pergi.     Danies tak bergerak. Ia hanya mengepalkan tangannya, tanda menahan amarah. Sementara matanya hanya terpaku pada Rossie. Namun tiba-tiba ia sadar. Ia ingat akan kata pamannya, kalau ia harus meminta maaf dan berhubungan baik dengan cucu dari John agar mau bekerja sama. Ia pun berlari mencoba mendekati Rossie.     "Rossie, tunggu!" teriak Danies mencoba mengejar Rossie. Sementara yang dipanggil tak menghiraukannya malah mempercepat langkahnya.     Danies pun berlari. Untunglah ia bisa mengejar Rossie yang berjalan dengan kaki yang terlihat sakit. "Rossie, tunggu!"     "Ada apa?" tanya Rossie yang masih menampakkan wajah kesal.     "Aku minta maaf. Kau benar aku tidak hati-hati. Seharusnya aku melihat disekitarku terlebih dahulu sebelum aku membuka pintunya. Aku pantas menerima kemarahanmu. Dan soal di bandara, saat itu aku benar-benar sedang terburu-buru. Ibuku sedang berulang tahun. Aku harap kau bisa mengerti!" kata Danies dengan napas yang terengah-engah.     "Apa yang kau inginkan? Aku bahkan tak tahu siapa namamu," tanya Rossie heran.     "Namaku Danies. Aku tidak tahu kenapa kita selalu bertemu disaat yang tidak tepat, namun aku hanya ingin meminta maaf padamu. Mungkin kita bisa berteman," jawab Danies sambil menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan.     "Maafkan aku Danies, tapi sayangnya aku tidak ingin berteman denganmu," kata Rossie tersenyum ketus.     "Tapi, aku benar-benar menyesal," kata Danies.     "Baiklah kalau begitu aku memaafkanmu dan aku juga minta maaf, dan anggap saja kita tidak pernah bertemu," kata Rossie kemudian pergi.     Baru saja Danies mulai tersenyum Rossie memaafkannya, tapi malah dijatuhkan lagi dengan perginya Rossie begitu saja.       ***       Pagi terasa cerah untuk saat yang dinanti ini. Danies terlihat berdandan rapi. Ia tidak akan melewatkan kesempatan ini.     "Kau sudah siap?" tanya Serena, ibu Danies sambil bersender di pintu. "Paman James sudah menunggu!"     "Ya. Apa aku terlihat pantas?" Danies meminta pendapat. "Aku sedikit gugup."     "Kau terlihat sempurna. Semoga keberuntungan berada di pihakmu," balas Serena.     "Andai saja aku mau turut mengelola semua ini sejak dulu," kata Danies menyesal.     "Andai saja kau tidak usah mengemban amanat ini. Kau mungkin bisa bebas mewujudkan segala cita-citamu," kata Serena sambil melangkah dan menggenggam erat tangan putranya.     "Satu-satunya keinginanku adalah melihat ibu bahagia," kata Danies tersenyum.     "Oh, Danies!" kata Serena terharu dan memeluk Danies.     Namun suasana haru tersebut harus dikagetkan dengan hadirnya James. "Apa kau sudah siap? Paman tidak ingin datang terlambat. Kau tahu waktu adalah uang!" kata James menggoda.     "Ayo, paman," ajak Danies. Ia pun mengecup dahi ibunya serasa meminta restu.     Danies dan James pun melangkah pergi dengan hati yang penuh harap dan semangat. Jika melihat reaksi dari Pak John minggu lalu, apalagi cara memujinya pada Danies mereka cukup percaya diri.     Namun siapa kira kalau ternyata semua tidak sesuai dengan apa yang diharapkan Danies maupun James.     "Saya benar-benar minta maaf. Kami tidak bisa bekerjasama dengan perusahaan Anda. Saat ini sedang terjadi krisis di mana-mana. Kami tidak ingin mengambil resiko pada perusahaan yang sedang menurun seperti perusahaan Anda. Kami tahu perusahaan Anda pernah berjaya beberapa tahun lalu, tapi kami hanya melihat kondisi perusahaan itu sekarang. Sekali lagi, kami mohon maaf," kata Pak John menerangkan.     "Tapi Anda bilang perusahaan kami mempunyai cukup potensi dan Anda cukup tertarik," kata Danies heran.     "Ya. Kami tahu saat ini kondisi perusahaan kami sedang berada di bawah, tapi jika kami mendapat partner yang baik seperti perusahaan Anda, kami rasa perusahaan kami akan naik lagi," kata James menambahkan.     "Tentu saja kalian punya potensi. Saya percaya itu. Hanya saja kalian belum dapat menemukan dan mengolahnya dengan baik," kata Pak John.     "Apa ada alasan lain?" tanya Danies dengan nada sedikit tinggi.     "Tidak ada. Kalian tahu saya tidak bisa memutuskan hal ini sendiri. Ini sudah disepakati dengan anggota dewan. Kalau boleh saya sarankan mungkin kalian bisa menjual beberapa saham atau aset kalian pada orang lain untuk dapat fokus di satu perusahaan saja," kata Pak John menyarankan. "Kalian pasti pernah mendengar kalau perusahaan saya pernah jatuh, bahkan lebih buruk dari kondisi kalian saat ini. Namun saya mencoba bangkit, walau itu tidak mudah dan membutuhkan proses yang panjang. Tapi, kalian bisa lihat kondisi saya saat ini seperti apa dan saya hanya fokus pada 1 perusahaan saja. Saya memang tidak bisa menanam saham atau bekerjasama dengan perusahaan kalian, tapi saya dengan senang hati menjadi tempat sharing atau sekadar memberi masukan pada kalian dengan cuma-cuma. Saya yakin, jika kalian mau bekerja keras lagi, kalian akan sukses. Bahkan jauh lebih sukses dari saya."     "Terima kasih atas tawaran Anda. Kalau begitu, kami pergi dulu," kata James pamit.     Sementara Danies hanya terlihat kesal dan menahan emosi. Sedari tadi ia mengepalkan tangannya. Ingin sekali ia lebih banyak berkomentar, tapi dicegah oleh pamannya, James. Mau tidak mau, mereka harus pulang dengan tangan hampa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD