Part 3

1642 Words
    "Ini semua pasti Rossie yang membujuk kakeknya. Aku tidak percaya gadis seperti dia bisa melakukannya, padahal aku sudah minta maaf," kata Danies terus saja menggerutu sedari tadi di dalam mobil.     "Kau tidak boleh salah sangka. Buktinya, perusahaan-perusahaan sebelumnya pun menolak untuk bekerja sama dengan kita. Sudah untung kita Pak John mau menjadi konsultan kita," kata James mencoba menenangkan.     Danies terus saja menyalahkan Rossie. Ia berpikir kalau Rossie dalang dari semua keputusan ini. Ingin sekali ia bertemu dengan Rossie untuk protes tidak terima.     "Paman berhenti!" teriak Danies seketika ketika matanya tertuju pada seseorang dari balik kaca mobil.     "Ada apa?" tanya James sambil mengrem mobilnya mendadak.     "Baru saja kita membicarakannya. Itu Rossie. Dia sedang terlihat asyik-asyik tertawa dengan temannya, sedangkan kita sedang menderita. Aku akan memberinya perhitungan," jawab Danies sambil membuka seatbeltnya.     "Apa yang ingin kau lakukan Danies?" tanya James. Namun yang di tanya tidak menghiraukannya bahkan pergi begitu saja.     Dengan penuh emosi Danies pergi menuju Rossie yang sedang berada di cafe luar bersama teman-temannya. Terlihat sedang bersenang-senang.     "Rossie. Aku akan memberimu perhitungan. Kau yang telah mencuci otak kakekmu, ‘kan?" tanya Danies sambil memegang erat tangan Rossie.     "Apa maksudmu?" Rossie balik bertanya sambil mencoba melepaskan genggaman Danies.     "Hentikan. Kau melukai tangannya," teriak teman Rossie.     "Dia sudah melukai banyak orang. Ayo ikut aku, ada yang aku ingin bicarakan!" kata Danies sambil menarik tangan Rossie.     "Hei! Kau mau membawanya ke mana?" teriak teman Rossie yang satunya terlihat khawatir.     "Tidak apa-apa teman-teman. Aku akan segera kembali," kata Rossie mencoba menghilangkan kekhawatiran teman-temannya.     Danies menarik Rossie hingga ke beberapa meter tak jauh dari cafe.     "Lepaskan tanganku!" kata Rossie mencoba meronta. Sesekali ia memegang tangannya kesakitan, bekas genggaman tangan Danies yang begitu keras hingga membuat tangannya terlihat merah.     "Kau yang sudah menyuruh kakekmu untuk membatalkan kerjasama dengan perusahaanku, ‘kan? Aku tahu hubungan kita sejak awal tidaklah baik, tapi apa kau tidak memikirkan ratusan karyawan dan juga keluarganya betapa ini sangat penting bagi hidup mereka. Sikapmu sungguh kekanak-kanakkan. Aku kira kita bisa menjadi teman aku bahkan sudah berulang kali minta maaf padamu, tapi apa yang kau perbuat padaku? Kau sama saja seperti namamu, dari jauh kau terlihat seperti bunga yang cantik hingga setiap orang menyukai dan ingin memilikinya—" kata Danies.     "Wow! Memilikinya? Perkataanmu sangatlah kasar," kata Rossie memotong.     "... Namun kau malah melukai orang yang berada di dekatmu dengan durimu," kata Danies terus saja berbicara tanpa henti.     "Aku tidak mengatakan apa pun pada kakekku," kata Rossie.     "Kau bohong. Aku bisa melihatnya dari matamu," sanggah Danies.     "Terima kasih karena kau telah memujiku cantik, tapi kau perlu tahu kalau sebuah pohon mawar harus rela mati mengorbankan dirinya agar ia bisa sampai ke tangan orang yang ingin dibuatnya bahagia. Dan bukan salahnya jika seseorang itu tertusuk durinya. Setangkai mawar tak akan pernah menusuk siapa pun walaupun orang itu berniat memotongnya, tapi orang itu sendirilah yang tidak hati-hati. Tapi dengan melihatmu seperti ini, aku rasa keputusan kakekku benar. Ia tidak pantas bekerjasama denganmu," kata Rossie yang mulai menyudutkan Danies.     "Tutup mulutmu, Rossie. Aku kira kau seorang wanita yang mempunyai hati nurani dan kelembutan," kata Danies sambil mencoba menampar pipi Rossie.     Beruntung James segera datang menghentikan Danies. "Cukup Danies!"     "Mengapa paman menghentikanku? Dia pantas mendapatkannya," tanya Danies kesal.     "Kau tidak boleh menampar seorang wanita apalagi ini di tempat umum," jawab James yang juga terlihat kesal. "Aku benar-benar minta maaf, nona Adams!"     "Adams?" tanya Danies dalam hati. Nama itu seolah tidak asing baginya. Itu adalah nama belakang Cassie. Tapi tidak mungkin baginya jika itu Cassie. Sifatnya sangatlah jauh berbeda.     "Ya. Tidak apa-apa Tuan. Aku mengerti apa yang saat ini ia rasakan," kata Rossie tersenyum.     "Ayo Danies, minta maaf!" bujuk James.     "Aku tidak mau. Paman lihat sendiri, aku sudah minta maaf sebelumnya, tapi apa yang aku dapat? Seharusnya aku tidak mengikuti perkataan paman," jawab Danies kesal.     "Tunggu dulu, tadi kau bilang bahwa sikapku kekanak-kanakan, tapi sebenarnya saat itu kau hanya berpura-pura bersikap baik dan minta maaf padaku, karena disuruh pamanmu agar kakekku dapat bekerjasama denganmu. Oh, Danies kau sungguh licik seperti ...," kata Rossie. Namun tiba-tiba terhenti.     "Seperti apa?" tanya Danies tak terima.     "Sudahlah Danies. Jangan memperpanjang hal ini. Lihatlah sekitarmu melihat kita semua. Tidakkah kau malu?" tanya James.     "Tapi paman," kata Danies.     "Ayo, tidak ada kata tapi-tapian. Sebaiknya kita pergi," kata James sambil menggandeng tangan Danies. "Sekali lagi aku minta maaf, nona."     Rossie hanya tersenyum melihat Danies yang digusur oleh pamannya seperti anak kecil. Rossie pun terlihat malu melihat orang-orang di sekelilingnya memerhatikannya. Ia pun segera kembali ke mejanya menemui teman-temannya.     "Apa sudah beres?" tanya teman Rossie.     "Apa ada masalah dan mengapa orang tadi memanggilmu Rossie?" tanya teman Rossie yang satunya.     "Entahlah. Kalian tidak usah khawatir, ia hanya lelaki yang sedang frustasi karena perusahaannya. Ayo, kita tidak usah membahasnya lagi!" jawab Rossie.       ***       Dalam perjalanan, Danies masih saja memendam amarahnya pada Rossie. Ia terus saja berbicara. Ia terlihat begitu tertekan. Sesampainya di rumahpun ia masih bermuram durja. Ia tidak tahu harus berkata apa pada ibunya yang juga berharap.     "Bagaimana hasilnya?" tanya Serena. "Ibu, sudah menyiapkan manisan untuk kalian."     "Danies!" teriak James yang melihat Danies tidak menjawab pertanyaan dari ibunya malah pergi ke kamarnya.     "Aku lelah. Biarkan aku sendiri!" teriak Danies.     Serena hanya terlihat bingung melihat tingkah laku putranya itu. "Apa yang terjadi? Apa perusahaan itu menolak?" tanya Serena penasaran.     "Ya. Mereka menolaknya. Namun mereka masih bersikap baik dengan menawarkan untuk berkonsultasi memajukan perusahaan kita. Tapi coba kau tebak apa yang Danies lakukan?" jawab James sambil menghela napas dan sesekali minum air.     "Apa dia terima? Ini pasti sesuatu yang sulit baginya," kata Serena terlihat khawatir.     "Bukan hanya tidak terima. Ia menyalahkan semua ini pada Rossie, cucu dari Pak John. Ia mempermalukannya di depan umum dan tak hanya itu, ia juga hampir menamparnya," James menerangkan tingkah laku keponakannya yang sungguh memalukan.     "Aku tidak menyangka Danies akan berbuat seperti itu pada wanita. Memangnya apa yang sudah Rossie lakukan?" tanya Serena. Ia berpikir tidak mungkin Danies seperti itu kalau tidak ada penyebabnya. Bagaikan tidak akan ada asap kalau tidak ada api.     "Sejak awal Danies dan Rossie tidak akur dan Danies mengatakan kalau Rossie telah mencuci otak kakeknya untuk menolak kerjasama ini. Tapi walaupun misalnya itu benar, ia tidak berhak merendahkan Rossie di depan umum apalagi ia mengatakan Rossie bagaikan mawar yang cantik dan setiap orang menginginkan untuk memilikinya," jawab James yang terlihat kesal.     "Memilikinya? Aku tidak menyangka dia berkata seperti itu," kata Serena kaget. Ia pun mulai merebahkan tubuhnya di kursi tak percaya.     "Untuk saja dia juga tidak menambahkannya dengan kata ingin menyentuhnya. Kalau ya, Rossie pasti akan menamparnya dan ini akan berdampak pada reputasi perusahaan kita," kata James.     "Aku akan berbicara dengannya!" kata Serena sambil meninggalkan James menuju kamar Danies.     Serena mulai mengetuk-ngetuk pintu. Walaupun Danies tak membiarkannya masuk ia tetap memaksa masuk dan membuka pintu.     "Aku ingin sendiri!" kata Danies sambil memasangkan headset di telinganya.     "Dengarkan ibu, Danies. Ibu sudah tahu apa yang kau lakukan pada Rossie dan itu sangat memalukan. Apa yang kau rasakan jika ibu menjadi Rossie?" tanya Serena sambil duduk di tepi kasur mendekati Danies dan melepaskan headset yang menempel di telinga Danies.     "Tapi ibu tidak tahu seperti apa dia. Aku bahkan tidak menyangka dia memiliki nama belakang seperti Cassie. Tak hanya itu, matanya juga benar-benar mirip. Dia tak pantas memegang nama Adams," kata Danies kesal.     "Matanya. Ibu baru tahu kau memperhatikan matanya," kata Serena tersenyum.     "Maksudku. ... Aku tidak sengaja melihatnya saat ia berbicara dan mendekatkan wajahnya padaku," balas Danies tiba-tiba tersipu.     "Kalau begitu bagaimana jika ia memang Cassie? Apa kau juga akan mempermalukannya seperti itu?" tanya Serena.     "Tentu saja tidak. Tapi Rossie bukanlah Cassie. Ia adalah kebalikan dari sikap Cassie," jawab Danies menyangkal.     "Dengarkan ibu. Siapa pun itu, apa pun masalahnya, bagaimana pun sikapnya, kau harus menghormati seorang wanita. Ibu tahu saat ini kau sedang kecewa, tapi ibu harap kau dapat menerimanya dengan lapang d**a. Ibu ingin kau minta maaf pada Rossie," kata Serena memberi saran.     "Mengapa semua orang menyuruhku meminta maaf padanya?" tanya Danies penuh kesal.     "Karena yang kau lakukan tadi tidak baik dan ibu tidak ingin suatu saat kau menyesal," jawab Serena.     Serena terus menenangkan Danies. Memberinya begitu banyak pengertian, tak hanya itu ia juga menjelaskan padanya bagaimana ia bisa bercerai dengan ayahnya. Ia tidak ingin Danies tumbuh seperti ayahnya yang berambisi pada karier, namun juga tidak berperasaan pada orang lain. Ia ingin Danies tumbuh menjadi jiwa yang penyabar, pantang menyerah, namun juga peka pada perasaan orang lain. Tidak masalah baginya kalau suatu saat perusahaan itu akan benar-benar bangkrut asal ia tidak kehilangan sosok Danies yang baik.       ***       Sementara itu Rossie terlihat murung memikirkan perkataan Danies tadi siang. Ia hanya mengorek-ngorek makan malam di piringnya tanpa menyentuhnya sedikitpun.     "Hai, Rossie. Maaf kakek pulang terlambat," kata Pak John sambil mencium dahi Rossie. "Kau belum menghabiskan makanananmu?" tambahnya ketika melihat makanan yang masih penuh di piring.     "Tadi aku bertemu dengan Danies dan dia marah besar padaku. Aku bisa mengerti perasaannya, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa," jawab Rossie sambil menaruh sendok dan garpu yang dipegangnya.     "Kakek mengerti. Tapi, kakek rasa kita sudah melakukan hal yang benar," kata Pak John menggenggam tangan Rossie.     "Kakek benar. Aku tahu ini bukanlah keinginannya menjadi pengusaha. Ia hanya memikirkan nasib para karyawan dan keluarganya. Tapi, aku hanya ingin melihat sejauh mana ia berusaha dan sejauh mana ia akan menyerah. Walaupun, karena itu ia akan membenciku. Tapi, kelak ia akan mengerti dan memaafkanku," kata Rossie merasa bersalah.     "Kau tenang saja. Kakek sudah menawarkan menjadi konsultan perusahaannya. Kakek akan mengarahkannya untuk menjadi pribadi tangguh dan juga pantang menyerah. Ia akan belajar bagaimana susahnya hidup dan ia juga akan belajar bagaimana menghargai apa yang orang lain atau dia miliki," kata Pak John tersenyum.     "Aku hanya tidak ingin suatu saat ia terlena dengan semua kekayaan yang dimilikinya. Aku tak peduli kalaupun ia harus bangkrut dan jatuh miskin. Aku hanya menginginkan ia menjadi dirinya sendiri dan bisa bersyukur atas apa yang dimilikinya. Hanya itu," kata Rossie tersenyum kecil. Walau dari matanya ia terlihat menyimpan air mata yang membuat matanya berkaca-kaca.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD