AKU MENUNGGUMU DI TEMPAT BIASA

1582 Words
    Udara di kota Nice siang itu begitu sejuk. Suara deru mobil saling bersahutan bersamaan dengan kepulan asap dari knalpotnya yang menimbulkan polusi udara. Kota Nice merupakan salah satu kota yang terkenal dengan keindahan laut dan pantainya. Langit yang cerah, desiran ombak di pantai serta angin musim semi yang bertiup begitu lembut menambah atmosfir positif bagi mereka yang menikmati keindahan kota ini.       Di halte bus di pinggir jalan yang tidak jauh dari  pantai, berdiri seorang gadis dengan shopping bag di tangannya. Gadis itu sedikit gemuk dan tinggi dengan dandanannya yang sederhana. Berpakaian sederhana dengan celana jeans dan baju kaos big size di tubuhnya. Kulitnya yang putih merona, wajahnya yang chubby seperti bayi gemuk yang imut dan rambut panjangnya yang ikal diikat ekor kuda sedikit kusut tertiup angin.       Gadis itu bernama Alexandria Vallery. Seorang gadis sederhana dengan pemikirannya yang sederhana. Ia menunggu seseorang yang sangat ia cintai dengan hati yang berbunga-bunga. Seorang pria yang sudah lama menjadi teman dekatnya dan ia cintai secara diam-diam. Seorang pria yang baru saja kemarin resmi menjadi kekasihnya. Xandria yang baru saja memiliki pacar idaman yang tampan sangat bahagia, karena selama ini sangat sulit baginya memiliki seorang pacar. Dengan kondisi fisiknya yang bisa dibilang gemuk, sangat sederhana, bukan dari kalangan “Bourjois” dan tidak menarik sedikitpun membuat banyak pria menolaknya. Selain hanya memiliki seorang teman wanita bernama Bella, beberapa tahun terakhir hanya ada seorang pria yang dekat dengannya. Pria itu bernama Justin Bill yang sekarang berstatus sebagai pacarnya.       Sudah satu jam lebih Xandria berdiri di pinggir jalan menunggu lelaki pujaan hatinya. Ia menunggu dengan sabar berharap sang pria akan datang menemuinya. Karena hari ini adalah kencan pertamanya bersama Justin. Selain itu hari ini adalah hari ulang tahun Justin dan ia ingin merayakannya bersama di Café pinggir pantai tempat biasa mereka bertemu.       Kamu  sudah sampai mana? Aku menunggumu di tempat biasa     -Xandria-       Xandria mengirimkan pesan kepada seseorang yang ia tunggu. Belasan menit ia menatap layar handphone di tangannya yang tak kunjung memberikan tanda sebuah pesan masuk, kemudian memasukan ke dalam tasnya. Ia masih berdiri dengan sabar di pinggir jalan dekat halte bus sambil berulang kali melakukan adegan yang sama.       Tiga jam berlalu dan gerimis yang turunpun mulai membasahi kulitnya. Saat ia telah lelah berdiri dan berniat menuju halte untuk duduk dan berteduh, handphone dalam tasnya bergetar dan berbunyi pertanda sebuah pesan masuk.       Tidak usah menungguku. Aku tidak bisa datang menemuimu. Maaf.      -Justin Bill-       Xandria mematung setelah membaca pesan tersebut. Padahal semalam ia sudah membuat janji dengan pria yang mengirimkan pesan itu. Ia sudah mempersiapkan semuanya dengan baik dan membeli kado untuk Justin dari uang tabungannya sendiri. Ia menatap ke langit  yang tadi siang sangat cerah. Kini langit yang cerah itu berubah menjadi gelap seperti mau runtuh mewakili suasana hatinya yang seakan ikut runtuh karena kecewa.       Gerimis yang tadi sedikit membasahi dirinya tanpa ia sadari berubah menjadi hujan yang begitu deras. Ia masih berdiri mematung dibawah deras hujan yang kini membasahi seluruh tubuhnya. Tiba-tiba suara petir yang menggelegar memecahkan lamunannya. Ia tidak mencari tempat untuk berteduh, namun berjalan dan terus berjalan tanpa tahu arah. Kekecewaan benar-benar menyelimuti hatinya. Air mata turun begitu deras membasahi pipi mulusnya. Ia menangis sejadi-jadinya tanpa mengeluarkan suara di bawah derasnya hujan. Di lubuk hatinya ia sangat tahu bahwa Justin tidak mencintainya. Ia tahu Justin menerimanya hanya karena tidak ingin melukai perasaannya. Ia selalu berusaha menghilangkan pikiran itu asalkan ia bisa bersama Justin. Tapi kejadian hari ini membuat ia sadar bahwa cinta yang ia harapkan hanya bayangan semu.     ****         Di perusahaan Bill Corp hari itu sangat sibuk. Para karyawan perusahaan sibuk bekerja di meja kerjanya masing-masing. Terlihat beberapa orang karyawan yang sedang mengangkat telepon, membereskan dokumen-dokumen, sibuk dengan komputernya, juga ada yang berlalu lalang. Dan di ruang Direktur seorang pria duduk menatap ke layar handphone di meja kerjanya yang penuh dengan dokumen-dokumen perusahaan, dan seorang pria lagi sedang duduk santai di sofa.       “Kamu mengirim pesan pada siapa?” Wilbert yang sedang duduk malas di sofa besar memperhatikan Justin menatap handphone yang kini ada di tangannya dengan wajah rumit.       “Xandria. Dia mengajakku bertemu untuk merayakan ulang tahunku bersamanya” Justin menjawab dengan wajah datar.       “Kenapa tidak pergi? Kasihan wanita menunggu terlalu lama” bujuk Wilbert.       “Tidak. Aku tidak ingin pergi”       “Biasanya kalian berteman baik dan sering keluar makan bersama. Bahkan sekarang telah berpacaran. Kenapa tiba-tiba tidak mau pergi?” Wilbert yang semakin bingung dengan jawaban Justin mengerutkan keningnya. “Apa ada sesuatu yang terjadi di antara kalian? Xandria terlihat begitu mencintaimu”.       Justin yang duduk di balik meja kerjanya menghela nafas sambil memijat pelipisnya. “Ya , aku tahu dia sangat mencintaiku. Tapi perasaan tidak bisa dipaksakan. Aku hanya menganggapnya sebagai adik, tidak lebih. Kemarin aku menerimanya hanya karena tidak tega menolaknya, sekarang malah menyesal. Dia bukan wanita tipeku. Mana mungkin aku menyukai bebek buruk rupa dan gemuk itu untuk dijadikan kekasih. Membuatku kehilangan muka saja”.       “Apa kamu masih mengharapkan Belva kembali?”       “Entahlah.” Justin menjawab dengan singkat.       Wilbert hanya berdiam diri dan menghirup nafas dalam mendengar penjelasan panjang lebar dari teman baiknya.     ***         “Xandria, apa yang kamu lakukan saat  hujan deras begini? Apa kamu ingin sakit?” Bella yang berteriak sambil memegang payung di tangannya berusaha menyadarkan Xandria dari lamunanya.       “Bella… Apa yang kamu lakukan di sini?” Xandria menatap Bella dengan matanya yang besar karena kaget.       “Harusnya aku yang bertanya padamu, apa yang kamu lakukan hujan-hujanan begini?” Bella kembali bertanya dengan nada kesal.       “A...A…Ak…Aku…” Tiba-tiba Xandria kehilangan kesadaran.     Beberapa saat kemudian di kediaman Bella. “Aku sedang berada dimana?” Xandria yang baru sadarkan diri merasa bingung melihat ke sekeliling ruangan dengan perabot yang tidak familiar. Ia berusaha duduk sambil memegang kepalanya yang terasa sakit.       “Xandria kamu sudah siuman? Jangan duduk dulu, istirahatlah!” Bella yang dari tadi duduk di samping tempat tidur berusaha menenangkannya. “Kamu sedang berada di rumahku. Tadi aku melihatmu berjalan sendirian dan kehujanan. Saat aku mendekatimu, kamu malah pingsan”       “…..”       “Xandria…sebenarnya apa yang terjadi padamu?”       Xandria tiba-tiba duduk dan langsung memeluk Bella dengan erat. Ia menangis terisak-isak di bahu Bella. Bella yang melihat Xandria seperti itu semakin bingung dan mengerutkan keningnya. “Xandria bicaralah, apa sesuatu terjadi padamu?”.       “Bella…” Xandria memanggil nama Bella dengan suara serak.       “Sayang…ceritakan padaku apa yang terjadi? Bagian mana yang sakit? Kenapa kamu seperti ini?” Bella mempererat pelukannya dan mengusap rambut Xandria yang masih basah.       “Hatiku yang sakit” Xandria menundukan wajah sambil terisak menjawab pertanyaan sahabatnya.       “Siapa yang berani menyakitimu? Siapa yang tega melukai perasaan kesayanganku?”       “Justin tidak mencintaiku. Aku benar-benar bodoh selalu mencintainya. Ia tidak pernah mencintaiku” Xandria masih saja menangis dipelukan Bella.     “Sayang…jangan menangis lagi. Aku telah membuatkan bubur untukmu. Makanlah selagi panas.” Bella tidak bertanya lagi, meski Xandria tidak menjelaskan apa yang terjadi padanya, tapi ia sedikit mulai mengerti bahwa kejadian ini ada hubungannnya dengan Justin. Ia melepaskan pelukannya dan mengambil semangkuk bubur yang ada di atas meja nakas. Ia menyuapi Xandria dengan penuh kasih sayang.       Bagi Bella, Xandria adalah orang yang sangat berarti dalam hidupnya selain kedua orang tuanya. Semenjak kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan, ia hidup sendirian mengandalkan sedikit tabungan peninggalan orang tuanya. Dan Xandria lah yang selalu membantunya disaat sulit. Meskipun bukan dari keluarga yang kaya, tapi Xandria hidup berkecukupan. Ibunya seorang ibu rumah tangga dan ayahnya bekerja sebagai pegawai Griffin Corp yang merupakan perusahaan yang bergerak di bidang export-import nomor satu di kota Nice. Dan ayahnya adalah tangan kanan Mr. Juan Griffin pemilik perusahaan tersebut. Meski hidup berkecukupan, tapi Xandria selalu hidup sederhana dan bersahaja.       Xandria terlihat sangat lapar, memakan bubur yang disuapi Bella dengan lahap. Di suapan terakhir Bella tersenyum menatap mangkuk bubur bersih tak bersisa. Ia kemudian menyodorkan tissue kepada Xandria dan berkata, “Minum obat dulu dan istirahatlah. Besok kita bicarakan lagi, hari ini kamu sudah sangat lelah.” Kemudian ia menyuruh Xandria berbaring dan menyelimutinya.       Xandria berbaring di single bed milik Bella dan berpura-pura tidur. Setelah Bella menyelimutinya dan beranjak dari kamar, ia membuka mata menatap langit-langit kamar sambil melamun.       Andai saja aku selama ini mendengarkan ucapanmu Bella, hatiku tidak akan sesakit ini. Aku masih ingat saat kita membicarakan tentang Justin, kamu mengingatkan ku untuk tidak terbawa perasaan. Pria itu akhir-akhir ini benar-benar membuatku gila. Mengorbankan waktu dan perasaanku untuk tetap memikirkannya meski aku tahu dia tidak pernah memikirkanku. Dengan setia dan bodoh mendengarkan curhatan tentang kekasih lamanya meski membuat hatiku sakit. Mencintainya dalam diam meski aku tahu dia tidak pernah mencintaiku. Tapi sikapnya yang lembut dan perhatiannya terhadapku membuat hatiku luluh. Bahkan aku memutuskan hubunganku dengan Alex yang selalu mengejarku hanya untuk bisa bersamanya. Aku tidak tahu ia menganggap aku siapa, tapi ia selalu saja ada dalam hari-hariku, saling bercerita dan berkeluh kesah.       Karena rasa itu hari demi hari semakin bertambah, hingga menyentuh lubuk hatiku yang paling dalam karena sikap lembutnya. Sebuah perasaan yang tidak  bisa ku bendung lagi, memberiku keberanian untuk mengungkapannya. Tapi apalah daya, sekuat apapun aku berusaha aku tetap tidak akan bisa menempati hatinya. Mungkin aku sangat egois, memaksakan perasaan yang tak akan mungkin mendapat balasan. Tapi kenapa dia sangat baik padaku dan selalu memperhatikanku? Apa salah aku mencintainya? Kalau kelembutan dan perhatiannya itu bukan cinta, lalu apa?       Bella masih dengan pemikirannya sendiri mengingat kemarin Justin setuju berpacaran dengannya, meski  ia tidak mengungkapkan perasaannya pada Xandria bahwa ia juga mencintainya. Beberapa menit kemudian Xandria pun memasuki alam mimpi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD