10. BERSAMA MARCELL

2042 Words
Pada akhirnya, Weeby yang kalah. Marcell memang tidak bisa dikalahkan kalau sudah berurusan dengan kamauannya. Seberapun lawan bicaranya menolak ajakannya, Marcell akan bersih kukuh, mencoba berbagai cara agar si lawan bicara lelah dan akhirnya mengiyakan. Weeby sungguh kesal setengah mati pada Marcell, ia akhirnya memilih untuk diam, menutup mulutnya rapat-rapat, ceritanya ia lagi marah sama Marcell. Mereka berdua kini sudah berada di kafe yang berada di kawasan Jakarta. Weeby masih enggan berbicara pada Marcell, sialnya lagi, ponsel miliknya sudah kehabisan daya. Weeby berdesis kecil, kini ia tidak ada bahan alihan untuk menyibukkan diri. "By, lo mau pesan apa?" Marcell bertanya dengan lembut sembari menyodorkan menu makanan di hadapan Weeby. Weeby sama sekali tidak berkutik, sekadar membalas tatapan Marcell rasanya juga tidak sudi. Well, ini merupakan awal pertama kali bagi Weeby jalan berduaan dengan Marcell. "By, lo mau apa? Jangan bikin gue pusing deh." Pada akhirnya Marcell sedikit sebal dengan Weeby yang asik mendiami dirinya seperti itu. Kini tatapan Weeby sepunuhnya terekspos ke arah wajah Marcell, kedua alisnya hampir saja bertaut, "ya udah, biarin gue pulang aja kalo kayak gitu," balas Weeby tak suka dengan perkataan Marcell sebelumnya. "Ya udah sana pulang!" Marcell berkata tegas, seolah tidak keberatan dengan keputusan Weeby kali ini. "Yakin lo?" Wajah Weeby tampak berbinar, sebetulnya Weeby juga mau berlama-lama di sini lantaran tempatnya sangat nyaman. Tapi, pikirannya selalu saja teringat Andika, Weeby takut kena marah laki-laki itu. "Ya udah gih sana pulang," balas Marcell sembari tersenyum miring. Sedetik kemudian Weeby langsung paham apa arti dari senyuman licik milik Marcell itu. Weeby mendengkus sebal, motornya ia titipkan pada penjaga sekolah, sedangkan untuk pergi ke restoran ini ia membonceng Marcell naik motor besarnya. Ish s**l sekali. Seharusnya Weeby sedari tadi curiga dengan sikap Marcell. Hei, tapi mana mungkin Marcell mempersilakan Weeby begitu saja untuk pulang setelah dia membujuk Weeby tanpa henti. Ah, Weeby sangat menyesal meninggalkan motornya di parkiran sekolah. Marcell terkikik pelan, melihat Weeby yang mengerucutkan bibirnya seperti itu seketika memancing tawa Marcell untuk keluar. Weeby terlihat sangat lucu hingga membuat Marcell gemas sendiri. "Udah, lo pesen apa? Buruan kalo lo mau cepet-cepet pulang," ucap Marcell sembari tidak henti terkekeh ringan. Betul juga apa yang cowok itu katakan barusan, Weeby harus segera memesan makanan, ia tidak boleh terlalu lama di sini agar semuanya cepat beres dan ia bisa pulang. Beberapa saat kemudian, setelah mereka sudah memesan dan makanan sudah keduanya makan, Weeby berkata, "fue mau pergi ke toilet dulu bentar," pamit Weeby setelah menghabiskan spagetti udangnya. Tanpa menunggu jawaban dari Marcell, Weeby segera bangkit dari duduknya, berdiri dan melenggang menuju toilet. Marcell masih sibuk dengan ponselnya, sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa Weeby sudah tidak ada dihadapannya. Ke mana perginya cewek itu? Marcell buru -buru menyimpan ponsel disaku celana, lalu mengedarkan pandangan ke sekitar. Sialnya, manik matanya masih belum menangkap cewek cantik itu. Pada akhirnya, Marcell memilih untuk mencari Weeby, menjelajah setiap sudut restoran yang terbilang cukup luas ini. Sepuluh menit berlalu, Marcell masih belum menemukan Weeby, ia merasa kesal dengan situasi kali ini. Toilet, hanya itu satu-satunya tempat yang belum Marcell kunjungi, ragu-ragu ia mulai berjalan dengan langkah kaki pelan ke tempat itu. Sebenarnya, Marcell sedikit tidak yakin bahwa Weeby berada di sana. Namun, ia paksakan untuk masuk. Mencoba lebih baik daripada tidak sama sekali. Sementara itu di dalam bilik toilet restoran, seperti biasa Weeby memandangi pantulan dirinya di cermin yang tertera dihadapannya, lalu pandangannya langsung beralih pada sebuah obat yang ada digenggamannya. Ini sudah waktunya bagi Weeby memakan obat, ia sengaja bersembunyi dari Marcell, cowok itu tidak boleh tahu jika Weeby melakukan hal ini. Dan, pada saat bersamaan, Marcell baru saja datang. Spontan Weeby memekik kaget, bulatan matanya bertambah lebar kala Marcell menatapnya dengan sorot mata curiga. Weeby langsung gugup, takut pada dirinya sendiri. Jelas sekali bahwa Marcell melihat dirinya menelan obat, Weeby masih diam, namun ekor matanya menatap Marcell yang masih curiga. "By, lo minum obat lagi?" Weeby segera memalingkan wajahnya ke arah lain, pertanyaan Marcell barusan ia abaikan. Bagaimana tidak? Weeby masih belum menemukan alasan yang tepat. Ini juga bukan pertama kalinya Marcell curiga seperti itu. Hanya memilin bibir tipis yang sedari tadi Weeby lakukan. Kini banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang masuk ke otaknya. Weeby takut jika Marcell bercerita kepada orang lain, apalagi orang itu bersekolah di gedung yang sama. Weeby tidak mau semua orang tahu. Dari dulu ia menutup perihal itu rapat-rapat, sekalipun dari Kenya dan Netta. "By, gue tanya sama lo!" ulang Marcell, kali ini nada suaranya terdengar seperti memaksa. "Gue mau pulang, buruan anterin," sanggah Weeby cepat, ia memutar topik pembicaraan. Tidak semudah yang dipikirkan, Marcell tidak sebodoh itu, ia tahu jika Weeby sedang menghindar dari pertanyaan dirinya. Mimik wajah Weeby sedari tadi sudah terlihat pucat pasi saat Marcell bertanya seperti itu. "Sebaiknya lo jujur sama gue," ucap Marcell dengan tegas, ia menutup akses jalan keluar untuk Weeby. Seketika Weeby mengurungkan niatnya untuk keluar dari toilet karena pintu sudah terhadang oleh Marcell. s**l! "Cerita apa sih? Nggak jelas banget, minggir!" omel Weeby tak suka dengan penuturan Marcell sedetik yang lalu. Weeby memutar bola matanya, Marcell masih tidak mau menyingkir. Hal itu membuat emosi Weeby bergejolak dan siap keluar. "Kalo sampai hitungan ketiga lo nggak minggir juga, gue bakalan teriak kalo lo mau berbuat hal-hal aneh ke gue." Weeby tersenyum licik, sementara Marcell masih dengan muka datarnya. Dengan tepaksa, Marcell akhirnya memilih untuk menepi, kembali memberi akses bagi Weeby untuk keluar. Tanpa sadar, rahang Marcell sudah mengeras, ia sunggu ingin tahu kenapa dirinya selalu melihat Weeby memakan obat, dan itu selalu saja merenggut perhatiannya. Lima detik setelahnya, Marcell berjalan menyusul Weeby yang sudah keluar dari bilik toilet. Langkah kaki lebar-lebar Marcell turut keluarkan. Tidak lama bagi Marcell untuk mengejar Weeby, kini mereka berjalan bersisihan keluar dari dalam kafe. "By, lo harus pulang bareng gue, lo tunggu sini dulu," peringat Marcell, ia mencengkeran tangan Weeby agar cewek itu tidak kembali berjalan. Weeby akhirnya mengangguk pasrah, menuruti kemauan Marcell. Bukan alasan ia menurut, disini ia hanya bergantung pada Marcell karena cowok itu harus kembali mengantarkan dirinya untuk kembali ke sekolah, mengambil motor Weeby tentunya. Setelah mendapat anggukan itu, Marcell buru-buru masuk kembali ke dalam Kafe karena belum membayar makanan yang ia pesan sebelumnya. Sepuluh menit kemudian, akhirnya Marcell keluar dari dalam kafe. Weeby seketika langsung mengerucutkan bibirnya ke depan, sementara Marcell masih bersikap datar. "Yuk pulang," ajak Marcell, lalu ia meninggalkan Weeby di tempat. Cowok itu berjalan terlebih dahulu. Disuruh menung dulu malah ninggalin pula, Weeby sangat kesal, ia sampai menghentakkan kakinya di tanah berulang kali. Weeby akhirnya mengikuti Marcell dari belakang dengan langkah kaki panjang-panjang. "Apa-apaan sih lo, nyuruh gue nungguin tapi lo sendiri malah ninggalin gue," omel Weeby saat sudah duduk dijok belakang motor Marcell. "Gue nungguin lo? Emang lo siapa gue?" Marcell memicingkan satu alisnya lalu sedetik setelahnya ia terkekeh ringan. "Mulai nih penyakit ngeselin-nya kambuh, dasar Marcell manusia aneh," cibir Weeby. "Dari pada elo, manusia jelek, rambut lo nggak cantik," balas Marcell sengit hingga membuat Weeby memanyunkan bibirnya. "Ih ngeselin banget sih lo jadi kodok!" ujar Weeby sebal. Seketika Marcell membulatkan matanya lebar-lebar, "kalo gitu lo monyet dong?" Marcell terkikik kembali. "Lo kera." Weeby kembali menyahut, kali ini ia lebih semangat. "Lo kingkong." "Lo gorila." "Lo simpanse." "Udah ah, ngurusin lo kapan selesainya?!" sinis Weeby, kemudian ia mengalihkan pandangan dari Marcell. "Alah, tinggal bilang lo nggak punya jawaban lagi," komentar Marcell. Singkat cerita, Weeby kini sudah sampai di rumah bersama Marcell. Cowok itu memaksa untuk ikut, padahal Weeby kan bisa pulang sendiri dengan motornya yang sebelumnya ia ambil dulu di parkiran sekolah. Weeby refleks menelan ludahnya dengan getir. Menghadapi Andika bukanlah cara yang tepat, bagi Weeby, ayahnya itu tidak terkalahkan. Sekarang ia malah khawatir pada Marcell, bisa-bisa cowok itu malah terkena amukannya. "Cell, lo sebaiknya pulang aja sana, gue takut elo kenapa marah sama ayah gue," khawatir Weeby sambil menatap Marcell dengan sorot mata teduh. "Kenapa? Bukannya tadi di jalan gue udah janji sama lo buat bantu ngomong soal kenapa lo pulang jam segini?" ucap Marcell dalam satu tarikan napas. "Lupakan itu, gih lo sebaiknya cabut sekarang," usir Weeby seraya mengibaskan tangannya.. "Nggak mau," ujar Marcell, masih pada pendiriannya. Tanpa sadar, Weeby semakin kesal dengan Marcell, toh ini bukan untuk kebaikan dirinya, tapi demi kebaikan cowok itu sendiri. "Gue bakalan ngambek selama setahun kalo lo nggak nurut sama gue." Weeby melipat kedua tangannya didepan dadanya, ia elempar tatapan ke arah lain. Marcell terkekeh, "jelek banget lo kalo lagi ngambek," titah Marcell sambil menatap Weeby dalam-dalam. "Biarin," ketus Weeby tanpa melirik Marcell sedikitpun. Menghela napas panjang-panjang, Marcell kembali berucap, "iya, gue bakal cabut. Tapi lo harus ingat, ini kemauan lo sendiri, jadi kalo bokap lo nanti marah, jangan salahin gue," peringat Marcell, sebelum menyalakan mesin motor dan lekas pergi. "Iya iya, buruan pergi," cetus Weeby seraya mengibaskan tangannya, mengisyaratkan agar Marcell segera menjauh dari pekarangan rumahnya. "Udah ditraktir makan, ngusir pula," gerutu Marcell. Marcell akhirnya memakai helmnya kembali, lalu menyalakan mesin motornya, dan dilanjutnya memutar gas. Motor besar Marcell akhirnya sudah melesat jauh. Weeby mengembuskan napasnya lega, sebenarnya bukan alasan Weeby mengusir Marcell tadi, ia hanya tidak mau Marcell tahu jika Andika yang telah menyuruh Weeby menelan obat itu. Langkah kaki kecil Weeby membawanya memasuki rumahnya, sekarang Weeby berasa sedang memainkan uji nyali di rumah berhantu, kembali ia menelan ludahnya dengan susah payah. "Dari mana aja kamu?!" Seketika tubuh Weeby langsung mematung kala suara berat itu masuk ke indera pendengarannya. Weeby tegang. Terlihat Andika sedang berjalan ke arahnya dari dapur seraya membawa secangkir kopi panas. "Maaf yah, tadi Weeby cari makan dulu," jawab Weeby takut-takut. Laki-laki itu meletakkan cangkir kopinya di atas meja, lalu sepasang mata nyalangnya sepenuhnya mengarah ke Weeby. "Kamu tau yang namanya peraturan, udah Ayah bilang jangan ngelanggar lagi!" Suara Andika menggelegar memenuhi ruangan yang bercat putih ini. "Maaf ya, tapi tadi Weeby lapar, dari tadi pagi Weeby belum makan," jelas Weeby, sorot matanya menatap lantai, sama sekali tidak berani menatap sang ayah. "ALASAN!" Laki-laki paruh baya itu melayangkan tamparan telak tepat di pipi Weeby. Secara refleks Weeby langsung terhuyung ke belakang dan berakhir duduk di lantai. Tamparan Andika sangatlah keras hingga membuat Weeby merintih menahan sakit. Weeby menyentuh pipinya dengan gerakan lamban, masih terasa denyutan yang keras. Terlihat Andika yang sedang tersenyum miring melihat putrinya yang tersungkur di lantai, ia merasa tidak bersalah sama sekali. Tak lama setelah melakukan perbuatan k**i itu, Andika merebut tas milik Weeby secara paksa. Weeby yang melihat itu hanya pasrah, ia tidak peduli Ayahnya masih menggeledah tas miliknya, Weeby hanya fokus pada tamparan keras yang masih terasa nyeri. Setelah mendapatkan apa yang dicari, Andika tersenyum sinis dan melempar tas milik Weeby ke sembarang arah. "Kerja yang bagus," puji Marcell pada Weeby seraya mengangkat botol kecil yang sudah tidak berisi. Dan itu artinya, obat yang berada didalamnya sudah habis. Sejurus kemudian Andika meletakkan benda itu di meja didekatnya, dan dilanjutnya merogoh saku celananya. "Nih hadiah lagi buat kamu." Andika melempar benda yang sama tepat di hadapan weeby. Namun, sudah berisi banyak sekali obat didalamnya. "Minum nanti malam sebelum tidur, jangan coba-coba mau ngelak kalo tidak mau Ayah murka sama kamu," lanjut Andika lagi, ia kemudian mendaratkan bokongnya di sofa dan mengambil secangkir kopi, sedetik setelah itu ia menyeruputnya sedikit. Tidak peduli sama sekali apa yang telah dilakukannya pada Weeby, laki laki itu memilih untuk menonton siaran televisi. Weeby terkulai lemas, tiba-tiba saja sebulir cairan bening baru saja lolos dari pelupuk matanya. Perlakukan ayahnya tadi sungguh kejam, tidak seharusnya ia seperti itu. Apalagi terhadap putrinya sendiri. Dan pada akhirnya, Weeby memungut botol obat itu dan segera memasukkannya ke dalam tas, tidak lama berselang, Weeby bangkit dari sungkurannya dan berlari menuju kamarnya. Sesampainya di kamar, Weeby segera menghempaskan badannya di atas benda empuk, lalu menutup mukanya dengan bantal. Weeby kemudian menangis sejadi-jadinya, sama sekali tidak peduli dengan derai air mata yang membasahi bantal. Menangis, hanya itu jalan satu satunya untuk mencurahkan isi hatinya. Weeby tidak mempunyai cara lain. Memang setiap hari Weeby mendapati perlakukan tidak mengenakan seperti ini, tentu saja rasanya sangat sakit. Bahkan, kerap kali Weeby berpikir untuk kabur saja daripada terkena gertakan dan omelan dari sang ayah. Apalagi jika Andika sudah main fisik seperti tadi, sangat menyakitkan. "Ibu ... Weeby kangen," ucap Weeby disela tangisannya. Selalu saja setelah mendapatkan perlakuan kasar dari Andika, Weeby akan teringat dengan ibunya yang memiliki sifat lembut dan baik hati, terlebih lagi sayang kepada dirinya. Memang, sangat bertolakbelakang dengan sang ayah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD