Bude Ratmi

1406 Words
Mereka kembali diam tanpa kata dan fokus pada perjalanan yang sesekali berhenti untuk singgah makan malam dan beristirahat sejenak di pom bensin atau rest area. Perjalanan kali ini terasa sangat panjang sekali mengingat diantara keduanya tak ada yang memulai pembicaraan. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. "Nak, mau makan?" "Tidak, Pah. Sela kenyang." "Makan apa memang? Kok kenyang?" "Minum hehe." "Kembung bukan kenyang!" "Sudah kita makan saja dulu, sebentar lagi juga sampai. Biar sampai rumah langsung istirahat nantinya." Sela mengangguk patuh dan mereka memesan beberapa makanan untuk di santap. Beberapa makanan sudah tersedia di hadapan mereka dan terlihat sangat menggiurkan membuat perut yang sejak tadi keroncongan semakin meronta-ronta meminta untuk diisi agar cacing-cacing di dalam perut berhenti demo. "Ayo, kita makan dulu, Sel." "Iya, Pah." Mereka makan dalam diam namun sangat menikmati setiap makanan yang masuk ke dalam perut mereka. Makanan itu memang sangat lezat dan sudah menjadi tempat favorit di kala mereka pulang kampung pasti saja menyempatkan diri untuk makan di rumah makan yang sederhana namun makanannya luar biasa. "Ah kenyang," sahut Sela. Tiba-tiba tangannya mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Papah terkejut melihat kelakuan anaknya itu. "Sela!" "Hm." "Kamu masih merokok?" "Iya, Pah." "Astaga, Sela!" "Kenapa?" "Bagaimana nanti jika keluarga suamimu tau?" "Tenang saja, Pah. Mereka tidak akan tau dan tak akan pernah tau jika tak ada yang memberitahu," ucapnya sinis memandang Papahnya dengan tatapan dingin. Wanita itu mematik rokoknya dengan korek yang elegan. "Maksudmu?" "Mereka tidak akan tau selama Papah, diam! Benar bukan?" "Kamu benar-benar tidak bisa berubah, Sela." "Pah, sudahlah tidak usah lebay. Sela juga tidak merokok di hadapan mereka semua. Tenang saja, rahasia ini aman," jawabnya menghembuskan asap rokok ke wajah papahnya. "Keterlaluan." "Sikapmu ternyata tetap saja bar-bar, padahal sudah punya suami. Bagaimana nanti jika kau punya anak? Apakah anak-anakmu akan terkontaminasi asap rokok dari ibunya?" "Papah, sudahlah! Tenang saja, aku begini apabila stress saja dan tidak lebih." Sela dengan sikap anggun terlebih angkuh mengisap kembali rokoknya dan menghembuskan perlahan dengan sangat tenang. "Sudah cepat habiskan rokok j*****m itu! Kita lanjutkan perjalanan!" Mereka kembali melanjutkan perjalanan, dan akhirnya sampai setelah kurang lebih memakan waktu enam jam perjalanan karena memang beberapa kali berhenti untuk istirahat. Mereka masuk ke pelataran Desa Simaja, gelap itulah yang dilihat pertama kali tiba di desa tersebut karena memang kurangnya penerangan jalan. Papah Dedi melajukan arah mobil menuju rumah. Memang mereka juga sampai disana sudah larut malam maka dari itu sepi dan sunyi menghiasi perjalanan mereka dari pintu gerbang masuk desa hingga rumah. Setibanya di rumah yang besar itu, mereka disambut oleh Bude Ratmi-Kakaknya Papah Dedi. "Walah, sampai malam sekali sampainya, Nduk." "Assalammualaikum Mbak Yu." "Waalaikumsalam. Ayo masuk-masuk. Sela, mandi dulu, Nak. Bude sudah siapkan air hangat untukmu." "Njih, makasih, Bude." "Nang, Mbak juga sudah siapkan air hangat untukmu. Segera mandi. Ditunggu di meja makan, Mbak sudah siapkan makan malam." "Gak usah, Mbak. Kami sudah makan tadi, sebelum kesini sempat mampir di rest area." "Benar?" "Iya benar, Bude." "Ya sudah, kalian mandi dan beristirahat." Bude Ratmi, wanita paruh baya yang tidak mempunyai anak dan ditinggal suaminya kurang lebih sudah lima tahun lamanya. Beliau adalah wanita yang sangat lemah lembut juga menyayangi Sela seperti anak sendiri. Sebab, beliau sudah lama sekali menginginkan menimang anak tetapi Gusti Allah berkata lain, beliau tidak juga diberi kepercayaan untuk mengandung. Maka dari itu, beliau menganggap Sela seperti anak kandung sendiri dan sangat menyayanginya. Seperti sekarang ini, beliau sedang duduk manis di tepi ranjang menunggu anak gadisnya yang sekarang sudah menjadi istri orang selesai mandi. Betapa bahagianya beliau karena bisa bertemu Sela mengingat beberapa hari yang lalu tidak bisa datang ke acara pernikahannya karena satu dan lain hal. Sebenarnya, beliau merasa heran juga kenapa tiba-tiba adik dan keponakannya itu datang berkunjung ke kampung. Penasaran sebenarnya ada apa, namun beliau urungkan untuk bicara mengingat mereka baru saja sampai dan pasti sangat lelah sekali. "Bude," panggil Sela lembut. "Sudah selesai , Nduk?" "Sudah, Bude. Ada apa?" "Tidak apa-apa, Nak. Bude hanya rindu hehe, kemarin 'kan gak sempat datang ke acara bahagiamu." "Ya ampun, Bude. Sela pikir ada apa sampai-sampai menunggu Sela selesai mandi, hehe." "Sini, Nduk, Bude surai rambutmu. Sudah lama juga tangan ini tak menyurai rambut indahmu, Nak." Sela mendekat pada Bude Ratmi dan duduk disebelahnya. Lalu tangan Bude dengan lembut menyurai rambut anak gadisnya itu. Senyum indah tak pernah lepas dari wajahnya yang sudah terlihat sepuh itu. "Berapa lama ya, Nduk, Bude tidak menyurai rambutmu ini. Ternyata sudah panjang." "Haha, Bude … Bude, jelas sudah panjang karena sudah lama juga tak disurai oleh Bude, bukan?" "Iya, Nduk. Bude sampai rindu sekali." "Nduk." "Iya, Bude." "Apakah kau bahagia, Nak?" "Kenapa Bude berbicara seperti itu?" "Bude hanya memastikan saja bahwa kau memang bahagia menikah dengannya, Nduk. Bude hanya ingin melihatmu bahagia tanpa pernah kecewa karena rasa sakit." "Sela bahagia, Bude. Bahkan sangat bahagia." "Alhamdulillah, Nak." "Tapi …," ucapnya lirih. "Tapi kenapa, Nak? Apa suamimu menyakitimu? Apa keluarganya bersikap tidak baik padamu? Katakan Nak, apa yang sudah mereka lakukan padamu?" "Tidak, Bude, Sayang. Tidak begitu," ucap Sela lembut menangkupkan kedua tangannya di wajah Budenya lalu mengecup keningnya seraya menenangkan. "Mereka baik, bahkan sangat baik, suamiku juga." "Lalu kenapa?" "Bude, Sela ingin memiliki mereka seutuhnya." "Maksudnya, Nak?" "Memiliki Mas Reno seutuhnya, keluarga mereka seutuhnya dan juga harta mereka seutuhnya." "Lalu?" "Bude bantu Sela." "Bantu apa, Sayang? Apapun itu asalkan kau bahagia, Bude pasti akan bantu dan menuruti." "Benarkah?" "Iya, Sayang." "Tapi sepertinya tidak sekarang, Bude." "Kenapa?" "Bude sayang, lihatlah sekarang pukul berapa? Bukankah sudah waktunya untuk tidur dan beristirahat? Lebih baik kita lanjutkan besok agar lebih seru, untuk sekarang, Sela lebih memilih istirahat. Sela lelah, Bude." "Astaga, maafkan Bude, Nak. Saking senangnya kamu datang, Bude sampai lupa sekarang sudah larut malam." "Baiklah, Sayang. Istirahat ya, Nak. Mimpi indah anakku. Besok kita lanjutkan lagi pembicaraan ini. Jangan sungkan minta bantuan, Bude, Nduk." "Iya Bude." "Selamat malam dan mimpi indah, Sayang." "Selamat malam, Bude. Mimpi indah juga." *** Suara adzan subuh berkumandang bahkan terdengar sangat merdu sekali, lalu terganti oleh lantunan ayat suci Al-Qur'an yang memang kegiatan rutin setiap pagi setelah shalat subuh. Tadarus dari beberapa orang yang masih di mushola terdengar sangat merdu dan sayup-sayup membuat siapapun yang mendengarnya pasti akan terbawa tenang dan damai. Sela mendengar suara adzan bukannya bangun dan segera menunaikan kewajibannya, ia justru kembali menarik selimut dan menutup telinganya dengan bantal lalu melanjutkan tidur kembali. Berbeda dengan Papah Dedi selepas shalat subuh sudah duduk manis di depan memandang hamparan sawah yang mendamaikan hatinya. "Nang." "Eh Mbak Yu." "Ngelamun saja." "Hehe, gak kok, Mbak." "Gimana kabar istrimu? Lalu besanmu?" "Alhamdulillah semua baik-baik saja, Mbak." "Mbak pikir, kalian kesini karena ada sesuatu yang menegangkan." Papah Dedi terpaku dengan ucapan Bude Ratmi. "Ah tidak, Mbak, hanya rindu kampung halaman, terlebih lagi banyak sekali kemarin keluarga besar kita yang tidak datang. Tidak ada salahnya bukan jika berkunjung kesini." "Tidak salah, Nang, hanya saja Mbak bingung kenapa datang kemari tidak bersama dengan istri dan juga menantumu. Kami juga 'kan ingin melihat menantumu." "Vasya sedang ada keperluan, Mbak. Sedangkan menantuku sedang touring." "Touring? Apa itu?" "Jalan-jalan, Mbak." "Hah? Sama siapa? Kenapa istrinya tidak diajak?" "Sama teman-teman komunitas motornya, Mbak. Mungkin, Reno tidak mengajak Sela khawatir istrinya lelah karena memang jalan-jalan naik motor." "Kemana?" "Yogyakarta." "Kenapa coba gak ajak istrinya? Terus dari kapan dia pergi?" "Malam pertama setelah selesai acara pesta." "Astaga, benar-benar ya menantumu itu! Apa dia tidak kasihan meninggalkan istrinya sendirian! Heran sama anak jaman sekarang! Kok ya seenaknya tanpa bisa menghargai istrinya!" "Sudahlah, Mbak, biarkan saja itu menjadi urusan mereka. Mereka 'kan sudah dewasa, tau bagaimana cara menyelesaikan masalahnya sendiri harus seperti apa dan bagaimana. Kita jadi orang tua jangan terlalu ikut campur akan urusan mereka berdua, takutnya nanti malah memperkeruh keadaan yang ada." "Kamu ini! Lihat anaknya sendiri diperlakukan seenaknya kok malah diam saja!" "Lalu, aku harus seperti apa dan bagaimana, Mbak Yu?" "Hubungi menantumu untuk segera pulang 'kan bisa, bukan malah membiarkannya tetap pergi tanpa anakmu! Jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan bagaimana coba!" "Kita berdoa saja, semoga Reno bisa menjaga hatinya." "Halah! Kamu ini! Susah ngomong sama kamu! Lebih baik aku membuat sarapan untuk anak gadisku!" Dedi menghembuskan nafas kasar, beliau paham betul tabiat kakaknya itu. Dan pasti perdebatan mereka tidak akan pernah ada ujungnya, kakaknya akan menang dan terlebih lagi anaknya akan semakin besar kepala karena selalu dibela oleh budenya. Beliau kembali menatap hamparan sawah yang ternyata lebih mendamaikan hati dan jiwanya dari pada harus berurusan dengan dua wanita bar-bar itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD