Ancaman

1203 Words
Saat ini anak dan papahnya tersebut sedang berada di dalam mobil dan perjalanan menuju kampung halaman mereka. Keduanya masih tetap diam dan tak bergeming. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing walaupun Papah Dedi sejak tadi memperhatikan anaknya dengan seksama. Ingin sekali memulai pembicaraan namun lagi-lagi diurungkan olehnya. Papah Dedi menarik nafas panjang lagi, menyurai rambut hitam legam yang sudah terlihat beberapa rambut putihnya untuk menghilangkan rasa gugupnya. Beliau kembali membuka mulutnya untuk bersuara namun lagi-lagi diurungkan kembali. Sungguh, ia sangat bingung harus berbicara mulai darimana dulu. Beliau kembali diam, fokus pada jalan namun pikirannya menerawang jauh. Beliau sesekali memikirkan untuk merangkai kata yang pas agar anaknya itu bisa mengerti dan memahami apa yang disampaikan olehnya. Beliau kembali menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, memupuk niat dan juga keberanian untuk berbicara pada anaknya. "Nak," panggilnya. Sela berjengit, dan langsung menoleh pada papahnya. "Capek, Pah? Gantian?" tawarnya. Ia berpikir bahwa papahnya itu lelah menyetir. "Tidak. Santai saja, Papah masih kuat untuk perjalanan jarak jauh." "Tapi kalau lelah kasih tau ya, biar gantian nyetir sama Sela." "Iya, Nak." Diam. Hening. Itulah yang terjadi di dalam mobil saat ini, mereka kembali disibukkan dengan pikirannya masing-masing. Papah sejak tadi sudah ingin berbicara namun lagi-lagi diurungkan, beliau bingung harus bicara dengan anaknya dari mana dulu. Beliau benar-benar ingin membatalkan ini semua namun tak sanggup jika harus melihat anaknya kecewa dan sedih karena ulahnya. Bingung? Jelas! Satu sisi karena kasih sayangnya yang luar biasa dan satu sisi beliau tau betul apa yang ada dipikiran anaknya saat ini adalah salah besar. "Nak," panggilnya lagi namun mata masih fokus ke depan. "Kenapa lagi, Pah?" tanyanya yang sedang asik memainkan ponselnya. Entah sedang apa dia dengan ponselnya tersebut. "Hm … apakah tidak kita batalkan saja perjalanan ini?" "Loh? Kenapa, Pah? Kita sudah jalan lumayan jauh, loh." "Hm … sepertinya sikap yang kita ambil kali ini salah, Nak." "Kenapa salah, Pah?" "Kita tidak seharusnya bersikap seperti ini, Nak. Kita sudah membohongi banyak orang, beralasan rindu kampung halaman namun ternyata punya niat tersendiri datang kesana." "Tidak ada yang salah, Pah. Atau mungkin memang Papah tidak mau membantu Sela? Iya kah begitu? Kenapa, Pah? Kenapa Papah tega?" "Bu-bukan begitu, Sayang. Papah bukan tidak ingin membantu, hanya saja--," "Hanya saja apa, Pah? Sela hanya meminta antar kok, Pah. Tidak lebih dari itu, selebihnya biarkan Sela yang akan menanggung. Papah tak usah mengkhawatirkan apapun itu." "Nak, apakah perbuatanmu nantinya tidak akan menyakitkan buat keluarga suamimu?" "Papah, sudah, tenang saja. Semua akan baik-baik saja, Sela tetap tau batasan, kok. Sela tidak akan bermain yang begitu menyakitkan, hanya sedikit ingin bermain namun permainan tersebut harus menguntungkan Sela." "Maksudmu, Nak?" "Kita pulang kampung bukan dan tanpa tujuan bukan? Papah tau betul apa tujuan Sela. Papah mengkhawatirkan akibat dari perbuatan Sela bukan? Tenang saja, Pah. Sela tidak akan berbuat yang berlebih dan tidak akan membuat akibat yang luar biasa. Tenang, serahkan semua pada Sela. Ingat! Papah hanya perlu mengantarkan saja." "Sela, apakah Papah boleh tau apa yang membuatmu bisa seperti ini?" "Karena suamiku, Pah." "Kenapa?" "Aku tak suka dia seenaknya meninggalkanku seperti ini, walaupun memang kesalahan awal ada padaku. Tetapi, seharusnya dia bisa berpikir malam itu adalah malam kami, Pah. Malam yang benar-benar Sela rindukan bertemu dengannya, tapi dia justru memilih untuk pergi dan bersenang-senang dengan kawan-kawannya. Dia berhasil membuat Sela mengurung diri di dalam kamar, menangisi dia, lelaki yang sudah menjadi suamiku tetapi tak punya hati karena meninggalkanku!" "Selama ini, Sela tidak pernah diperlakukan tidak baik oleh Papah dan Mamah tapi lihatlah baru beberapa jam masuk ke dalam keluarga tersebut anaknya sudah berani memperlakukan Sela dengan seenaknya. Dia tidak tau sedang berhadapan dengan siapa. Sudah cukup hari-hariku hampa karenanya dan menangisi dirinya setelah itu? Tunggu tanggal main Sela merubah segalanya." "Sela akan merubah hidupnya dan dunianya sesuai dengan keinginanku. Aku akan memberikannya pelajaran yang sangat luar biasa berharga, Pah." "Kamu dendam, Nak? Sela, sungguh itu tidak baik. Terlebih lagi dendam pada suamimu sendiri, dosa kamu, Nak!" "Tidak dendam, Papah, hanya saja … Sela ingin bermain, Papah. Tenang ya, percaya sama Sela semua akan baik-baik saja." "Bagaimana mungkin Papah bisa tenang jika anak yang selama ini dibanggakan justru bersikap sangat tidak beradab dan seperti tak punya agama?" "Lebih baik urungkan saja niat jelekmu itu! Dan kita kembali lagi ke rumah!" "Tidak Papah!" teriaknya membuat Papah Dedi terkejut karena baru kali ini selama hidupnya anak yang ia anggap masih kecil itu berteriak dengan sangat lantang di hadapannya. "Sela!" "Maaf! Tapi tolong bantu Sela!" "Tak ada alasan yang masuk akal, Sela! Kamu aneh!" "Pah! Sela melakukan semua ini demi kita, demi perusahaan kita dan harta kita!" "Sela akan memperbesar perusahaan dengan cara yang tidak akan pernah bisa Papah duga. Percaya sama Sela, semua akan baik-baik saja, Papah! Kita akan menikmati semuanya dalam waktu cepat!" "Kamu sudah dibutakan oleh harta dan ambisi, Sela! Itu tidak baik! Hidupmu tidak akan tentram, Nak!" "Tidak, Pah. Buat apa aku dibutakan oleh harta? Harta kita juga sudah banyak, kok. Tapi, apa salahnya jika Sela menginginkan yang lebih?" "Sudahlah, Nak! Lebih baik kita kembali ke Bekasi!" "Papah! Jika Papah berani putar balik maka dalam sekejap Papah akan kehilangan Sela!" "Apa maksudmu?" "Papah lihat ini!" Sela mengeluarkan benda tajam dari dalam tasnya. Sepertinya, ia memang sudah menyiapkan semuanya dan merasa keadaan ini pasti akan terjadi. Ia memposisikan benda tajam tersebut tepat di nadi pergelangan tangannya. Papah Dedi terkejut dengan sikap anaknya yang bisa dibilang GILA! "Sela! Jangan berbuat seperti itu! Istighfar, Nak!" "Diam! Jika Papah tidak menuruti keinginan Sela, maka saat ini juga Papah akan kehilangan Sela!" "Sela! Tolong, Nak. Tolong jangan lakukan itu." "Kalau Papah tidak ingin kehilangan Sela maka harus bisa menuruti keinginan Sela! Papah hanya perlu mengantar, selebihnya itu urusan Sela! Mengerti!" "Ba-baik, Nak. Papah akan mengantarmu! Turunkan benda tajam itu, Nak. Papah tak ingin kau terluka." "Seperti ini lebih baik, Pah. Saat ini yang bisa menolong Sela ya cuman Papah. Jadi tolong, turuti keinginan Sela, Pah." Papah Dedi hanya menganggukan kepalanya saja. Beliau meraup wajahnya kasar dan mengacak-acak rambutnya. Sela menuruti perintah papahnya yang terlihat tak berdaya dan lebih memilih untuk menuruti keinginan anaknya. Papah Dedi memang sangat lemah sekali di depan Sela. Beliau sangat menyayanginya dan seringkali rasa sayang itu justru membuat Sela semena-mena. Ia akan memanfaatkan rasa sayang tersebut untuk keinginannya yang tidak masuk akal. Sela menatap kosong jalanan, dalam hatinya ia menyeringai karena bisa membuat papahnya tak berdaya. Sebenarnya, ia tak ingin melakukan ini namun hanya ini cara satu-satunya agar papahnya bisa menuruti keinginannya dan tidak banyak protes lagi. Maaf, Pah, tapi Sela harus melakukan ini semua demi rencana ini berjalan lancar. Sebenarnya tak ingin membawa Papah ikut masuk ke dalam rencana ini tetapi saat ini percayalah cuman Papah yang bisa menolong anakmu ini. Ini demi kita, Pah, demi keluarga kita dan perusahaan kita. Maaf jika terkejut karena sikap Sela yang seperti ini. Sela gak tau lagi cara apa yang bisa membuat Papah menuruti keinginan ini makanya nekat berbuat seperti ini. Semoga papah tidak marah dan tidak benci pada anakmu ini. Sungguh, Papah hanya cukup membantu Sela untuk pergi ke kampung halaman dan tidak perlu ikut campur dengan apa yang akan dilakukan oleh Sela. Sela berjanji akan memberikan yang terbaik untuk keluarga kita dan yang pasti adalah sangat menguntungkan tentunya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD