Kebohongan

1405 Words
Sore pun tiba, jam pulang kantor bagi pegawai sudah lewat satu menit. Satu persatu di antara mereka sudah meninggalkan tempat dimana mereka menghabiskan waktu seharian. Sela keluar dari tempat dimana ia mengurung dirinya. Tekadnya sudah bulat, seharian ini memikirkan bagaimana sebab dan akibat yang nantinya akan diterima olehnya. Aku harus bisa dan hatiku sudah yakin untuk meluluh lantahkan diri Reno dan keluarganya untuk masuk ke dalam genggamanku. Misi kali ini tidak boleh gagal dan harus berjalan lancar maka dari itu aku sangat butuh bantuan Papah sebab hanya beliau yang bisa membantuku. Siapa lagi coba yang akan membantu selain beliau? Mamah? Cih! Itu sangat tidak mungkin mengingat sikapnya yang entah seperti apalah saat berhadapan denganku. Aku dibuat bingung olehnya dan juga tatapannya. Tatapan yang seakan tidak pernah memberiku kesempatan untuk mendapatkan kasih sayangnya. Sempat aku berpikir apakah aku ini bukan anaknya? Miris!. Sebegitu bencinya beliau padaku sebab menurut penuturannya melahirkanku itu penuh cobaan dan ujian. Dan semua itu berhasil membuatnya kapok pun trauma untuk hamil lagi. Aneh! Bukankah seorang wanita justru menginginkan anak dan berharap mempunyai banyak anak? Mengapa Mamah berbeda? Atau jangan-jangan beliau menikah dengan Papah karena harta? Ah entahlah! Memikirkannya hanya mampu membuat pusing kepala! Sela bangkit dari tidurnya dan mulai merapikan pakaiannya lalu memoleskan sedikit makeup agar terlihat segar dan menautkan dirinya di depan cermin besar di ruangan tersebut. Ia memandang wajah dan tubuhnya yang terlihat semakin luar biasa aduhai. Ia bangga dengan dirinya sendiri sebab ternyata banyak sekali pasang mata yang tergila-gila padanya. Sudah merasa puas bercermin dan membanggakan diri, ia mengambil tasnya di atas nakas lalu berjalan keluar menemui Papah diruangannya. Sambutan dari para pegawai terdengar nyaring ditelinganya dan hanya dibalas oleh senyuman yang dibuat selembut mungkin. "Pah," panggilnya membuat sang papah berjengit terkejut mendengar panggilan anaknya yang membuat bergidik. "Sela! Mengagetkan Papah saja!" "Papah saja yang melamun, Sela memanggil dengan lembut kok," ucapnya tersenyum miring dan terlihat mengerikan. "Hm … ada apa?" "Loh! Kok ada apa, sih, Pah! Sela 'kan sudah bilang sore ini kita pulang kampung!" "Apa kamu sudah memikirkan semuanya dengan matang, Sela? Papah khawatir kamu nanti akan menyesal!" "Aku sudah memikirkan sebab dan akibatnya. Sudah! Papah tak usah memikirkan itu semua, biarkan jadi urusan Sela. Sekarang mari kita pulang dan bersiap berangkat." "Baiklah jika memang keputusanmu sudah bulat! Papah bisa apa?" "Nah begitu, dong. Itu baru Papah Dedi." "Ya sudah, Sela pulang duluan ya. Nanti jangan lupa Papah jemput Sela." Papah Dedi hanya menganggukkan kepala saja dan Sela meninggalkannya sendirian di ruangan yang semakin lama semakin terasa hampa. Papah Dedi bangkit dan berjalan dengan langkah yang gontai menuju parkiran dan melajukan mobilnya ke arah rumah. Beliau sedang memikirkan alasan yang tepat untuk pergi pada istrinya apabila nanti menanyakan hal tersebut. Sebab, sudah pasti istrinya akan banyak bertanya dan bisa jadi meminta ikut pulang ke kampung. *** "Assalammualaikum." "Waalaikumsalam, Sayang. Sudah pulang, Nak." "Iya, Mih. Tapi Sela mau berangkat lagi," ucapnya lembut merangkul Ibu mertuanya itu. "Mau kemana, Sayang?" "Pulang kampung, Mih. Temani Papah." "Ada apa?" "Tidak ada apa-apa, Mih. Papah hanya rindu saja pada keluarga di kampung, Sela tidak tega jika membiarkan Papah berangkat sendiri atau berdua dengan Mamah, jadi memilih ikut. Lagi pula, kemarin juga banyak keluarga yang tidak datang saat pesta pernikahaan, Mih. Jadi tidak ada salahnya bukan jika Sela pulang kampung?" "Bagaimana ya, Nak, Mamih tidak mempermasalahkan tetapi pertanyaannya apakah suamimu memperbolehkan?" "Mamih tenang saja, Sela sudah menghubungi Mas Reno," ucapnya lembut namun ada kebohongan di dalamnya. Ya, dia berbohong pada ibu mertuanya. "Syukurlah jika kau sudah izin pada suamimu, tetapi apa tidak sebaiknya pergi menunggu suamimu datang agar dia juga bisa ikut, Nak?" "Memang Mas Reno pulang kapan, Mih?" "Hm …." "Tuh 'kan, Mamih saja bingung dan tidak tahu 'kan Mas Reno kapan pulang?" Mamih menganggukkan kepalanya lemah. "Jadi, percuma Sela menunggu Mas Reno, Mih. Terlebih lagi, jika sudah dengan hobinya suami Sela itu lupa dengan keadaan sekitar jadi sebagai istri yang baik memberikan waktu padanya untuk bersenang-senang dengan hobinya." "Kau memang istri yang sangat luar biasa, Nak. Beruntung sekali Reno mendapatkan istri sepertimu," ucapnya bangga. Harus, Mih! Anak sulung Mamih itu harus bangga karena mendapatkan aku sebagai istrinya. Maka dari itu, ia harus tunduk terhadapku dan tidak boleh menjadikan wanita manapun sebagai ratunya terkecuali AKU. "Ah, Mamih bisa saja, hehe." "Ya sudah, Mih, Sela ke kamar dulu ya. Mandi dan bersiap sebelum Papah datang menjemput." Mamih mengangguk. Di tempat lain Papah Dedi masih sedang memikirkan cara dan alasan yang baik agar bisa diizinkan pergi dengan anaknya untuk melancarkan ide gila anaknya itu. Sehingga, tanpa terasa sudah sampai di depan rumah. Ia melangkahkan kaki dengan yakin masuk ke dalam rumah mencari sang istri yang ternyata sedang asik di taman belakang bersama buang-bunga indahnya. "Assalammualaikum, Sayang." "Eh, Mas, kapan datang? Ya Allah, maaf aku tak mendengar suara deru mobil masuk ke dalam garasi, Mas." "Gak pa-pa, Sayang. Sepertinya kau sedang sibuk dengan para anak-anakmu yang indah ini." "Mas, bisa saja, hehe." "Mandi sana, Mas, bau acem." "Ah, masa iya?" "Iya beneran." "Hm … Sayang." "Kenapa, Mas?" "Begini, bolehkah Mas izin pergi untuk pulang kampung?" "Kenapa? Ada apa?" "Tidak ada apa-apa. Sela, minta antar pulang kampung, katanya rindu kemarin banyak sekali sanak keluarga yang tidak datang." "Hm … memang Sela diperbolehkan sama suaminya pergi?" "Suaminya sedang touring, Sayang. Maka dari itu, sepertinya anak itu lagi ngambek karena ditinggal oleh suaminya sejak malam pertama. Kasihan." "Lah? Kok bisa begitu?" "Menurut pengakuannya, sih, memang dari awal Reno sudah memberitahu untuk tidak mengambil tanggal pernikahan yang berbarengan dengan acara Reno tapi kau seperti tak tau anakmu saja. Semakin dilarang bukankah semakin membuatnya ngotot untuk melakukan hal yang menyebalkan?" "Aku heran sama anak itu. Kapan coba berubahnya." "Jadi, dia memintamu untuk ikut kekampung semata-mata untuk menghilangkan rasa kesalnya." "Kurang lebih seperti itu." "Dasar anak nakal!" "Memang kapan kalian akan berangkat?" "Sekarang." "Sekarang? Yang benar saja Dedi! Anakmu itu ya benar-benar nakal sekali! Apa dia tidak tahu Papahnya pasti lelah! Kebiasaan banget hidupnya selalu memaksakan kehendaknya sendiri! Heran!" "Sudah, Sayang. Jangan marah-marah terus, itu memang sudah wataknya sama sepertimu dulu, bukan?" kekehnya terdengar mengejek. "Jadi, kau ingin ikut tidak?" "Tidak! Aku sibuk sebab akan ada arisan besok. Jadi, kalian berangkat-lah berdua!" Syukurlah … itu memang yang kuharapkan. Kau memang tidak seharusnya ikut, aku hanya basa-basi untuk mengajakmu. Khawatir juga apabila jika di tawarkan ikut, kau akan curiga pada kami. Namun, ternyata kau memang tidak ingin ikut, haha. Setidaknya aku sedikit tenang karena tidak harus memisahkan keributan yang akan terjadi antara ibu dan anak. "Benar? Aku sudah mengajakmu nih ya." "Iya benar. Aku tak ingin ikut dan tak berniat ikut juga." "Sudah sana mandi lalu bersiap sebelum anakmu itu ngoceh karena kau kelamaan menjemputnya," ucapnya seakan tau apa yang akan terjadi nanti apabila suaminya itu terlambat menjemput anak semata wayangnya yang benar-benar sangat dimanjakan sekali. Anak dan Papahnya tersebut segera mandi dan bersiap di tempat mereka masing-masing. Pun tak luput menyiapkan beberapa potong pakaian untuk mereka ganti kalau-kalau nantinya akan agak sedikit lama berada di kampung. Papah Dedi sangat berharap sekali jika nanti diperjalanan anaknya itu berubah pikiran dan tak ada lagi niat terselubung. Papah Dedi menghembuskan nafasnya kasar, sebenarnya di lubuk hatinya yang paling dalam, beliau bingung kenapa dan hal apa yang membuat anaknya itu bisa sampai berpikiran jauh seperti ini. Beliau ingin menanyakan namun merasa ragu, khawatir jika anaknya akan marah bahkan ngamuk. Di tempat Sela Ia sedang menyiapkan beberapa keperluan selama disana, senyum indah tak pernah lepas dari wajah ayunya. Sebentar lagi rencananya akan segera terlaksana, satu persatu apa yang sudah disusun dan direncanakan akan terealisasi dengan waktu dekat juga cepat. Setelah semua dirasa keperluan sudah masuk ke dalam kopernya, ia merebahkan sebentar tubuhnya sambil menunggu kedatangan sang papah. Ia menatap atap langit kamarnya, menerawang jauh dan entah sebenarnya sekarang apa yang sedang dipikirkan olehnya. Ia merasa seakan banyak sekali yang harus terealisasi sampai-sampai bingung mana dulu yang diutamakan. Ha … rasanya aku lelah sekali tapi gak boleh lelah, aku harus bisa bertahan dengan tujuan yang memang aku inginkan. Sebentar lagi, Sela … sebentar lagi kau akan bisa menikmati hidup dengan kemewahan dan mendapatkan suami yang super duper nurut. Sesampainya di kampung, aku harus segera mencari tahu dimana tempat yang bisa membantuku menjalankan aksi, selebihnya maka uang yang berbicara. Ya sekarang semuanya karena uang dan semua orang pasti butuh uang. Bagiku yang mudah mengeluarkan uang maka mudah juga mendapatkan apa yang kuinginkan, haha. "Sela, turun, Nak. Papahmu sudah datang," panggil Mamih mengetuk pintu kamar dan berhasil membuat Sela terkejut. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD