Siapa Dia

1032 Words
b******k! Sela benar-benar b******k! Bagaimana bisa dia berani melayangkan tangannya untuk menampar Kevin! Memang dia itu siapa! Dia hanyalah seorang istri yang tidak bisa patuh dan nurut pada suaminya!! Aghr!! Ya Allah, maaf … maaf apabila aku menyesal karena sudah menikah dengannya! Aku tak tau sikap dan sifat yang sesungguhnya dari dirinya itu! Aku benar-benar merasa sudah salah menikahi seorang wanita! Bagaimana ini? Dan bagaimana sekarang? Ada rasa sesal yang menyergap hati karena telah menikahinya namun ada rasa takut apabila harus kehilangannya, terlebih lagi usia pernikahan yang masih sangat rentan sekali. Ya Allah, tak banyak inginku. Aku hanya ingin dia berubah menjadi lebih baik, menghormatiku sebagai suaminya dan menghormati keluargaku sama sepertinya menghormati keluarganya. Aku berharap sekali, harapan ini tidak pupus karena tingkahnya. Aghr! Sial! umpatnya memukul berkali-kali setir mobil yang sedang ia kemudi. Pikirannya kacau saat ini, ke kantor juga percuma karena pasti tidak konsen pada pekerjaan. Ini masih pagi, harus kemana? Balik lagi ke rumah, itu sangat tidak mungkin sebab pasti akan banyak sekali pertanyaan dari mamih kenapa tidak berangkat ke kantor. Lelah. Itulah yang dirasakan Reno saat ini, ia juga ingin sekali kehidupan rumah tangganya seperti teman-temannya yang lain. Mempunyai istri yang baik, lemah lembut, menurut, patuh dan mengurusnya dengan baik. Itu adalah harapan yang selalu diharapkannya selama ini tetapi mengapa Gusti Allah menghadirkan seseorang yang jauh dari harapannya? Apa maksud dari semua ini? Apakah Gusti Allah sedang mempermainkan kehidupannya? Apakah Gusti Allah sengaja mengirimkan Sela padanya agar bisa diperbaiki akhlaknya, sikap dan tingkah lakunya? Tetapi mengapa terasa sangat berat sekali? Reno seperti memikul beban yang sangat berat sehingga membuatnya sempat berpikir untuk menyerah. Tetapi, lagi-lagi rasa takut akan sebuah kehilangan menyergap relung hatinya yang terdalam dan membuatnya membuang semua pikiran bodoh itu! Merasa tak tau harus kemana, Reno menghubungi Tama salah satu sahabatnya yang memang bisa dipercaya apabila di curhatin. Memang, diantara Tama, Gery dan Rajendra hanya Tama yang bisa menjaga rahasia dan pastinya memberikan solusi baik, tidak seperti kedua sahabatnya yang lain. "Hallo, Bro, ada apa?" "Tam, dimana?" "Rumah, kenapa?" "Lu gak ngantor?" "Gak! Malas, haha. Kenapa lu? Ribut lagi sama bini?" "Gue otewe ke rumah sekarang. Jangan kemana-mana, lu!" "Iya kesini saja. Gue menanti lu datang, Sayang." "Najis!" Reno memutus obrolan sepihak, ia melajukan mobilnya ke arah rumah Tama. Untuk sampai ke rumah temannya itu cukup memakan waktu empat puluh menit hampir satu jam mengingat ini adalah pagi hari dan banyak yang berangkat kerja. Terlebih lagi kawasan rumah Tama adalah kawasan pabrik-pabrik besar, jadi wajar saja jika macet di jam pagi dan sore. Sampai juga di depan perumahan Tama. Reno langsung membelokkan arah mobilnya masuk ke dalam perumahan-perumahan elit. Rumah Tama ini benar-benar hampir paling ujung kalau dari pos satpam pintu masuk perumahan. Akhirnya sampai juga di depan rumah bercat putih, ia mengklakson dua kali baru dibuka oleh pak satpam. Reno menyapa pak satpam dan masuk ke pekarangan rumah. Keluar dari dalam mobil, membereskan kembali pakaian kerjanya yang sudah kusut akibat guncangan di dalam mobil tadi. "Assalammualaikum." "Waalaikumsalam," sahut seseorang yang sepertinya akan membuka pintunya. "Aden, mangga. Sudah ditunggu Aden Tama di ruangannya." "Makasih Bi Imas." "Sama-sama, Aden." Reno melenggang masuk ke dalam rumah besar itu, ia mengayunkan kakinya menuju ruangan biasa mereka bercengkrama. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti, dari ekor ujung matanya ia melihat ada orang baru di dalam rumah Tama. Reno mulai mengarahkan tubuhnya menghadap seorang wanita tinggi, putih, bersih dan terlihat sangat menenangkan. Reno menaikkan satu alisnya dan bertanya-tanya siapakah gerangan wanita itu? Mengapa hanya melihatnya saja dari belakang berhasil membuatnya nyaman dan tenang? Reno melangkahkan kakinya maju ingin menghampiri wanita itu, namun tiba-tiba pundaknya ditepuk oleh seseorang dan membuatnya berjengit kaget. "b*****t! Bikin kaget aja!" umpatnya kesal karena terkejut. "Anjir! Santai saja, Bos, haha." "Lu ngapain, sih, disini? Gue tungguin dari tadi juga di ruangan, lah ini malah terpaku disini kayak orang bego!" "Lihat apaan, lu? Setan!" "Ah, bangke, lu, Tam!" makinya kesal. Reno memutar kembali tubuhnya dan mengayunkan kakinya menuju ruangan Tama. "Dih, bocah, ngapa, ya?" Tama mengikuti Reno mengekor di belakangnya. Sesampainya di ruangan itu, Reno langsung membanting tubuhnya diatas sofa empuk dan Tama pun melakukan hal yang sama. Mereka masih diam tanpa ada yang memulai percakapan terlebih dahulu. Tama mendengar beberapa kali Reno menghembuskan nafas kasarnya. Tama paham betul, kondisi sahabatnya itu sedang tidak baik-baik saja. Maka dari itu, lebih baik mereka tetap diam sampai Reno bosan dan membuka suara terlebih dahulu. Tama tidak mau mengambil resiko, salah bicara, bisa-bisa kena omel panjang kali lebar. Ia memilih mengeluarkan ponselnya dan berselancar di sosial media sampai Reno membuka suaranya. "Tam," panggilnya tanpa menoleh pada sahabatnya. Pandangannya masih lurus ke depan, entah apa yang sebenarnya mengganggu pikirannya saat ini. "Hm … sudah tenang?" Reno mengangguk cepat. "Jadi? Mau cerita sekarang atau nanti?" "Sebentar dulu." "Baiklah. Gue minta Bi Imas ambilkan minum dulu, setidaknya air dingin bisa membasahi kerongkongan lu yang sepertinya sedang terbakar," kekehnya membuat Reno mendelik ke arahnya dan menatap tajam. "Weh, slow, haha." Tama bangkit dan menuju telpon yang tersambung dengan Bi Imas yang berada di dapur. "Bi, tolong bawakan minuman dan cemilan seperti biasa ya." "Baik, Den." Tidak butuh waktu lama, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu ruangan Tama. Dan meminta izin untuk masuk ke dalam. "Vi, kok lu yang antar?" "Iya, Aa. Gak pa-pa, 'kan? Kasihan Bibi lagi repot." "A-aden, maaf, bukan maksud Bibi menyuruh Non Vivi," ucap Bi Imas dengan nafas tersenggal-senggal, sepertinya bibi mengejar Vivi yang sudah membawakan minuman. "Ya sudah, gak pa-pa, Bi. Silahkan kembali ke dapur." "Vivi letakan dimana, Aa?" "Di meja situ saja." "Makasih ya, Vi." Reno terkejut dengan kedatangan wanita itu. Saat ini, ia bisa melihat wajahnya yang ayu, tenang, damai dan teduh. Manik mata yang indah dan senyum berlesung pipi semakin membuatnya cantik. Sungguh, Vivi benar-benar sangat cantik tanpa polesan make-up. Wajah ayu khas orang sunda dan bibir pink ranum yang menggoda. Vivi sudah berlalu pergi namun Reno tetap diam tak bergeming. Ia masih merasa Vivi berada di dalam, matanya tak berkedip. Tama melihat sahabatnya seperti itu merasa lucu. Jelas sangat lucu, sebab, sebelumnya Reno tidak pernah terkesima dengan seorang wanita sampai seperti ini terkecuali sama Sela dan langsung memutuskan untuk menikah. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD