Bimbang

1587 Words
"Ren," panggil Tama mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Reno. "Ren," panggilnya lagi, namun Reno tetap tak bergeming. "Reno! Bangke! Sadar bego!" teriaknya di telinga Reno membuatnya terlonjak. "b*****t! Bisa gak sih lu gak bikin kaget gue terus! Bego!" "Lah! Lagian lu dari tadi gue panggil, tapi malah diam saja! Lu napa! Terpesona sama Vivi?" "Vivi?" "Iya, Vivi, gadis cantik, lembut dan meneduhkan." "Yang mana?" "Tadi bego!" "Oh, gadis muda itu?" "Iyalah, masa iya Bi Imas! Udah tua itu mah!" "Bangke emang lu, Tam." "Dih, lu kenapa, sih? Aneh banget! Heran!" "Hah? Gak pa-pa, kok." "Jadi, lu kesini ada apa?" "Hm … gue bingung." "Malah bingung. Ada apa, sih?" "Ya bingung, Tam. Harus cerita dari mana dulu." "Lu tenangin diri dulu deh, terus tarik nafas, baru mulai cerita." "Begini, Tam. Gue bingung harus ambil sikap yang seperti apa untuk menghadapi istri gue." "Cobe cerita, memangnya istri lu kenapa?" Reno mulai menceritakan mengenai istrinya, dari awal pernikahan mereka seperti apa dan bagaimana. Saat Reno kembali dari touring, mereka menjalani hari-hari memang seperti biasanya, ya layaknya seorang suami istri pada umumnya. Setiap malam memadu kasih dan cinta, saling bercerita satu sama lainnya kegiatan apa yang sudah dilalui dalam satu hari. Perubahan Sela mulai terlihat saat Reno memintanya untuk berhenti bekerja. Permintaan sederhana untuk kebaikan bersama, Reno meminta istrinya bekerja bukan tanpa sebab. Ia ingin istrinya itu fokus mengurus dirinya, Reno ingin segala sesuatunya disiapkan. Baik itu makan, pakaian dan segalanya. Terlebih lagi, keinginan yang paling sederhana adalah Reno ingin setiap pulang kerja istrinya itu menyambut dengan senyum indah. Simpel bukan? Sangat simpel, tetapi Sela menganggapnya sangat berat bahkan beban. Sela tak ingin melepaskan pekerjaannya, ia menganggap pekerjaannya itu nyawa. Padahal, itu adalah perusahaan sendiri, dia bisa menyerahkan semua itu pada Reno namun susah sekali bahkan sering kali terjadi keributan setiap kali membahas persoalan pekerjaan. Bukan hanya itu saja, sikap Sela semakin hari semakin tidak sopan pada orang tua Reno. Mereka sering kali berdebat, terlebih lagi dengan Mamih, ah dan juga dengan Kevin. Sama mamih sering berdebat masalah pakaian kerja Reno yang selalu saja dadakan di urus mamih padahal anaknya itu sudah punya istri tetapi seakan enggan untuk mengurus. Dengan Kevin, entahlah masalah mereka berdua itu ada saja. Entah Kevin yang memulai lebih dulu, entah Sela yang memulai dulu. Yang pasti, mereka selalu berujung bertengkar dan berhasil membuat rumah terasa sangat panas. Entah itu karena emosinya siapa. "Lalu, apa rencana lu?" "Sungguh, gue udah gak tahan banget sebenarnya, Tam. Gue sempat berpikir ingin pisah tapi gue juga takut." "Takut kenapa?" "Gila saja, pernikahan gue baru sebulan dan lagi perceraian sangat dibenci oleh Gusti Allah, Tam. Walaupun memang dihalalkan tetapi sikap seperti itu benar-benar sangat dibenci oleh Gusti Allah." "Lu gak berniat kasih kesempatan sama bini, lu?" "Nah, ini yang bikin bingung." "Kalau, gue kasih kesempatan ke dia. Apakah dia akan bisa berubah menjadi lebih baik, Tam?" "Lu yakin aja dulu, Ren. Yakinin hati lu dan diri lu kalau memang Sela itu benar-benar ditakdirkan untuk lu dan pasti bisa berubah menjadi lebih baik. Lu harus bisa lebih sabar menghadapinya, Ren." "Gue paham, Tam. Gue sampai saat ini benar-benar menahan diri banget untuk gak madah. Tapi, sumpah, susah banget! Apalagi kejadian tadi pagi." "Memang ada apa?" "Dia membanting pintu dan meninggalkan gue begitu saja di dalam kamar karena perdebatan masalah pekerjaan. Gue benar-benar merasa tidak dihargai banget, asli gue merasa diinjak-injak." "Astaga, Sela benar-benar keterlaluan banget, Ren!!" "Bukan cuman itu, Tam!!" "Ada lagi?" Reno menganggukan kepala cepat. "Apa lagi?" "Dia berani hampir nampar Kevin." "Kenapa?" "Sebenarnya Kevin benar, Tam. Dia itu bosan dan muak setiap pagi melihat gue dan Sela ribut karena hal yang sama. Dan lagi, gue gak tau awalnya kenapa tapi tiba-tiba Kevin itu benar-benar gak suka banget sama Sela." "Gak tau." "Tapi, kalau gue gak salah dengar sempat menguping pembicaraan Kevin ditelpon dengan temannya. Katanya Sela itu beberapa kali memang sering memfitnah Kevin di depan bokap dan nyokap." "Apa! b*****t! Dia perempuan macam apa, Ren!" "Bagaimana bisa lu menikah dengan perempuan seperti itu, ya Allah." "Gak tau, Tam! Gue bingung. Aghr!" "Tenang Ren. Semua pasti ada jalan keluarnya." "Ren, Allah tidak akan menguji umatnya diluar batas kemampuan umatnya. Gue rasa, apabila Gusti Allah saat ini menguji lu seperti ini, itu artinya Dia yakin lu bisa melewati semua ini." "Tapi, gue merasa gak sanggup, Tam." "Lu sanggup, Ren! Lu bisa! Lu hanya belum menemukan caranya! Dengan berjalannya waktu pasti lu bisa menghadapinya dengan cara lu sendiri, gue yakin itu." Reno diam, ia memikirkan semua perkataan sahabatnya itu. Memang semua pasti ada jalan keluarnya. Namun entah mengapa ia merasa saat ini lelah dan tak sanggup memikirkan semua itu. Ia memejamkan matanya sejenak, merenungi setiap kata dan kalimat yang dilontarkan oleh Tama. *** Ditempat yang berbeda, tepatnya di kantor Sela Sela melangkahkan kakinya masuk ke dalam kantor dengan perasaan yang tak menentu. Ia merasa sangat kesal, marah dan muak sekali dengan keadaan di rumah mertuanya itu. Dirumah itu semakin hari semakin seperti di dalam neraka saja. Langkahnya benar-benar mengeluarkan aura yang mematikan. Setiap langkahnya mengundang tanya bagi para pegawainya, pasalnya mereka sebelumnya tidak pernah melihat aura yang mematikan dari anak bosnya itu. Namun kali ini berbeda, auranya benar-benar dingin dan sangat mematikan hingga membuat mereka mengkerut dan mengurungkan niat menyapa. Sampai di ruangan, Sela langsung melemparkan tubuhnya di sebuah sofa panjang. Sorot matanya masih memperlihatkan sebuah amarah yang menggebu. Ia menyandarkan tubuhnya dan memejamkan mata berharap emosinya luruh dengan sendirinya. "b******k!" umpatnya memukul-mukul sofa. "Sela, ada apa?" tanya Papah Dedi tiba-tiba, beliau bingung melihat kondisi anaknya yang terlihat sangat kacau itu. Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya beliau melihat keadaan anaknya yang kacau. Beliau paham betul, pasti anaknya itu pasti habis ribut lagi sama suaminya. "Ribut lagi sama Reno?" Diam tak bergeming dan masih tetap memejamkan matanya. "Papah heran sama kalian, baru menikah satu bulan tetapi tiap hari kerjaannya berantem terus. Ini bukan pertama kalinya kau semarah ini ke kantor, Sela. Sebenarnya ada apa? Dan masalah apa, sih, yang kalian hadapi?" "Coba deh kayak pasangan yang lain gitu. Tenang, damai, sentosa dan selalu mesra. Ini sudah kayak kucing sama tikus saja. Apa sih yang kalian permasalahkan? Memang tidak bisa dibicarakan baik-baik?" Sela masih tetap diam tak buka suara. Ia masih menenangkan diri, hati dan juga pikirannya. Jika ia menjawab sudah dapat dipastikan saat ini juga pasti akan berantem hebat dengan papahnya jadi ia lebih memilih untuk tetap diam tak bersuara. Ia masih mengingat kata-kata suaminya yang selalu saja memintanya untuk berhenti bekerja dengan alasan tidak ingin dirinya capek dan juga ingin apabila pulang kerja dirinya itu bisa menyambut suami tercinta dengan senyum merekah. Hidup macam apa ini? Aku terbiasa dengan sebuah kebebasan tetapi setelah menikah mengapa aku tak bisa lagi merasakan kebebasan? Hidupku terlalu banyak diatur oleh Mas Reno dengan alasan seorang istri itu sudah sepatutnya menurut dan juga patuh terhadap perintah suami! Cih! Ini bukan lagi jaman penjajah yang dimana wanita diwajibkan berdiam diri dirumah, mengurus anak, suami dan rumah dengan rambut dicepol, aroma tubuh yang tidak sedap karena bumbu dapur dan masih banyak yang lainnya. Sekarang jamannya emansipasi wanita yang dimana derajatnya antara wanita dan pria itu sama! Mas Reno terlalu katro! Pokoknya, aku akan tetap dengan pendirianku! Tidak akan pernah berhenti bekerja! Aku tak mau mengurus suamiku! Cih! Itu bukan tugasku! Tugasku hanya untuk memuaskannya di atas ranjang saja! Tidak lebih dari itu! Urusan lain mengenai pakaiannya yang sudah dicuci atau disetrika atau belum 'kan itu urusan pembantu! Buat apa ada pembantu kalau tidak mengerjakan semua pekerjaan itu, ya 'kan? "Sela!" sentak Papah Dedi membuatnya terkejut. "Apaan, sih, Pah! Gak lucu tahu! Ngagetin aja heran! Bikin males!" "Dih, siapa yang ngagetin? Papah sudah manggil kamu beberapa kali tapi tak ada jawaban. Lah sekarang malah marah-marah, waras kamu?" "Au ah." "Kamu kenapa, sih? Berantem lagi sama Reno?" "Sudahlah, Pah! Jangan membicarakan dia! Malas!" "Sela … Sela … kalian ini menikah baru sebulan tapi kerjaannya berantem terus. Bisa gak sih damai saja gitu, loh. Kayak pengantin baru yang lainnya gitu, mesra, pergi kemana kek, liburan, honeymoon, ini malah kerja terus tiap hari! Kapan Papah punya cucu kalau begini!" "Halah, Pah! Apaan, sih, segala honeymoon! Gak ada acara-acara begitu! Lebih baik bekerja! Bekerja 'kan dapat uang." "Dih, kamu gak kerja juga pasti dapat uang dari suamimu, Sel." "Aku gak butuh uangnya, Pah! Aku punya uang sendiri!" "Loh? Kok kamu bicara seperti itu? Dia berkewajiban memberimu nafkah, Nak. Kamu jangan berbicara lancang seperti itu!" "Sudahlah, Pah! Jangan rewel dan bawel kayak Reno!" "Tiap hari ribut saja masalah kerjaan! Nyuruh-nyuruh aku berhenti bekerja pula, memangnya dia siapa coba? Sebelum kenal dia juga aku sudah bekerja! Ini seenaknya melarang padahal dia juga tau di antara kita ada sebuah kerja sama." "Astaga, Sela! Jadi kamu tiap hari ribut karena masalah kerjaan?" "Iya!" "Kenapa sih?" "Reno itu ribet, Pah! Selalu meminta aku berhenti kerja dan aku gak mau!" "Sela, dia suamimu! Sudah sepatutnya kau ini menurut dan patuh pada perintahnya!" "Ah sudahlah, Pah! Papah sama saja ribet kayak Reno!" sentaknya. Sela bangun dari duduknya, ia mengayunkan kakinya keluar dari ruangan dan membanting pintu ruangan. Langkahnya semakin cepat hingga ia tepat berada di depan lift, lift terbuka dan ia segera masuk lalu memencet tombol lantai paling tinggi. Lebih baik aku masuk ke dalam ruanganku sendiri untuk menenangkan pikiranku! Semua orang terasa sangat menyebalkan sekali! Banyak aturan! Ribet banget! Mungkin lebih baik aku tidur lagi kali ya, agar pikiran dan tubuhku fresh. Ah, sebelum tidur lagi, nanti aku telpon Bude dulu. Mencurahkan semua isi hatiku pada beliau. Beliau yang paling mengerti aku hingga saat ini. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD