Merona

1245 Words
Perjalanan dari Bekasi ke Tasik ternyata memakan waktu lama juga. Reno dan Tama sesekali bergantian menyetir, apabila Reno yang menyetir maka dia memanfaatkan kesempatan itu untuk mencuri pandang Vivian dari kaca. Setelah mencuri pandang, selalu ada senyum yang tersungging. "Awas diabetes," celetuk Tama yang melihat kelakuan temannya. "Kenapa Aa?" tanya Vivian lembut. "Oh, gak apa-apa, Neng." "Masih jauh ya, Aa?" "Lumayan. Kenapa?" "Boleh mampir ke pom bensin?" "Oke. Sudah waktunya jam makan siang juga, sekalian kita makan siang." Reno mengarahkan mobil ke pom bensin yang tidak cukup jauh. Vivian turun dan berlari kecil memasuk toilet, sepertinya dia memang kebelet dari tadi. Sedangkan Reno dan Tama segera duduk di tempat makan dan memilih beberapa makanan untuk makan siang mereka. "Ren, jangan gegabah." "Maksud, lu?" "Kalau suka sama Vivian jangan gegabah. Telusuri terlebih dahulu, benar-benar suka, cinta atau hanya sekedar penasaran dan mengisi kekosongan." "Memang terlihat kalau gue suka sama dia?" "Entahlah. Tapi, tingkah lu aneh! Kayak abg yang lagi jatuh cinta." Tama terkekeh melihat wajah sahabatnya yang memerah karena menahan rasa malu. "b******k lu, Tama!" "Sstt … Vivian datang." "Maaf lama, Aa." "Gak pa-pa, Neng. Makanannya juga belum datang." Vivian tersenyum dan senyumnya berhasil meluluh lantahkan hati Reno. Jantung Reno berdetak lebih kencang dari biasanya. Ia berusaha semaksimal mungkin untuk menahan dan juga tetap tenang. Namun usahanya sia-sia, beberapa kali ia tak sengaja menyenggol kaki Vivian saking gugupnya. Sedangkan Tama? Jangan ditanya, ia sudah terkekeh melihat tingkah sahabatnya itu. "Aa gak pa-pa? Sakit?" tanya Vivian lembut. "Eh … anu … gak pa-pa." "Oh iya, kenalkan Neng, ini sahabat Aa. Namanya Reno Alvian." Vivian tersenyum dan mengulurkan tangannya yang putih bersih juga lembut. "Vivian, Aa. Bisa panggil Vivi atau Vian." "Re-Reno Alvian." "Eh, kok, nama kalian hampir mirip-mirip gimana gitu ya, jangan-jangan jodoh," goda Tama membuat Reno yang sedang meneguk minumannya tersedak dan membuat Tama tertawa terbahak-bahak. "Ya Allah, Aa Reno pelan-pelan atuh. Aa Tama, ih, malah ketawa! Senang amat temannya tersedak." "Haha dielus saja Neng punggungnya, pasti langsung membaik." "Beneran Aa Tama?" "Iya, beneran, Neng." "Aa punten ya," ucapnya, tangan itu terulur ke pundak dan mengusapnya dengan lembut semakin membuat Reno tersedak karena gerogi. "Aduh … aduh, maaf." "G-gak pa-pa." Reno mencoba menghindar dari elusan tangan Vivi yang semakin lama membuatnya semakin merinding dan semakin tak kuasa menahan. Tangan mulus itu digenggam oleh Reno membuat mata mereka bertemu dan saling pandang dalam beberapa detik. Dunia seakan berhenti dan keduanya diam tanpa kata dengan sorot mata yang penuh arti terpancar dari keduanya. "Uhuk …," goda Tama membuat mereka terkejut dan gelagapan. "Ma-maaf." "Gak pa-pa, Aa. Vivi yang harusnya minta maaf karena sudah lancang mengusap-usap punggung Aa dengan maksud meredakan tersedak eh malah semakin tersedak. Maaf." "Sudah, memangnya lagi lebaran maaf-maafan? Haha." "Ayo lanjutkan makannya, lalu kita kembali melanjutkan perjalanan." Mereka kembali makan dalam diam, tak ada yang bersuara, hanya ada suara dari beberapa orang yang juga ada di sekitar sedang mengobrol entah apa yang mereka obrolkan. Selesai makan, mereka kembali masuk ke dalam mobil dan melanjutkan kembali perjalanan mereka. *** Sejuk, tenang, damai, itu yang saat ini sedang dirasakan oleh Reno. Memandang jauh hamparan sawah. Mereka sudah sampai di rumah Vivi sejak beberapa waktu yang lalu dan saat ini sedang menikmati udara sejuk. Duduk bersantai di teras rumah dengan mata dimanjakan oleh pemandangan hamparan sawah dan empang yang bersebelahan. Tempatnya memang hampir sama seperti di kampung bude Ratmi tetapi bedanya disini lebih dingin dan sejuk, mungkin karena memang hampir mendekati daerah pegunungan. Tama dan Reno fokus pada pikirannya masing-masing, sedangkan Vivian entah kemana perempuan ayu itu. Sejak mereka sampai, ia sudah menghilang bagaikan ditelan bumi. "Allah sayang banget sama gue kali ya, Tam," celetuknya tiba-tiba. "Allah menunjukkan semuanya melalui Kevin. Adik yang sama sekali gak gue percaya tapi ternyata sangat peduli pada keluarganya. Gue malu, Tama. Gue malu karena sikap gue yang tidak baik. Gue membela habis-habisan orang yang salah." "Penyesalan memang selalu datang belakangan, Ren." "Jika datang diawal itu namanya pendaftaran," jawabnya terkekeh. "Bangke! Serius anjir!" "Jangan terlalu serius, Ren. Hidup itu harus bisa dinikmati. Baik itu hal buruk sekalipun, harus bisa dinikmati. Itu tandanya lu mensyukuri apapun bentuk ujian yang diberikan Gusti Allah." "Andai saja dulu gue nurut ucapan lu yang harus berpikir matang-matang lagi ketika ingin menikah dengannya, mungkin nasib gue gak akan kayak begini." "Ren, selalu ada hikmah di balik semua ujian yang diberikan. Pernah gak lu percaya tentang jodoh?" "Dulu gue percaya bahwa Sela adalah jodoh terbaik gue tetapi sekarang gue malah berpikir, apakah gue salah memilih wanita untuk menjadi jodoh gue?" "Ha …." "Reno, jangan hanya melihat sisi negatifnya saja, tapi lihat sisi positifnya. Lu pernah gak berpikir bahwa Gusti Allah memang sengaja mempertemukan Sela dengan lu, dan tujuannya agar lu bisa merubahnya menjadi lebih baik. Hanya saja, lu belum sempat merubahnya eh malah lu yang terjerumus masuk ke dalam perangkapnya." "Huft, lalu sekarang bagaimana?" "Kenapa tanya gue? Tanya hati lu, dong." "Gue ragu." "Shalat malam, sepertinya lu juga sudah jauh dari shalat malam ya. Jalani lagi, puasanya juga, semoga Allah segera memberikan jalan keluar yang terbaik." "Sekarang, lu nikmati saja terlebih dahulu liburan disini. Tenangkan hati dan pikiran lu." "Lu memang sahabat gue yang terbaik, Tama." "Selalu, Ren. Jangan pernah sungkan untuk berkeluh kesah pada gue." *** Sayup-sayup terdengar suara adzan maghrib yang sangat merdu sekali. Reno baru saja keluar dari kamar mandi menyelesaikan ritualnya membersihkan diri dan mengambil air wudhu. Walaupun ini rumah di kampung tapi sangat besar, lihat saja kamar mandinya juga ada di dalam kamar seperti kamar Reno di Kota. Reno bergegas melaksanakan shalat maghribnya, setelah itu ia mengaji. Sayup-sayup Vivi mendengar suara yang sangat lembut dan merdu. Diam-diam ia mencari darimana asalnya suara merdu itu, dan langkah kakinya berhenti tetap di depan kamar Reno. Vivi mendengarkan lantunan ayat suci Al-Qur'an yang dibacakan oleh Reno membuatnya hanyut dalam angan. Tanpa terasa, ia memejamkan mata dan memegang d**a tepat di jantungnya. Rasanya sungguh aneh, ia merasa detak jantung itu berdegup lebih kencang dari biasanya. Tama memperhatikan sepupunya dari jauh, awalnya ia ingin mengambil air untuk minum tapi langkahnya terhenti saat melihat pemandangan luar biasa. Ia berpikir, sepertinya sepupunya itu menyukai Reno dan ada senyum bahagia yang tersungging. Harapannya adalah semoga ada jalan kebahagiaan untuk sepupu dan sahabatnya. Jika Allah sudah berkehendak maka apapun itu pasti bisa terjadi. Semoga Gusti Allah memberikan kebahagiaan untuk kalian. Sorot mata Vivi sangat menunjukkan sesuatu, semoga Vivi bisa menemukan kebahagiaannya. Dan apabila jika itu dengan Reno, maka aku akan senang sekali. Tama memutar langkahnya untuk masuk kembali ke dalam kamar dan tidak ingin mengganggu aktivitas sepupunya yang terlihat seperti abg sedang jatuh cinta. Tingkahnya sangat menggelikan, buktinya hanya karena mendengar suara merdu Reno, wanita itu merasakan jantungnya berpacu dengan sangat dahsyat. Jam sudah menunjukkan untuk makan malam, Vivi sedang menyibukkan diri di dapur dan menyiapkan segala macam makanan untuk makan mereka bertiga. Reno melangkahkan kakinya ke dapur, matanya berbinar melihat sosok yang mengganggu pikirannya seharian ini. Vivi terlihat sangat anggun sekali dengan piyama pink dan hijab peach. Sangat senada sekali, menambah kecantikan dan kelembutan di wajah Vivi. Vivian, nama yang indah bukan? Nama yang berhasil membuat Reno merona dan berdegup kencang. "Vi …," panggilnya lirih. "Allahuakbar, Aa Reno!" "Eh? Ma-maaf. Kaget ya?" "Iya! Vi kira Aa setan!" "Hah? Ya gak mungkinlah, Vi! Mana ada setan ganteng begini!" "Idih! Pede sekali! Memang Aa ganteng? Kata siapa? Ganteng dari sebelah mana?" "Jangan begitu, Vi. Nanti jatuh cinta," sahut Tama tiba-tiba datang menghampiri mereka dan membuat keduanya kikuk. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD