Beban Reno

1752 Words
Malam mulai datang, keceriaan berubah menjadi sepi dan sunyi. Rembulan mulai memainkan kecantikannya tepat di atas langit, bersandar dengan sangat manja pada langit hitam dan dihiasi oleh taburan bintang yang indah. Cahaya rembulan terlihat seperti menghibur siapapun penghuni bumi yang sedang dilanda kegelisahaan yang mendalam. Mungkin sebagian orang beranggapan, malam adalah waktu cahaya memudar tetapi bagi Reno, malam adalah kehidupan yang sebenarnya. Sebab, malam selalu menunjukkan kejujurannya dengan ketenangan. Ketika keputusasaan dan harapan mulai terkikis oleh waktu, maka malam memberikan ketenangan dan kedamaiannya. Dari malam kita semua dapat belajar bahwa setelah kegelapan pasti akan terbit terang. Seperti hatinya saat ini yang merasakan kegelapan luar biasa karena sebuah kebimbangan dan kegundahan, berharap malamnya menghapus semua rasa yang menghantuinya beberapa waktu ini dan mengganti dengan sinar rembulan yang penuh dengan kebahagiaan. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, namun sepertinya salah satu penghuni rumah besar itu masih belum bisa memejamkan matanya. Ia beranjak dan memilih untuk duduk di luar, menatap hamparan sawah yang sudah gelap namun masih tetap terlihat karena bantuan sinar rembulan dan taburan bintang malam. Malam semakin sunyi dan sepi tapi tak menggetarkan hatinya untuk tetap duduk meresapi angin malam menyeruput kembali kopi hitam yang sebelumnya sudah dibuat dan beberapa cemilan yang belum tandas saat sore hari tadi. Kicauan burung malam dan beberapa suara binatang malam menghiasi malamnya. Reno merasakan ketenangan dan kedamaian berada disini. Jauh dari kekacauan di kota dan juga polusi udara yang sering kali membuat sesak di d**a setiap kali tak sengaja menghirupnya. Lelaki tampan itu mencoba berdamai dengan diri sendiri. Caranya yaitu dengan ikhlas menerima semua keadaan ini dan tetap tenang tidak gegabah untuk menghadapi istrinya. Sorot matanya menunjukkan kekecewaan yang sangat dalam, ada luka yang tak bisa ia sampaikan dengan kata-kata dan ada sesak yang membuatnya tak bisa menghirup udara dengan leluasa. Tanpa terasa, bulir kristal yang selama ini ditahan olehnya sudah memenuhi pelupuk mata dan siap untuk meluncur bebas di atas pipinya. Bahunya mulai bergetar, entah mengapa ia merasa ingin menumpahkan semua rasa sakit, gunda gulana dan kecewanya pada malam yang saat ini sedang berpihak padanya. Menarik nafas panjang agar tetap terjaga kewarasannya dan tidak lepas kendali berteriak menangisi nasibnya yang tidak berpihak baik padanya. Reno kembali tenang, namun bulir kristal itu tetap jatuh meluncur bebas. Reno tak mencegah ataupun menyekanya seakan mempersilahkan agar bulir kristal itu puas berselancar di wajahnya. Bahunya mulai bergetar kembali, ia menangis, menangis dalam diam dan sangat tertahan. Rasa sesak menyeruak ke dalam hatinya dan bahunya semakin terguncang. Tangisnya terdengar sangat pilu sekali, siapapun yang mendengar pasti akan merasa hanyut dalam ke piluannya. Ia tergugu, menutup wajahnya dengan kedua tangan menahan bibirnya agar tidak menjerit. Ada seseorang yang terjaga, niatnya mengambil minum namun langkahnya terhenti ketika melihat bayangan seseorang di balik jendela yang tidak tertutup rapat gordennya. Ia memperhatikan sosok yang sepertinya tidak menyadari kehadirannya. Ia melangkah maju, tepat berada di balik jendela. Mencoba melihat lebih dekat lagi, siapakah gerangan yang sedang duduk malam-malam seperti ini. Saat mendekat, ia terkejut tubuh seseorang itu terguncang, bahunya bergetar dan terdengar sedang menahan tangis. "Aa Reno," ucapnya lirih tak mengeluarkan suara sedikitpun. Ia masih tetap berada di tempat persembunyiannya, Vivian sangat penasaran sekali apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan teman Aa sepupunya itu. Reno kembali tenang, namun pandangannya nanar, menerawang ke depan. Dia melamun, ya benar. Perlahan, Vivi keluar dari tempat persembunyiannya. Membuka pintu dengan sangat perlahan sehingga tak menimbulkan suara sedikitpun. Ia mendekat dan menepuk pundak yang sepertinya sedang sangat rapuh. "Aa kenapa?" Reno buru-buru menyeka air mata yang tersisa di wajahnya dan mencoba tersenyum dengan senyuman yang sangat manis sekali. "Vi-Vivi," jawabnya terkejut. "Kenapa menangis? Ada masalah apa?" tanyanya mencoba meringankan beban berat di pundak lelaki tampan di hadapannya itu. "A-aku g-gak pa-pa." "Jangan ditahan. Menangislah jika memang ingin menangis, luapkan semua rasa dengan menangis jika merasa menangis akan membuat tenang. Jangan ditahan, nanti sesak. Vivi pernah berada di posisi Aa, saat kehilangan orang tua dan juga Amih. Hancur, sakit, kecewa, menderita, terluka dan menangis." "Semua rasa Vivi hancurkan dengan menangis, berharap menangis dapat menenangkan diri walaupun hanya sekejap mata saja." "Menangislah, Aa. Setelah puas, tersenyumlah. Lalu, ceritakan apa yang terjadi, tetapi itu juga jika Aa berkenan." Reno menatap mata sendu perempuan ayu di hadapannya, tiba-tiba ia menuruti perintah Vivi. Reno menangis sejadi-jadinya, bahunya bergetar hebat, tubuhnya terguncang, tangisannya benar-benar sangat pilu membuat Vivi tertegun, sebab baru kali ini melihat lelaki menangis seperti itu. Vivi mengulurkan tangannya, mengusap lembut pundak dan punggung Reno seraya menenangkan. Bukannya tenang, justru Reno semakin menangis tak tertahankan. Ini adalah puncak dari segala apa yang ia rasakan. Bukankah jarang melihat lelaki menangis? Jika lelaki menangis itu artinya ia benar-benar sangat terluka. Lelaki jarang sekali menunjukkan rasa kecewa dan sakit hatinya, tetapi jika ia sudah menangis percayalah itu artinya ia sudah merasa tidak sanggup lagi menahan beban yang sangat berat. Rasa kecewanya menyeruak hati hingga membuatnya menangis seperti anak kecil. Tangisnya membuat penghuni lain terbangun, ia terkejut mendengar tangis yang sangat memilukan. Membuatnya bangkit dan keluar dari kamarnya, matanya menangkap dua sosok dibalik jendela. Sosok lelaki yang sedang menangis karena nasib baik tak berpihak padanya dan juga sosok wanita yang sedang mengusap pun menenangkan lelaki itu. Tama, ya dia terpaksa terbangun saat mendengar tangisan sahabatnya. Ia khawatir sahabatnya itu frustasi maka dari itu segera bangkit dan melihat keadaan namun pemandangan yang didapat cukup menenangkan hatinya. Awalnya, ia merasa khawatir namun ketika melihat ada adik sepupu di samping sahabatnya yang sedang mencoba menenangkan tangisan itu, ia merasa tenang. Senyum ketenangan terpancar dari wajah tampannya. Ia menghela nafas beratnya, ia tak menyangka keadaan sahabatnya begitu memprihatinkan. Ia pikir Reno adalah lelaki yang sangat kuat dan tahan banting tetapi pikirannya salah, Reno tetap manusia yang bisa menangis dan pasti akan menangis apabila mendapatkan beban yang luar biasa. Tama memutar langkahnya untuk kembali masuk ke dalam kamarnya, ia merasa tenang melihat Vivi berada disamping sahabatnya itu. Entahlah, ada rasa bahagia yang menyeruak masuk ke dalam relung hatinya melihat pemandangan tadi. Setidaknya, Reno aman dan akan tenang bersama Vivi mengingat perempuan itu sangat cerdas, lembut dan juga meneduhkan. *** "Menangislah jika dengan menangis dapat membuatmu tenang, Aa. Lepaskan semua beban yang ada dihati dan juga pundakmu. Bebaskan A, tenangkan hati dan pikiranmu. Tumpahkan semua rasa sakit, kecewa, dan apapun itu dalam linangan air matamu." "Buang semua rasa itu, biarkan mengalir dari setiap tetes bulir kristal indah yang jatuh itu." "Vivi tidak tahu masalah apa yang sedang Aa hadapi. Vivi juga tidak paham seberat apa beban Aa, yang bisa Vivi katakan saat ini adalah lepaskan A. Dengan Aa melepaskan semua beban yang ada, inshaaAllah akan kembali tenang." "Aa pasti sering dengar bukan, habis gelap terbitlah terang. Itu yang harus Aa lakukan sekarang, menangis hingga puas lalu sambut hari esok dengan senyum terindah. Percayalah A, banyak yang merindukan senyum itu." Reno seperti terhipnotis dengan kata-kata wanita cantik di hadapannya itu. Ia menurut dengan arahan dan ide dari Vivi. Kembali Reno hanyut dengan tangisannya, ia menumpahkan semua yang dirasakan, lalu menarik nafas panjang dan mencoba tenang kembali. Reno merasa sedikit lega setelah mencurahkan semua bebannya melalu air mata yang tak sanggup dibendungnya lagi dalam beberapa waktu itu. Ia menatap hamparan sawah yang gelap, sepi, sunyi hanya suara binatang malam yang terdengar. Kembali ia mengembuskan nafasnya, bulir kristal yang di pipinya sudah hampir mengering. Vivi masih diam ditempatnya, ia memberikan waktu untuk lelaki dihadapannya. Sepertinya, lelaki di hadapannya itu sedang asik dengan pikirannya sendiri dan terlihat nafasnya kembali stabil dan tidak memburu seperti itu. Vivi memandang lelaki di hadapannya, guratan halus di wajahnya terlihat sangat kaku, sepertinya benar-benar berusaha menahan amarah. "Tampan," gumam Vivi tanpa suara. Ia takut mengganggu aktivitas Reno yang masih asik dan hanyut dalam diamnya. Saat Vivi sedang memandang wajah Reno sangat dalam, tiba-tiba Reno melihat ke arahnya. Gadis itu tak menyadari perbuatannya yang masih memandang Reno dalam. "Aku tau kalau tampan, Vi." "Eh? Hah? Apa, Aa?" "Kau kagum dengan ketampananku?" "Hah?" "Mm … g-gak kok, Aa." "Haha, tampangmu lucu sekali, Vi," tawa Reno renyah. Vivi tertegun melihat lelaki dihadapannya itu, takjub. Beberapa waktu yang lalu, ia melihat lelaki itu menangis dan terlihat sangat rapuh tetapi lihatlah sekarang, dia justru tertawa sangat renyah membuat kadar tampannya meningkat. "Melamun lagi?" "Eh, gak, Aa." "Bagaimana? Sudah tenang?" "Makasih." "Untuk?" "Makasih karena kau tetap berada di sampingku, saat aku terpuruk dan menangis melepaskan beban yang ada." "Santai saja, Aa. Bukankah kita teman?" "Teman?" "Iya. Teman Aa Tama itu berarti temanku juga." "Ah, iya. Kita teman. Terimakasih." "Jangan sungkan, Aa." "Aa, jika memang ada beban maka wajib lepaskan, itu lebih baik dari pada menyiksa diri. Sungguh, itu sangat menyakitkan. Aku tau bagaimana rasanya, ketika kehilangan seseorang yang kita sayang untuk selama-lamanya." "Bukan hanya hati yang hancur, Aa. Hidup, dunia dan segala kegiatan terasa sangat hancur. Dunia seperti berhenti berputar, hati seperti enggan melanjutkan kembali untuk hidup dan juga rasa, semua rasa mati dalam seketika." "Di dunia ini, tidak ada yang sempurna dan juga tidak ada yang abadi, Aa. Manusia tidak ada yang sempurna dan pasti selalu ada kekurangan dan kelebihan dengan porsi yang berbeda, satu sama lainnya harus bisa menutupi kekurangan dan kelebihan masing-masing. Lihatlah jarimu, Aa, disana ada ruangan kosong dan ruang kosong itu gunanya untuk menyatukan dua tangan. Menciptakan genggaman yang saling menguatkan satu sama lain dengan sebuah dukungan dan perhatian." "Di dunia ini, tidak ada yang abadi. Semua akan mati dan itu pasti. Namun, bukan mati yang menjadi masalahnya. Tetapi, berapa banyak kebaikan yang kita lakukan sebelum mati. Sebab, semua itu tak akan bisa kita lakukan kembali setelah mati. Dan lagi, jangan pernah lupa Aa di dunia ini jika bukan kita yang meninggalkan maka kita yang ditinggalkan." "Maksudmu?" Pandangan mata Vivi beralih pada Reno yang tampak bingung dengan perkataannya. Awalnya ia hanya menatap ke depan, lurus, menerawang jauh, membuang semua rasa sakit yang menyeruak relung hatinya dan menata hatinya agar tak sakit kembali. "Tidak mengerti?" Reno mengangguk cepat. "Baiklah. Aku lanjutkan?" Lagi-lagi Reno mengangguk cepat. "Seperti aku sekarang, Aa. Posisi aku adalah ditinggalkan." Vivi menatap kembali pada hamparan sawah di hadapannya, menarik nafas dalam lalu menghembuskannya perlahan. "Aku ditinggalkan oleh kedua orang tua sekaligus amih dan saat ini? Hidupku sendiri dan hampa." "Aku harus bisa bertahan di kaki sendiri dengan sekuat hati. Sandaranku saat ini adalah kaki dan diri sendiri. Aku tak bisa lagi bersandar pada keluargaku. Kaki yang aku pijak saat ini harus bisa membawaku selalu dalam kebaikan." "Dan, apabila kita meninggalkan. Itu pasti akan membuat kita tenang, karena tak akan pernah lagi memikirkan mereka yang masih hidup." "Kehilangan yang paling sangat menyakitkan adalah kehilangan selama-lamanya karena kematian." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD