Ketukan Misterius

1664 Words
Tiga hari dua malam mereka menghabiskan waktu di kampung halaman. Selama dua hari itu, Papah Dedi menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Sesuai dengan perjanjian awal bersama anaknya, beliau tidak akan ikut campur dan tidak boleh ikut campur. Tugasnya hanya mengantarkan sampai kampung halaman, tidak lebih dan tidak kurang, yang lainnya itu sudah urusan Sela bersama Budenya. Setelah Sela menyampaikan maksud pada Bude, beliau langsung berpikir untuk segera membantu ponakannya. Terlebih lagi, memang beliau adalah salah satu orang pintar dan disegani di daerahnya. Banyak sekali, orang kota yang datang berkunjung dan silaturahmi ke rumah hanya untuk sesuatu hal. Sama seperti kemarin, setelah obrolan mereka terhenti, ada beberapa mobil mewah yang berhenti di pekarangan rumah Bude. Flashback on Seperti biasanya, mereka masuk ke dalam dengan sopan dan basa-basi, setelah itu langsung menyampaikan maksud dan tujuannya. Sela sempat menguping dari dalam kamar, ternyata mereka datang ke Bude untuk meminta sesuatu agar kembali menjadi Walikota di Kota P. Bude mengiyakan dan menyanggupi, lalu permisi masuk ke dalam kamarnya dan keluar membawa sebotol air mineral. Bude mendoakan air tersebut dan meniupnya sebanyak tujuh kali, tidak lupa ada sebotol minyak kecil yang di serahkan pada orang penting itu. Ternyata, minyak tersebut harus di oleskan pada kedua alisnya dan juga kelopak matanya agar siapapun yang melihatnya akan segan dan memilihnya kembali menjadi walikota. Memang, sebentar lagi ini akan ada pemilihan, pantas saja orang penting itu jauh-jauh dari Kota P ke rumah Bude, ternyata memang ada tujuan. Setelah urusannya selesai, mereka kembali ke kotanya dengan membawa oleh-oleh yang diberikan oleh Bude. Dan tak luput mereka juga memberikan amplop coklat serta beberapa cemilan untuk Bude terima. Dengan senang hati dan senyum merekah, Bude menerima semua yang diberikan itu. Memang tidak salah aku minta antar pulang kampung. Akhirnya, bertemu dengan Bude dan mempunyai jalan untuk tujuanku. Aku yakin, Bude pasti akan membantu dan memberikan yang terbaik untukku. Beliau tidak pernah ingin melihatku sakit, kecewa atau menangis karena tak berhasil mendapatkan apa yang diinginkan. Bude pasti sudah menyiapkan yang spesial dan luar biasa untukku. Nanti, saat aku kembali ke Bekasi pasti akan dibawakan oleh-oleh yang pastinya berguna dan juga bisa kugunakan untuk keinginanku. Ah, Bude memang wanita yang luar biasa. Beliau benar-benar sangat menyayangi dan mencintaiku layaknya anak sendiri. Jika boleh memilih, entah mengapa aku akan lebih memilih lahir dari rahim Bude daripada rahim Mamah, mengingat perlakuan Mamah yang sangat beda jauh dengan Bude. Entah, apa salahku sehingga membuat Mamah sepertinya enggan memberikan kasih sayang yang utuh. Apa mungkin ada kesalahan di masa lalu yang membuatnya tak bisa melupakan sehingga membuatnya benci padaku? Mungkin itu bisa jadi tapi entahlah, aku tak ingin ambil pusing mengenai itu. Toh, tanpa kasih sayang dan cintanya juga, aku sudah mendapatkan semuanya dari Bude. Flashback off *** Hari ini adalah hari kepulangan mereka, semalam saat Sela sedang menyiapkan semua barang-barangnya untuk kepulangan besok, tiba-tiba Bude mengetuk pintunya dan masuk membawa satu tas kecil yang berhasil membuat Sela penasaran dengan isinya. Dalam hatinya, ia bersorak riang sebab sepertinya Bude akan membantunya dan ia percaya apabila wanita paruh baya tersebut yang membantu sudah pasti akan berhasil. "Nduk," panggilnya mendekat ke arah Sela lalu duduk di tepi ranjang. "Iya, Bude." "Sini dulu, Nduk. Sebentar," panggilnya lagi membuat gerakan Sela melipat bajunya terhenti. Menoleh ke arah Bude dan beliau menepuk-nepuk tepi ranjang kosong di sebelahnya. Sela mengangguk dan mendekat ke arah Bude, duduk tepat di sebelahnya. "Kenapa, Bude?" tanya Sela penasaran. "Ini, yang kau minta." "Apa Bude?" "Sesuatu yang pastinya akan membuatmu bahagia, Nduk." Sela menatap tas kecil itu dan menoleh pada Bude. Matanya bertemu dengan manik mata Bude seraya memberikan izin pada Sela untuk membukanya. "Ini?" Sela terkejut melihat isi dari tas tersebut yang didalamnya ada satu botol air mineral, bunga tujuh rupa dan sepertinya minyak juga. "Untuk apa?" "Untukmu, Nduk. Bukankah Bude sudah katakan bahwa akan membantumu dan mengikuti semua keinginanmu?" Sela mengangguk cepat. "Nah, ini yang Bude berikan. Bude jamin, pasti akan berhasil. Kau percaya bukan pada Bude?" Lagi-lagi Sela mengangguk cepat. "Pasti, Bude. Pasti Sela percaya sama Bude, buktinya sudah banyak orang yang berhasil atas bantuan Bude. Apalagi saat ini, anak Bude sendiri yang meminta tolong, sudah pasti Bude akan membuatnya berhasil. Bukan begitu?" "Itu pasti sayangku." "Tapi Bude …," ucapnya lirih. "Tapi kenapa, Sayang?" "Ini … hum … ini bagaimana cara menggunakannya." "Bunga tujuh rupa ini, kau pakai mandi malam ini, Nak." "Hah? Bude! Yang benar saja! Masa iya, Sela mandi lagi, malam-malam begini pula! Gak ah! Dingin, lagi pula, Sela takut!" "Kenapa harus takut? Bukankah kau sendiri yang bilang pada Bude, apapun konsekuensinya akan diterima? Sekarang, mau mundur?" "Bu-bukan begitu, Bude. Se-Sela takut, Bude." "Tidak usah takut! Bude akan menemanimu dan Bude juga yang akan memandikanmu!" "Sungguh?" "Iya! Kau cepat selesaikan beberesnya, nanti tepat pukul 00.15 Bude akan mengetuk pintu kamarmu dan memandikanmu." "Gila! Itu malam banget, Bude! Ini gila!" "Sela, jadi kau mau mundur?" "Bukan begitu, Bude. Kenapa harus tengah malam, sih!" "Ya karena itu syaratnya! Ya sudah apabila jika kau tak mau melakukannya, Bude tak masalah." Bude bangkit dan melangkahkan kakinya keluar kamar namun tiba-tiba langkahnya terhenti saat mendengar jawaban dari ponakannya itu. "Ba-baik, Bude. Sela mau, Bude. Sekarang, Sela bereskan semua ini dulu ya, Bude." Bude mengangguk dan melangkahkan kakinya kembali. "Tapi, Bude." "Apalagi?" "Air dan minyak ini bagaimana?" "Nanti Bude kasih tau kegunaannya setelah kau mandi kembang. Paham?" "Ba-baik iya, Bude." "Sela, jangan tidur! Kamu harus tetap terjaga hingga waktu mandi tiba! Paham!" "Iya, Bude. Paham. Terimakasih." Sela menatap bungkusan tersebut kembali, ada rasa yang entah sulit dijelaskan dengan kata-kata yang menjalar masuk ke tubuh dan relung hatinya. Tiba-tiba ada rasa ragu untuk melangkah lebih jauh namun rasa itu segera ditepis olehnya dan diganti oleh rasa yakin. Menurutnya, semua ini sudah sangat jauh walaupun memang belum terlalu jauh. Sayang sekali jika harus berhenti ditengah jalan, bukankah segala konsekuensinya nanti akan dia tanggung. Jadi, untuk apa mundur? Ya walaupun, ia belum tau konsekuensi apa nantinya yang akan didapat olehnya, tapi sebisa mungkin akan diterima olehnya. Aku tak tau ini berhasil atau tidak, namun aku berharap sekali semua ini berhasil. Takut sih, tapi demi keinganan yang luar biasa aku harus bisa mengikis rasa takut tersebut. Aku tak tau apa maksud dan tujuan dari mandi kembang nanti, lebih baik aku turuti saja toh nantinya pasti Bude akan jelaskan apa tujuannya untuk mandi kembang. Lalu, bagaimana dengan air dan minyak ini ya? Apa cara pakainya sama seperti Bude menjelaskan pada pasiennya waktu itu ya? Air ini sudah pasti untuk minum, tapi untuk minum siapa? Apakah aku? Atau keluarga suamiku? Minyak ini sudah pasti akan aku yang gunakan, hanya saja belum tau bagaimana tata cara menggunakannya. Ah, masih pukul sebelas malam, itu artinya masih ada waktu satu jam lima belas menit lagi. Aku harus apa sekarang? Rasanya bosan sekali terlebih lagi rasa kantuk sudah mulai datang menyerang mata ini. Ingin sekali merebahkan diri, tidur dan menikmati malam dengan syahdu, tetapi tadi Bude berpesan agar aku tidak boleh tertidur. Seharusnya, apabila Bude menyuruhku untuk tidak tidur, bisa kali 'kan temani aku di kamar untuk ngobrol. Daripada seperti ini 'kan? Aku merasakan ngantuk yang sangat luar biasa sekali. Oh apakah aku main game saja ya? Atau hubungi suamiku? Oh, iya, bukankah aku sudah mempunyai suami? Haha, bagaimana bisa aku melupakan hal itu? Aku saat ini sudah berstatus seorang istri dari Reno Alvian. Ah istri yang sampai saat ini belum pernah disentuh akan cinta dan kasih sayangnya. Istri yang sudah ditinggalkan pergi bersama teman-temannya di malam pertama pengantin. Dimana-mana, pengantin baru itu akan bermesraan di dalam kamar dan diatas ranjang mereka. Memadu kasih, cinta, dan juga kegiatan lainnya namun berbeda denganku. Malam pertama dan malam-malam berikutnya justru dihabiskan oleh menangis karena luka yang diberikan oleh suamiku. Suami yang kuperjuangkan, kucinta, kusayang melebihi kasih sayang dan cinta pada diriku sendiri! Entahlah, lelaki itu lupa atau mungkin memang tak ingin kegiatannya diganggu, sejak malam itu hingga saat ini aku pulang ke kampung tak ada satupun pesan yang dikirimkan olehnya padaku. Padahal, sebelum menikah, bisa setiap waktu, setiap jam bahkan setiap detik mengirim pesan dan bertelpon ria dengan alasan rindu. Dan lihatlah sekarang? Semuanya berubah! Aku tak tau apa salahku padanya, tetapi mulai saat dimana aku terluka dan menangis karena ulahnya. Aku berjanji, berjanji akan membuatnya bertekuk lutut dihadapanku apapun itu caranya, aku tidak peduli! Akan kukuasai hatinya dan juga keluarganya untuk menebus rasa sakit yang kurasa. Reno Alvian, suamiku tercinta, tunggu saat dimana kau tak berdaya dan memohon bahkan bersujud di hadapanku karena kau takut kehilanganku! Ini adalah janjiku! Janji dari rasa sakit yang sudah kau ciptakan di hatiku yang rapuh ini! Sela merebahkan kembali tubuhnya, rasanya lelah sekali mondar-mandir sejak tadi berharap jarum jam bergerak cepat namun sepertinya sia-sia, bukannya merasa semakin cepat justru semakin lama. Ia menatap atap langit-langit kamarnya, semakin malam semakin dingin rasanya. Sebelumnya tak pernah ia tidur larut malam seperti ini tetapi karena sebuah tujuan ya harus mau. Masih menatap langit-langit kamar, mencoba membuang semua rasa kantuk yang menyergap matanya. Ia menghembuskan nafas kasar berkali-kali agar jam dinding yang bersandar pada tembok itu segera menunjukkan pukul dua belas. Lelah. Sela merasa sangat lelah menunggu waktu itu tiba. Sesekali ia membuka ponselnya, berselancar di berbagai sosial media. Tiba-tiba ada yang mengetuk jendela kamar membuatnya berjengit. Tatapan Sela mulai menerawang ada apa dan siapa dibalik jendela tersebut. Ia menatap kembali jam dinding, ternyata belum pukul dua belas. Dan siapa pula malam-malam begini yang mengetuk jendela? Aneh! Bulu kuduk Sela mulai berdiri, ia merasakan tubuhnya merinding luar biasa. Rasa takut mulai menyergap hatinya. Ia turun dari ranjang, berjalan perlahan dengan kaki yang gemetar menuju jendela kamar yang masih terus saja diketuk entah itu seseorang, binatang atau mungkin hantu? Sela menggelengkan kepalanya, membuang semua pikiran yang terus berputar di kepala mungilnya. Sela melanjutkan langkahnya, namun terasa sangat berat sekali untuk sampai jendela itu. Ditambah, eksistensi ketukan tersebut semakin sering dan keras membuatnya semakin merasa takut juga beberapa kali berjengit. Saat tangannya hendak membuka gorden tersebut, tiba-tiba. Kreekkk "Anjir!" umpatnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD