Ritual

1322 Words
"Sela! Ada apa! Kenapa kau mengumpat seperti itu!" "Bu-bude?" "Iya, ada apa?" "Maaf." "Kenapa? Ada apa? Kenapa wajahmu pucat seperti itu?" "A-anu, a-ada itu." "Ada apa?" Sela melirik ke arah jendela, Bude mengikuti arah mata ponakannya tersebut dan bingung ada apa. Mata beliau langsung menatap jam dinding. "Cepat ganti bajumu, Sela. Pakai kain ini, lepaskan semua pakaianmu termasuk dalaman juga." "Bude bercanda? Dingin, Bude!" "Jangan banyak protes! Kau tidak punya pilihan selain nurut! Cepat! Nanti waktunya habis." Sela mengangguk dan menyambar kain dari tangan Bude cepat. Sedangkan Budenya sudah mengambil satu bungkus plastik berisi kembang tujuh rupa yang dimasukan ke dalam ember yang dibawa olehnya tadi. Sela keluar dari kamar mandi dan terkejut melihat Budenya yang sedang memejamkan mata dengan mulut seperti komat-kamit membacakan sesuatu. Sela terpaku di tempatnya, ia ingin sekali melangkah namun rasanya kakinya sulit pun berat sekali untuk dilangkahkan. Seperti ada magnet di bawah kakinya sehingga kaki itu memilih untuk tetap berdiam diri di tempatnya. Diam tak bergeming. "Bu-bude," panggil Sela lembut. Namun panggilannya tak digubris, Bude masih fokus pada air yang berisi kembang tersebut dengan mulut yang masih komat-kamit. Bude lagi apa, sih! Baca apaan coba? Kok lama banget gitu! Aneh! Kok jadi seram begini, sih! Ya ampun. Belum juga tenang dari keterkejutan di jendela, sekarang sudah lihat Bude komat-kamit seperti itu! Heran! "Sela, sudah?" Sela berjengit hampir terhuyung ke belakang saking terkejutnya mendengar panggilan Bude. "Astaga, kamu kenapa, sih?" "Eh, gak pa-pa, Bude." "Terkejut?" Sela mengangguk cepat, Bude menghela nafas. "Ya sudah, cepat bawa ember ini ke halaman belakang. Kita mulai semuanya disana." "Hah? Kenapa gak di kamar mandi saja, Bude? Di luar pasti dingin," tolaknya. "Maaf, Nduk. Bude tak terima penolakan. Kamu harus mengikuti semua ritual ini." "Untuk apa?" "Untukmu! Jangan banyak protes! Cepat! Nanti waktu baiknya habis." "I-iya, Bude." "Jangan banyak berpikir! Nanti Bude akan jelaskan maksud dari mandi kembang ini." "Ba-baik, Bude." Sela segera membawa ember berisi air dan kembang tersebut ke halaman belakang. Ia mengekor jalan di belakang Bude yang sudah dulu melangkahkan kakinya dengan cepat meninggalkan Sela yang sepertinya kesulitan membawa ember berisi air yang akan dibuat mandi olehnya. "Lama banget, Sel." "Sabar dong, Bude! Ini berat! Heran!" "Ah, kamu ini, alasan saja! Bawa segitu saja berat, Nduk." "Sudah cepat jangan menggerutu saja. Tidak baik, dan bisa-bisa gagal rencana ini." "I-iya, Bude. Maaf." Mereka sampai juga di halaman belakang, Sela melihat sekelilingnya. Sebenarnya, halaman belakang ini cukup menyejukan jika di pagi dan sore hari sebab banyak sekali tanaman bunga yang indah juga wangi, tetapi apabila malam hari seperti ini terasa menyeramkan. "Duduk bersimpuh disana, Nduk. Tepat di lingkaran tersebut. Jangan pindah! Sekarang!" "Iya, Bude." Sela diminta untuk duduk bersimpuh di tempat yang sepertinya memang sudah biasa menjadi tempat ritual. Ritual? Apa pantas ini disebut sebagai ritual? Kok rasanya seperti menggelitik sekali di perutnya. Bulu kuduk tiba-tiba merinding, rasa dingin menusuk tulang mulai terasa. Langkahnya ragu dan lutut terasa sangat lemas sekali. Sela langsung ambil posisi duduk bersimpuh. Bude mendekat ke arahnya, mengambil gayung yang sudah berisikan air dan juga kembang. Guyuran pertama terasa sangat hangat sekali, guyuran kedua pun sama. Ketika masuk guyuran ketiga, tiba-tiba bulu kuduk Sela berdiri kembali, ia merinding sekali. Matanya mengawasi sekitar melalui ujung mata dengan netra indah itu. Dingin! Dingin sekali, dan rasa dinginnya sangat menusuk tulang. Tubuh Sela menggigil mulai dari guyuran air ketiga sampai dengan ketujuh. Semakin menggigil seakan tak sanggup lagi duduk bersimpuh dan ingin sekali menutup tubuhnya dengan selimut yang tebal. "Bu-bude di-dingin," ucapnya dengan bibir bergetar. "Sebentar lagi, Nduk. Tahan ya, sebentar lagi kita akan selesai." Sela mengangguk. Bude melanjutkan kembali kegiatannya, ia menengadahkan kedua tangannya ke atas. Sela merasakan seperti ada sinar di atas kepalanya, entah itu apa namun sangat terang sekali dan berhasil ditangkap oleh Bude lalu dengan gerakan yang cepat beliau langsung menekan ubun-ubun Sela dan membuat ponakannya itu terkejut, hampir saja terhuyung ke belakang apabila tak ditahan oleh Bude. Seketika, tubuh Sela menjadi hangat sangat hangat seakan rasa dingin yang menusuk pada tulang tak muncul kembali. Wajahnya tiba-tiba bersinar dan terlihat semakin ayu juga manis. Siapapun yang melihatnya pasti akan semakin tergila-gila padanya. Bude langsung membantu Sela berdiri dan memapahnya masuk kembali ke dalam rumah. Bude membawa Sela masuk ke dalam kamarnya, mendudukan ponakannya di tepi ranjang lalu mengambil minyak yang memang sudah disediakan namun sepertinya minyak itu beda dari yang ada di tas kecil tadi. Bude melanjutkan kembali aksinya, beliau mengoleskan minyak tersebut tepat di tengah-tengah kedua alis, kelopak mata, hidung, pipi dan bibir. Lalu kembali mulutnya berkomat-kamit entah membacakan apa. Dibelai lembut surai Sela lalu meniupkan tepat di ubun-ubunnya. "Nduk." "I-iya, Bude." "Bagaimana?" "Bagaimana apanya, Bude?" "Bagaimana sekarang perasaannya dan rasanya tadi." "Tenang dan hangat." "Sekarang, berdiri, lalu tautkan dirimu di depan cermin." Sela mengangguk dan menuruti perintah budenya. Sela berdiri dan mulai berjalan ke arah kaca rias. Entah hanya perasaan saja atau bagaimana, yang jelas saat ia melihat dirinya di depan cermin kok seperti sangat cantik dan mempesona sekali. Tubuhnya terlihat semakin indah, tatapan matanya tajam namun meneduhkan, bibirnya tipis namun terlihat menggemaskan. "Bu-bude," panggilnya. "Iya, Nak? Kenapa?" "Ini Sela?" "Iya dong, tentu. Lalu siapa lagi?" "Kok bisa?" "Kok bisa apa, Nak?" "Kok bisa Sela berubah seperti ini? Lebih cantik dan lebih huum menggoda?" "Bukankah ini yang kau inginkan?" "I-iya, Bude. Tapi, Sela tidak menyangka sekali bisa secepat ini." "Bahagia?" "Sangat Bude. Dengan begini, Sela pasti akan bisa membuat Mas Reno bertekuk lutut dihadapan Sela, Bude." "Bukan hanya Reno, Nak. Tapi, seluruh keluarganya juga." "Oh iya? Sungguh, Bude?" "Iya, Sayang. Mereka akan terpesona denganmu dan tak akan bisa menyakitimu juga membuatmu kecewa." "Sungguh, Bude?" "Kamu coba saja sendiri, Nak." "Lalu, air dan minyak itu untuk apa, Bude?" tanyanya menatap dan menunjuk tas kecil tadi. "Keduanya itu hanya penunjang, Nak. Tuangan air tersebut pada semua keluarga suamimu, lalu oleskan minyak tersebut sama seperti Bude mengoleskan pada wajahmu tadi." "Bacaannya, Bude?" "Tidak usah, semua sudah Bude yang uruskan. Kau hanya tinggal memakainya saja." "Ah, Bude memang sangat luar biasa sekali. Terimakasih Bude sayang." Mereka tidak tahu, sejak tadi ada pasang mata yang terus memperhatikan dan juga mendengar percakapan mereka. Sepasang mata yang tak pernah melepaskan matanya untuk mengintai. Sejak dimana Bude membawa Sela ke halaman belakang, melakukan ritual yang entah apa itu, hingga melihat ada sebuah sinar yang sangat terang masuk melalui ubun-ubun Sela dan berhasil membuatnya terkejut hampir terjungkal saking tidak percayanya dengan pemandangan yang sedang dilihat olehnya tepat di hadapannya. Ketika dua wanita itu sudah selesai melakukan ritual, sepasang mata tersebut bersembunyi di tempat yang tidak mungkin bisa membuat mereka curiga. Lalu keduanya masuk ke dalam kamar dan sepasang mata tersebut tetap mengikuti dengan sembunyi-sembunyi, menempelkan telinganya di daun pintu dan mendengar semua percakapan kedua wanita beda generasi itu di dalam. Ia memegang dadanya, terasa sesak sekali. Pikirannya melayang, ia tak menyangka dua wanita beda generasi itu melakukan sesuatu yang salah. Ia sebenarnya ingin menegur, tapi niatnya itu diurungkan. Ia khawatir akan terjadi keributan luar biasa nantinya tetapi ia tak sanggup melihat keadaan ini karena semua ini tak benar. Ya Allah, maafkan mereka. Maafkan Mbakyu dan anakku, maafkan kelakuan mereka yang sungguh terlihat sangat hina. Maafkan sikap mereka yang sudah melenceng. Ya Allah, jauhkan mereka dari siksaanmu, maaf, maaf karena aku tak mampu mencegah mereka. Ya Allah, tolong gagalkan rencana mereka dengan apapun caranya, aku merasa tak sanggup menggagalkannya karena rasa sayang dan cintaku ini terhadap mereka sangat besar. Bagaimana jika Vasya mengetahui ini semua? Dia pasti akan sangat marah apabila mengetahui, anak yang selama ini disayang dan dicinta ternyata berani melakukan sesuatu yang jauh dari kata baik. Bahkan, dia sudah berani masuk ke dalam jurang. Ya Allah, maafkan aku tidak bisa menjadi orang tua yang baik untuknya. Astaghfirallah … astaghfirallah … sungguh, aku merasa tak sanggup. Sakit, dadaku terasa sakit sekali melihat dan mendengar kesalahan semua ini. Lebih baik aku masuk ke dalam kamar menenangkan hati dan juga pikiranku. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD