Prolog
***
Wajah Rinelda pucat pasi saat berlari ketakutan di lorong gelap. Sinar rembulan dari jendela di sepanjang lorong membantunya melihat jalan di depan. Dia harus lari dari tempat ini; sebuah mansion klasik bergaya Inggris abad sembilan belas.
Rinelda merasa menyesal telah terlena oleh pemilik mansion ini. Meskipun dia orang yang baik, memperlakukannya begitu lembut, firasat di hati adalah dorongan naluriah yang harus dilakukan. Namun, Rinelda sempat mengabaikan hal itu. Sekarang dia menanggung firasat buruk ini jadi kenyataan.
Dia menuruni anak tangga dengan cepat. Terus berlari menuju pintu utama. Rinelda tidak bisa berpikir jernih lagi saat ini. Yang ada dipikirannya hanya melarikan diri dari sini. Dari anak tangga teratas, dia bisa melihat keadaan di lantai satu, kelihatan gelap. Lampu tidak menyala atau memang tidak dinyalakan. Jendela besar dan tinggi di kedua sisi pintu cukup membuat cahaya bulan menyinari permukaan lantai walau pencahayaannya sangat lemah.
Sedikit lagi... Sedikit lagi dia akan menggapai pintu besar itu. Namun, baru setengah jalan, Rinelda berhenti mendadak. Rautnya terkuak kaget seakan dunia kiamat, ketika pria itu muncul tiba-tiba di depan dan berdiri begitu anggun menghalangi jalannya menuju pintu. Rinelda gemetaran. "Mengapa kau tidak membiarkan aku pergi? Kumohon, aku ingin pergi," ujar gadis itu setengah putus asa. Eksistensi pria bersurai pirang di hadapannya menjadi alasan utama dia ingin melarikan diri dari penjara mewah ini.
"Kenapa aku harus membiarkanmu pergi dari sisiku?" kata pria itu dengan suara sejernih lonceng. Nadanya stabil dan tenang. Setenang ekspresi wajahnya yang justru mengukir senyuman.
Rinelda tercekat. Dia tidak bisa bicara lagi. Kosakata di kepalanya mendadak hilang. Tetapi tangannya tidak bisa berhenti gemetar. Hingga sedetik kemudian pria itu sudah berpindah tepat di depan kakinya. Tidak ada jarak selangkah pun di antara mereka. Bahkan Rinelda tidak melihat pria itu berjalan. Sehingga kini mata mereka bertatapan begitu jelas. Iris merah pria itu terkunci di matanya. Rinelda terpaku, hatinya bagai dilelehkan musim panas. Detak di jantungnya semakin meningkat.
"Akhirnya aku menemukanmu." Bibir tipis pria itu menarik senyuman tulus. Matanya menyendu penuh kasih menatap gadis di hadapan. Lalu pria itu meraih dagu Rinelda, sementara tangan lain menarik pinggang rampingnya sambil mengatakan, "Nona Rinelda, aku mencintaimu. Hatiku sangat merindukanmu seumur hidupku."