#2

1117 Words
“Cepet jelasin, gue gak ada waktu, gue harus berangkat kerja!” Seorang pria bergidik ngeri melihat wanita yang bertubuh tinggi jenjang beradu dengan alat masak, membuat sarapan nasi goreng untuk mereka. Wajahnya yang datar dan cara memasaknya yang kasar penuh emosi membuat pria itu berkali-kali menelan saliva dan menyesali keputusannya untuk pulang. “Ya aku kan udah telepon kamu, tapi kamu tolak terus malah kamu blok juga kan?” “Ya mana gue tahu itu nomor lo? Lo ga pernah kabarin gue! Terus gimana caranya lo masuk?” “Jen-jendela kamu ga ke kunci …,” “Bang Sat! Lo bener-bener mau jadi bangsatt apa, ya? Ngapain coba lo lewat jendela segala? Lo kuliah lama di luar negri belajar materi doang kagak sekalian belajar adab lo, ya? Kenapa lo ga ketok pintu sih?” Emosi Arin berapi-api seperti besarnya api kompor yang menyala saat ini. Arga Satria Bayanaka, pria yang akrab di panggil Bang Sat dan sudah menjadi sahabat Arin dari kecil ini menciut saat Arin masih memiliki emosi yang sama seperti dulu. Pria bermanik mata cokelat almond itu harus memutar otak mencari cara agar bisa meluluhkan hati istrinya, Arin. “Ya kan aku kira kamu udah tidur, aku ga enak aja kalau harus bangunin kamu,” ucap Satria mencari pembelaan. “Alesan aja digedein! Kalau gue udah tidur gimana bisa gue blok nomor lo coba? Cih katanya lulusan S2 LA, tapi hal gitu aja gak kepikiran, punya otak dipakai sedikit!” ujar Arin sarkas. Satria mematung sementara Arin duduk dan melahap nasi goreng di mejanya. “Punyaku mana, Rin?” tanya Satria mengalihkan topik. “Apaan? Sarapan? Bikin aja sendiri! Toh lo juga sepuluh tahun ga ngasih gue makan, padahal kewajiban lo loh itu.” Lagi, Satria dibuat tertohok oleh jawaban Arin. “Kayanya keputusan aku buat pulang salah deh,” gumam Satria membuat Arin menaruh sendoknya dengan kasar dan memberikan tatapan sengit pada Satria. “Kalau gak niat pulang ya jangan pulang sekalian! Jangan suka mempersulit hidup orang, paham?” Arin menghentikan makannya dan menyambar tas miliknya. “Rumah gue kunci dari luar, kalau lo mau angkat kaki dari sini lewat jendela lagi aja, gue gak peduli. Besok gue tralisin jendelanya.” Singkat dan padat, begitulah cara Arin berpamitan pada pria yang paling mengecewakannya selama ia hidup. Arin melenggang keluar rumah dan betul-betul mengunci Satria sendirian di dalam. Dalam keheningan, Satria merenung dan merasa bersalah pada sahabat kecilnya. “Harusnya aku memang ga pernah ninggalin kamu sendiri ya, Rin.” *** Bogor Medical Center. Seharian ini Arin bekerja dengan mood yang buruk, bahkan berkali-kali ia kena tegur Kaisar, dokter yang ia bantu pekerjaannya karena Arin memasang wajah dingin. “Arin, senyum! Kita mau bantu orang yang mau lahiran ini, jangan bikin pasien stress karena liat muka kamu yang kaya gozila nahan b***k begitu, ya? Senyum dikit coba!” titah Kaisar sewot sendiri karena jengah menyuruh Arin untuk berhenti bermuka masam. “Iya maaf dokter,” sahut Arin seraya memasang senyum palsu. “Ya ampun, senyum kamu kaya Annabell, Rin!” komen Kaisar. Arin tak mau menanggapi kejujuran atau keisengan dokternya karena dia sama sekali tidak mood seharian. Bukan apa-apa, Arin hanya merasa kalut, dalam hatinya ia merasa senang, kembalinya Satria seperti menjawab doa-doanya selama ini. Tetapi, bersamaan dengan itu Satria juga mengingatkan pada kepedihan yang Arin lewati sendirian selama ini. Arin semakin kesal, apalagi saat mengingat Satria menyesali keputusannya untuk pulang. Malam ini Arin tiba di rumahnya, rumah bercat abu-abu dengan nomor B-13. Saat membuka pintu sebenarnya Arin tak berharap banyak, dia sudah siap kecewa jika Satria benar-benar meninggalkannya lagi. “Ah, anjiiirrr bisa gitu, ya? Keren kereeeenn!” Arin menautkan kedua alisnya. Itu benar-benar suara Satria dari lantai dua di kamar sebelah kamarnya. Meski kedua pintu kamar itu tertutup tapi Arin tahu jelas Satria menempati kamar yang mana, karena kamar Arin pun sengaja dikunci. Ada secercah kegembiraan di hati Arin mengetahui pria itu masih ada di rumah, tetapi rasa benci juga tak luput mendominasi. Arin bergegas mengunci pintu dan menuju kamarnya, ia tak ingin bertemu pandang dengan suaminya, jadi sebelum Satria menyadari kepulangan Arin, Arin cepat-cepat masuk ke kamarnya. *** “Kamu keren, kamu berharga, kamu sudah banyak membantu orang-orang. Kamu berhak mendapatkan banyak cinta, kamu dianugerahi rejeki yang berlimpah, kesehatan, keuangan, serta keluarga yang selalu mendukung kamu. Beristirahatlah Haezellya Karin Tsalis, agar besok kamu lebih siap menyongsong hari yang lebih cerah.” Gadis itu, Arin. Setelah selesai membersihkan diri dan menyalakan lilin aroma terapi, dia berbaring di ranjangnya setelah melakukan rutinitas tiap malam. Ya, memberikan afirmasi untuk dirinya sendiri. Arin menarik selimut dan mulai menutup mata, mencoba fokus pada suara hujan dan aroma Jasmin yang ia terima. Tetapi, detik berikutnya keningnya berkerut saat indera pendengarannya menangkap suara pria di kamar sebelahnya. “Faster Din! Ah, aduh … iya iya gitu! Good … good … faster Din, faster!” Mendengar itu sontak saja Arin membelalakan matanya, dia memang enggan bergerak mendekati tembok pembatas antar kamar, tetapi indera pendengarannya di pertajam untuk menyimak dan menebak hal apa yang terjadi di kamar sebelah. “Lo capek, Din? Mau di bawah aja? Sini biar gue terusin! Gaspol jangan setengah-setengah!” Lagi, Arin menaikkan sebelah alisnya. “Dia lagi ngapain sih? Dia bawa cewek lain? Atau lagi video call m***m? Gila kali ya ngelakuin itu di rumah gue!” Arin bangkit sembari meremas selimut di atas kakinya. Wajah Arin memerah, dadanya terasa sesak. Entah mengapa seolah ada luka yang menganga dan tersiram air garam di relung hatinya. Sepuluh tahun di tinggal suami dan tak ada komunikasi barang satu kali pun, tetapi saat pria yang sempat memiliki tempat di hatinya itu kembali, malam ini pria itu malah melakukan hal tak senonoh. Entah membawa wanita bisu atau melakukan video call jorok dengan wanita biadab. “Gue mau k*****s nih, Din! Ah Miya gue mainnya cantik banget, mulus … alus … ah, ga salah gue maen bareng kalian!” Cukup! Kali ini kedua mata Arin membola, dia menyibak selimut seraya bangkit dari pembaringan. Tanpa mengenakan sendal rumah atau sekedar mengikat rambut, Arin membuka pintu kamar dengan kasar. Dia harus menghentikan perbuatan suaminya yang tak senonoh seperti itu. Arin pikir, suaminya hanya bermain dengan satu orang, tetapi barusan ada nama wanita lain yang dia dengar. Bisa-bisanya suaminya melakukan hal seperti itu bertiga? Dia bahkan tak pernah sekalipun menyentuh Arin, istri sahnya. Tetapi pria itu malah berani melakukannya dengan wanita lain? Arin sampai di depan pintu kamar suaminya, sebenarnya ia sedang mengatur napas agar emosinya tak terlalu meledak saat nanti pintu terbuka dan ia mendapati kejadian tak bermoral di balik pintu, tetapi ucapan suaminya yang semakin menjadi-jadi membuat Arin harus menerobos pintu di hadapannya sekarang juga. “Gua mau selesai nih, Din! Miyaku bertahanlah!” Brakk “Ngapain lo, Bang Sat?!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD