5

1124 Words
Sudah tiga hari Satria berada di rumah istrinya, Arin. Hanya saja sepertinya Satria memiliki kemampuan lebih, yaitu berbaur dengan alam dan menjadi sosok yang tidak terlihat oleh Arin. Sebab, berkali-kali Satria mendekati Arin atau sekedar mengajak istrinya bicara, Arin selalu berpura-pura tidak lihat, tidak mendengar, dan tidak tahu apa-apa. Setiap harinya ketika Arin pergi bekerja, Satria selalu di kunci di dalam rumahnya. Meski Arin sudah bilang bahwa Satria dipersilakan untuk pergi tetapi Satria enggan keluar sebab dia takut tak bisa menginjakkan kakinya di rumah ini lagi. Dengan wajah murung, pria dewasa itu menatap keluar jendela, berharap ada seseorang yang mengetahui keberadaannya. Suatu waktu dia melihat seorang ibu-ibu bertubuh gempal menjinjing tas anyaman berisi beberapa sayuran hijau dan mungkin beberapa bahan makanan lain, dilihat dari penampilannya, ibu-ibu tersebut nampaknya pembantu dari rumah lain. Satria mengetuk jendela di hadapannya dengan cukup keras, berupaya agar ibu-ibu itu mengetahui keberadaannya. “Mudah-mudahan ibu-ibu itu gak tuli!” gumam Satria sambil terus mengetuk jendela. Beberapa ketukan mampu membuat langkah kaki ibu-ibu itu terhenti, kepalanya yang celingak-celinguk menoleh kesana-kemari membuat Satria tersenyum dan yakin bahwa ibu-ibu itu ngeh dengan suara ketukan jendela. Maka, Satria semakin kencang mengetuk jendela hingga ibu-ibu itu menoleh kearahnya. Awalnya sebuah ekspresi kaget muncul dari ibu itu, mata membola dengan mulut terbuka lebar tak lupa badan yang beringsut mundur, akan tetapi semuanya sirna saat Satria tebar pesona. Sebuah senyum muncul di wajah Satria yang cerah dan lambaian tangannya yang seolah menghipnotis ibu-ibu itu untuk mendekat. “Kok ada cowok ganteng di sana? Ngapain dia lambai-lambai tangan? Nyuruh aku kesana bukan, ya?” ucapnya bertanya-tanya. Meski ragu, ibu-ibu itu tetap saja mendekati Satria yang terkurung di dalam rumah langkah demi langkah. Ketika jarak mereka hanya di batasi oleh jendela, Satria mulai berbicara meminta pertolongan. “Tolong! Tolong keluarin saya!” pinta Satria, sayangnya kaca jendela rumah Arin cukup tebal sehingga suara Satria sulit di dengar, membuat ibu-ibu itu mengkerutkan keningnya. Sadar bahwa ibu-ibu itu tak menangkap maksud Satria, Satria berkata dengan lebih keras bahkan hampir berteriak, dia bahkan menggunakan gestur tubuh seperti tangan untuk memudahkan apa yang dia inginkan. “Tolong keluarin saya!” ulang Satria entah untuk yang keberapa kalinya. Sementara keadaan diluar? Meski sedang menebak-nebak, otak ibu tersebut berpikir keras. “Naon sih maksudnya teh? (Apa sih maksudnya?)” “Kamu manusia?” tanya ibu itu tetapi Satria yang juga tak mendengar hanya memasang wajah planga-plongo “Kamu manusia, bukan??” sekali lagi ibu itu bertanya tapi ekspresi Satria masih sama saja. “Kamu anak jin??” tebak ibu itu dan tak di sangka Satria malah mengangguk dengan cepat. Tentu saja hal itu membuat si ibu kaget bukan kepalang. “Kamu anak jin???” ulang si ibu memastikan, tetapi lagi-lagi Satria mengangguk dengan cepat seraya tersenyum mengembang. “Astagfirullah! Urang bisa nempo jin tengha poe kieu! (Aku bisa lihat jin siang hari gini)!” Terkejut? Pasti! Takut? Tentu saja! Tanpa pikir panjang ibu-ibu itu mengangkat tangannya dan mulutnya berkomat-kamit membaca surah Al-Qur’an yang dia ingat seadanya saja di dalam isi kepalanya. Alangkah terjekutnya ibu-ibu itu saat Satria malah mengetuk jendela dengan lebih cepat dan kasar, pikir ibu tersebut pasti Satria merasa panas saat dia membacakan doa. Sebab takut kerasukan, ibu-ibu itu ngacir entah kemana, ia bahkan tak peduli jika ada beberapa sayuran yang jatuh dari kantong belanjaannya. Satria mengkerutkan keningnya, bingung kenapa ibu-ibu itu berlari seperti itu? Seolah dia ketakutan melihat sesuatu. “Kenapa lari gitu sih? Apa dia mau cari bantuan? Padahal tadi dia nanya apa gue dikunciin? Memangnya gue salah kalau ngangguk-angguk gitu? Aneh nih warga komplek!” gerutu Satria yang ternyata salah menangkap pertanyaan ibu-ibu tersebut. Kendatipun begitu Satria masih berpositif thinking, barangkali beberapa saat lagi ibu-ibu itu akan datang membawa bala bantuan. Memang Satria sudah merencanakannya, jika Satria diketahui orang-orang komplek sini, maka mau tidak mau Arin pasti jujur dan memperkenalkan Satria pada warga bahwa dia adalah suaminya Arin. Sebab dia sangat ingin diketahui dan diakui statusnya sebagai seorang suami oleh Arin karena dia kesal saat ada pria lain yang berusaha dekat dengan istrinya. Selain itu pria bernama Cha Eunwoo juga masih lekat di kepala Satria. Sepertinya itu adalah saingan berat Satria, meski pun Satria tidak tahu yang mana orangnya, Satria tetap enggan mencari tahu, dia takut dia semakin merasa kesal pada pria itu. Padahal, jika Satria berlapang d**a sedikit saja untuk mencari tahu sosok Cha Eunwoo, dia pasti tak akan seperti ini. Toh pria itu adalah salah satu member grup Kpop juga actor yang digandrungi para remaja termasuk istrinya sendiri. *** Rumah Sakit Mayapada, Bogor Medical Center, lantai tiga. Arin sedang bekerja, seperti biasa dengan wajah datarnya ia menatap layar komputer. Dia sedang mencocokkan data pasien yang ditangani oleh Kaisar. Sementara teman perawatnya yang lain, Nur, dia aktif bolak-balik untuk memandu pasien yang akan berkonsultasi pada Kaisar. Ketika jemari Arin sedang aktif mengetik, fokusnya terpecah sebab ponsel yang ada di sakunya terus bergetar. “Ck! Ada apa sih?” keluh Arin. Buru-buru dia ambil ponselnya untuk menolak panggilan tersebut, namun ketika dia melihat nama sang penelpon, dia mengurungkan niatnya dan memilih untuk menerima panggilan saja. “Hallo, Pak RT, ada apa? Saya masih kerja ini pak, ada yang bisa saya bantu?” tanya Arin to the poin “Punten Neng Arin, saya dapet laporan dari Bu Parni.” “Iya, laporan apa?” Arin berusaha menyimak apa yang akan di sampaikan oleh Pak RT dengan jantung yang berdegup kencang. Arin takut dikira dia berzinah dengan menyembunyikan pria asing di dalam rumah. Kuku-kuku Arin sudah memucat, dia takut citra dirinya menjadi jelek di lingkungannya, dalam hati dia pun sudah habis mengumpat Satria yang ceroboh sehingga seseorang bisa menangkap basah dirinya. “Jadi gini, tadi Bu Parni liat ada cowok, ganteng, di dalem rumahnya Neng Arin,” ucap Pak RT menggantung ucapannya, tetapi hal itu berhasil membuat Arin membelalakan matanya. Mampus! Gue pasti bakalan kena fitnah perzinahan di kompleks! Gue pasti dapet gunjingan orang-orang, nih! Bang Sat emang, apa aja sih kelakuannya? Gumam Arin dan seketika dia merasa kepalanya berputar. “Halo Neng Arin, masih disana?” “Iya-iya pak, saya masih dengerin kok, jadi kenapa?” tanya Arin tergagap. “Itu, si Bu Parni liat cowok ganteng di rumah Neng Arin, terus dia coba ajak ngobrol soalnya si cowok itu ngetokin jendela rumah Neng Arin terus, tapi Bu Parni bilang kalo cowok itu bukan manusia, tapi jin! Boleh gak kalau pulang kerja nanti, Neng Arin ijinin tetangga kompleks buat datang ke rumah, sama saya juga mau bawa pak Kiyai buat rukiyah rumah Neng Arin! Sebagai RT yang bertanggungjawab, saya gak mau warga saya kena gangguan dari makhluk mana pun, jadi hayu kita rukiyah rumahnya, kita berantas makhluk lain supaya gak ganggu Neng Arin dan warga lainnya!” Mendengar penjelasan panjang dari Pak RT, membuat Arin mencelos. “Hah? Rukiyah???”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD