6

1915 Words
Arin tak habis pikir, hal apa yang dilakukan oleh Satria sehingga Bu Parni mengira dia adalah jin yang bersemayam di rumah Arin sehingga kompleks warga sana merepotkan Arin. Arin tahu betul bahwa pak RT di tempatnya tinggal sangat haus akan pujian, jadi dia bertingkah loyal bagi warganya supaya pemilihan nanti dia bisa menang secara mutlak. Jadi, meski tadi di telpon Arin sudah menolak rencana para RT yang mengundang beberapa warga dan juga kiyai untuk merukiyah rumah Arin, Arin tahu betul bahwa Pak Sukardi, pria berusia empat puluh delapan tahun yang sudah tiga periode menjabat sebagai RT itu akan bersikukuh untuk membasmi makhluk-makhluk ghaib di rumah Arin. “Mbak Arin mau kemana? Buru-buru banget?” “Berisik!” jawab Arin ketus seraya mengambil ranselnya. Nur yang sudah biasa diperlakukan seperti itu oleh seniornya hanya mampu mengkerucutkan bibir seraya dalam hati mengumpat berharap Arin suatu saat mendapat sial. “Kenapa perawat Arin? Kayanya buru-buru banget?” pertanyaan Kaisar membuat Nur terkesiap dan dalam sekejap mata mengubah ekspresi wajahnya menjadi Nur versi imut. “Gak tahu dokter, mungkin Mbak Arin kebelet poop!” ujar Nur dengan nada manja. Kaisar tersenyum kaku dan berusaha melipir menjauhi Nur yang bertingkah absurd di matanya. “Dokter Kai cari apa?” “Oh … saya lagi nyari pas poto, kayanya jatoh deh, ilang satu soalnya. Gak tahu ilang dimana,” jelas Kaisar lagi-lagi merasa canggung kala Nur menempel padanya. “Yuk, Nur bantu cariin!” “Gimana kalau kita berpencar? Siapa yang dapet duluan, dia yang beruntung! Kamu cari di sini, saya cari di sana. Bye Nur! Good Luck!” Dan lagi-lagi Nur ditinggal oleh dokter pujaan hatinya. Sebenarnya hal yang mereka cari tak akan ketemu meski mereka mencari di seluruh penjuru rumah sakit. Pasalnya pas poto Kaisar yang terjatuh itu ditemukan oleh Arin. Awalnya Arin akan segera memberikan pas poto itu pada Kaisar, hanya saja telpon dari pak Sukardi terus berdering. Khawatir pas poto itu jatuh dan hilang lagi, maka Arin menaruh pas poto Kaisar di belakang ID cardnya. Bukan ada maksud tersembunyi, bagi Arin, Id card itu selalu dia bawa setiap kali dia kerja, dan dia pasti tak akan lupa untuk memberikan pas poto Kaisar jika dia melihat bagian belakang ID Cardnya. Rencana yang sempurna. *** Ketika semua orang terburu-buru, baik itu Pak RT dan beberapa warga lainnya yang terburu-buru untuk menjalankan aksinya maupun Arin yang terburu-buru untuk pulang, satu-satunya orang tersantai dimuka bumi adalah Satria. Ya, bosan menunggu Arin pulang, Satria tak ubahnya anak bujang pengangguran. Sehabis makan dia main game lalu tertidur dengan nyenyak di sofa. Entah mengapa tertidur dari waktu ashar sampai magrib begitu terasa nikmat padahal Satria tak sengaja. Saat pria itu sedang asyik menjelajahi alam mimpinya, Arin masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu rumahnya. Ditutupnya semua gorden sehingga tak ada seorang pun yang bisa melihat isi rumahnya. Dan begitu dongkolnya hati Arin tatkala menemukan Satria yang tidur layaknya bayi yang tidak berdosa. “Wah … ga beradab!” Arin menggelengkan kepalanya lalu beralih ke ujung kaki Satria yang berselonjor ria. Pada hitungan ketiga, ia menarik jempol kaki kanan Satria sehingga dalam hitungan detik berhasil membuat Satria terbangun. “Astagfirullahaladzim!” pekik Satria dengan mata terbuka, nampaknya ia terkejut sebab dibangunkan dengan cara tak lazim. “Arin! Kirain aku mau di cabut nyawa! Tahunya kamu?” “Masih untung sama gue kan? Atau mau gue minta malaikat Izrail yang ngelakuinnya langsung?” Satria semakin membulatkan matanya mendengar hal tersebut. Buru-buru dia menggelengkan kepalanya sambil mengontrol kesadaran yang masih belum kembali sepenuhnya. “Bang Sat! Gue mau bicara sama lo, penting!” “Apa?” Arin melihat pada gorden jendela depan sebelum dia memulai pembicaraan, memastikan bahwa pasukan Pak RT belum tiba. “Apa sih, kamu terpesona sama aku makanya gugup gitu, ya? Kiw!” goda Satria seraya mengedipkan sebelah matanya. “Belom pernah ngerasain bogeman godzila, ya?” tanya Arin seraya menunjukkan kepalan tangannya. “Sorry, jadi mau bicara apa?” “Hah …,” Arin menghembuskan napasnya yang berat sementara Satria sudah mulai kesal sebab Arin belum juga bicara. Baru saja Satria membuka mulutnya untuk nyinyir, untungnya Arin segera menyela Satria dan menyampaikan pokok pembahasan. “Gue gak tahu lo ngapain aja di rumah, tapi gue dapet telpon dari pak RT kalo lo gangguin tetangga kompleks sampe dia ngira lo anak jin. Pertanyaannya, itu anak orang lo apain?” Perlu beberapa detik bagi Satria untuk mencerna kalimat dari Arin, terlebih lagi dia merasa tidak mempermainkan seseorang, jadi bagaimana bisa dia menerima tuduhan tersebut? “Anak jin? Muka kaya aku mah lebih cocok jadi sugar daddy kali!” “Bang Sat!” pekik Arin geram. “Iya-iya papa Jin aja, gimana?” “Satria Bayanaka! Serius dong!” “Serius band udah bubar sayang ….” Merasa dipermainkan, hidung Arin sudah kembang kempis menahan emosi. Pada akhirnya sifat menjengkelkan Satria muncul lagi. Satu-satunya hal yang bisa Arin lakukan adalah menggiring Satria ke jalan yang benar seperti dulu. Dengan kasar dia melemparkan tasnya lalu melompat ke arah Satria. Bukan untuk bergelayut manja di pangkuan suaminya, tetapi Arin mengalungkan tangannya ke leher suaminya itu, memiting batang leher suaminya sehingga wajah Satria memerah sebab kesulitan bernapas. “Aaak ampun-ampun Rin! Uhuk-uhuk!” “Gara-gara elo nakutin Bu Parni, semua warga nyangka lo anak jin! Jangan sampe mereka ngira gue punya pesugihan! Bentar lagi pak RT, warga sama pak kiyai datang ke rumah ini, lo mau apa? Hah? Lo cuma bisa bikin kacau, bang Sat!” “Aw! Le-lepasin aku dulu! Uhuk-uhuk!” Arin masih saja dengan kuat mencengkram leher Satria sebab dia kesal, pria yang berada dalam kendalinya itu tidak pernah serius jika menghadapi masalah genting. Sementara itu, Satria berupaya meloloskan dirinya, namun apa daya? Sepertinya Arin memang titisan godzila, terbukti dari kekuatan tangan yang dia miliki sekarang. “Okey gue lepasin lo, tapi janji lo bakalan serius dan gak akan bercanda lagi!” titah Arin yang disambut dengan acungan jempol dari Satria.  Sejurus kemudian Arin melonggarkan tangannya dan melepaskan Satria dari jeratan pitingan lehernya. Beberapa kali Satria terbatuk sambil mengelus lehernya yang sakit, sementara itu Arin memalingkan wajahnya ketika ia melihat Satria kesakitan. Arin mencoba untuk tidak peduli. Bodo amat! Begitu prinsip Arin. “Jadi kenapa, Rin?” “Terlepas dari apa yang udah lo lakuin seharian ini, bentar lagi orang-orang bakal ke sini, dan gue gak bisa nyembunyiin lo terus! Gue bingung mau ngenalin lo sebagai apa!” “Ya sebagai suami kamulah!” “Mereka tahunya gue lajang, gopuuuurr!” geram Arin membuat Satria terhenyak. “Kenapa sih kamu nyembunyiin status pernikahan kita?” “Emangnya lo ngga? Lo pikir dong, penganten baru langsung lo tinggal pergi sepuluh tahun, bang Toyib aja cuma tiga, tahun nah lo siapa? Oh, ya gue lupa kalo lo itu Bang Sat, seniornya bang Toyib!” Ketika Arin menyenggol kesalahan Satria, pria itu tak mampu lagi berkutik atau melakukan pembelaan sebab memang begitu faktanya. “Oke, fine. Aku tahu kamu kecewa tapi tolong kali ini fokus sama solusi! Kamu lagi bingung kan mau anggap aku apa di depan warga? Bilang aja kalau aku kakak sepupumu lagi? Gampang kan?” Wajah Satria yang serius membuat Arin bungkam. Memang ada ekspresi kecewa di balik wajah datarnya dan membuat Arin sedikit menciut melihat Satria seperti itu. Tetapi mau bagaimana lagi? Saran dari Satria ada benarnya juga, mereka tak bisa mencari alasan lain sekarang, apalagi waktunya sudah mendesak. Orang-orang tahunya Arin pulang setelah magrib seperti hari-hari biasanya, mereka tidak tahu bahwa Arin pulang cepat untuk menyusun strategi bersama Satria untuk memperdaya para warga. *** Waktu menunjukkan pukul setengah delapan malam, saat itu Arin dan Satria sedang makan. Meskipun Arin makan dengan tenang, namun pikirannya sangat ramai dengan beberapa tebakan dan kemungkinan yang akan terjadi jika rombongan pak RT datang kemari. Sedangkan Satria, tanpa ia sadari sudah bersin beberapa kali. Dan kali terakhir ia bersin, Arin menanggapinya. “Bang Sat lo bersin-bersin mulu daritadi?” “Ciee perhatian!” “Cih! Najis!” cibir Arin membuat Satria manyun. Saat keduanya sedang terlibat pertengkaran kecil, bel rumah berbunyi, tak lama suara teriakan salam saling bersahutan dari luar. “Mampus mereka udah datang! Bang Sat, lo paham kan apa yang udah kita rencanain?” tanya Arin memastikan bahwa suaminya itu tak akan berulah. Satria mengangguk dengan pasti sedikit membuat hati Arin lega. “Kalo gitu biar gue yang hadapi mereka, lo mending ke kamar dulu pake masker!” titah Arin sebab tak mau Satria yang mulai terserang flu, malah bersin-bersin tak jelas di depan warga dan menghancurkan rencana mereka nanti. Arin bergegas keluar meninggalkan Satria yang kebingungan, namun dia memilih untuk masuk ke dalam kamarnya dan mencari masker seperti yang Arin katakan. “Si Arin tuh, emang suka aneh-aneh aja! Bikin surat perjanjianlah, bikin startegilah. Kenapa cewek-cewek selalu membuat hidup mereka rumit?” ujar Satria bermonolog ria tanpa ia tahu betapa kesulitannya Arin menghadapi segerombolan orang yang bersikukuh masuk ke dalam rumahnya. “Tadi itu Neng, pas saya pulang belanja ada yang ketok-ketok jendela Neng Arin dari dalem rumah. Saya lihat dari jauh, eh, kok ganteng? Terus saya samperin kan? Saya liat dia kaya yang kekurung gitu. Tapi saya pikir kan Neng Arin sendirian di rumah, terus cowok itu siapa? Kalo maling kan gak mungkin muncul siang hari, saya tanya dia manusia atau bukan, tapi dia hah-heh-hoh aja Neng kaya balap keong! Pas saya tanya kamu jin? Dia ngangguk Neng! Emang saya mah orangnya bisa liat gitu! Makanya buru-buru saya baca doa, eh dia malah kaya kepanasan gitu! Saya takut kesurupan, makanya saya lari aja langsung lapor pak RT!” papar ibu-ibu bertubuh gempal, saksi mata tadi siang, Bu Parni namanya. Beberapa orang yang menyimak mengangguk menanggapi, kemudian Pak RT memulai aksinya supaya bisa masuk ke dalam rumah Arin. Namun, tentu saja Arin paling tidak suka jika ada orang yang sembarangan masuk ke dalam rumah. Si wanita higenis itu takut kalau orang-orang yang masuk membawa bakteri atau virus dari luar. “Gak apa-apa atuh neng, kita bacain rumahnya, ini pak Kiyai emang udah biasa nangkep roh-roh gitu ini mah!” bujuk Pak Sukardi selaku RT di sana berulang kali. “Iya Pak, saya tahu, saya paham banget kalau pak RT sangat peduli sama warga sini. Tapi, ada yang perlu saya jelaskan. Bahwa pria yang di lihat Bu Parni itu kakak sepupu saya yang datang dari luar kota. Saya memang belum sempat lapor karena sibuk kerja dan lagi awalnya dia hanya mau nginap satu dua malam saja. Tapi karena belum sempat bilang jadinya malah kaya gini. Bapak-bapak sama ibu-ibu semua kalau mau saya kenalin sama kakak saya boleh kok!” “Oh boleh boleh, lagian kami juga penasaran!” “Okey ya? Saya panggilin ya? Bang! Bang Sat! Sini Sat!” teriak Arin memanggil Satria tetapi sekelompok orang itu saling bertatapan satu sama lain, salah fokus dengan nama panggilan yang di sebut oleh Arin. Beberapa saat kemudian, terdengar suara langkah kaki menuruni tangga. “Sabar ya Pak, Bu, maklum, kakak saya ini orangnya pemalu!” ujar Arin sambil tersenyum canggung, untungnya para warga masih menanggapi dengan ramah. “Iya-iya gak apa-apa kok, kita maklum, cowok jaman sekarang kan rata-rata pema – astagfirullahaladzim!” Kalimat istigfar tidak hanya keluar dari mulut pak RT tetapi warga lain juga secara bersamaan beristigfar. Arin yang ikut terkejut secara spontan membalikkan tubuhnya dan ikut terbelalak ketika Satria muncul di belakangnya dengan wajah menggunakan masker animal versi panda. Kacau sudah, malu dan jatuhlah harga diri Arin seketika! Arin hanya mampu mengepalkan tangannya, berusaha untuk menahan diri agar tidak melompat dan memiting leher Satria dia depan orang ramai. Bang Sat! Kenapa lo Sukanya malu-maluin gue???
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD