PROLOG : Mawar yang Rapuh
Mata itu menatap tajam. Senyumku terhapus seketika. Dia mendorongku hingga terjatuh sambil berkata dengan lantang. "Aku benci kamu! Kita putus!"
Aku hanya diam membatu mendengar itu, tak ada yang sanggup untuk aku ucapkan. Aku pun tak mampu bergerak, tubuh ini rasanya seperti tersambar petir dan mati seketika.
Ben, aku hanya jatuh di hatimu.
Tapi kamu malah menghancurkan cintaku. Cinta pertamaku.
Kau menjatuhkan aku hingga tak mampu bergerak untuk memilih cinta yang lain.
Aku yang tak begitu mengerti bagaimana caranya jatuh cinta, akhirnya terjatuh padamu. Dan aku tak bisa bangkit lagi untuk memilih yang lain. Tak ingin dan tak bisa.
Karena aku begitu rapuh...
Seperti mawar indah yang akan hancur sekali kau genggam.
Dan aku hanya menunggumu membawa serpihan-serpihan mawar itu...
Seperti mawar yang durinya melukaiku sendiri...
Aku begitu sakit saat tahu kau kembali pada mantanmu...
Kutahu kau bukan milikku lagi
Entah mengapa aku tetap menanti...
___
Angin sampaikan pada embun pagi aku butuh kesejukan...
Angin...
Aku jatuh dan bangun pada cinta dengan orang yang sama...
Angin... sampaikan padanya....
-Billa
❤
Masih saja, setiap kali Billa membuka kedua kelopak matanya, yang pertama kali direspon oleh otaknya adalah tentang dia. Dia, seseorang yang telah mencampakkan Billa dengan kata-kata yang begitu kejam. Walau pun hingga kini rasa sakit itu masih tertinggal bersemayam di dalam ingatan. Namun tetap saja ia tak dapat menggantikan, tak dapat melupakan cinta pertama yang membuatnya patah hati, dan juga untuk yang pertama kalinya.
Bukan untuk sembarang hati. Sejak awal Billa memberikan hati, ia tak sekali pun berniat untuk meminta lagi. Tak pernah merasa pergi, yang ia rasa adalah cinta sejati. Tapi ia justru dikecewakan oleh dia si kekasih hati.
Selalu saja hatinya mulai berkata lirih, saat mengingat seseorang yang sangat berarti namun telah melukai hatinya dengan begitu dalam.
Billa perlahan mulai membuka kedua kelopak mata, meregangkan otot yang kaku, lalu memijakkan kedua kaki mencari sandal tipis miliknya tanpa melihat. Mengembus napas yang masih terasa berat sambil berjalan menuju ke kamar mandi. Rutinitas pertama yang selalu dilakukan oleh Billa setiap kali ia terbangun pagi dari tidur adalah, masuk ke kamar mandi. Nggak perlu dijelaskan apa yang dia lakukan di sana, tapi tentu saja semua makhluk yang berjenis manusia pasti tahu.
Setelah shalat subuh Billa segera bersiap diri untuk pergi ke kampus, tentunya setelah sarapan bersama dengan keluarga tercinta. Sebelum keluar dari dalam kamar, ia berdiri di hadapan cermin yang menempel di lemari besar untuk meneliti kembali keadaan dirinya lewat cermin di sana.
"Cerah banget hari ini," kata Billa ketika membuka gorden berenda bermotif bunga yang melapisi kaca jendela kamarnya. Relaks sejenak untuk melegakan syaraf-syaraf tubuh yang kaku akibat tidur semalam.
Hari ini Billa terbangun sedikit kesiangan karena semalam ia mengerjakan tugas sampai tengah malam bahkan sepertinya hingga menjelang subuh. Billa mengernyitkan mata ketika menyadari ia hanya tidur tidak lebih dari dua jam saja.
"Billa ...!" suara Ibu terdengar dari balik pintu kamar Billa.
"Iya Bu?" sahutnya lalu beranjak menepis lamunannya, pintu terbuka dan Ibu masuk lengkap dengan daster yang sudah jadi seragam militernya.
"Kesiangan ya?" tanya Ibu yang selalu penuh dengan sikap kelembutan.
"Hh..., iya Bu. Tadi abis subuhan aku tidur lagi sebentar, capek soalnya semalem ngerjain tugas," jawab Billa lalu duduk di pinggir tempat tidur, matanya masih terasa berat. "Maaf ya Bu, aku nggak bantu-bantu Ibu di dapur," sesal Billa.
"Ibu nggak pernah minta bantuan kamu. Tugas kamu itu, ya kuliah, ya belajar," kata Ibu, membelai kepala putrinya.
"Bantuin Ibu kan kewajiban aku juga selain belajar," katanya sambil kuap. "Udah ah Bu, aku siap-siap mau ke rumah Andini."
"Iya. Sarapan dulu, Kakak udah nungguin, makanya Ibu ke sini," pinta ibu memberitahu.
"Aku make -up bentar aja, oke. Ibu duluan aja," Billa mencium pipi Ibu sekilas sambil menuju ke meja rias.
"Hm..., anak Ibu yang satu ini paling bisa kalau ngerayu. Selalu saja ada alasan buat malas sarapan. Janji dulu sama Ibu, sarapan walau sedikit, itu harus sayang ...!" tutur ibu mengingatkan.
Billa menatap Ibu dari balik cermin. "Billa janji akan sarapan, Ibu aku yang tersayang ...!" sahut Billa dengan sikap manja.
"Ibu tunggu!" ancamnya.
"Oke," balas Billa lalu menyalakan televisi yang menayangkan acara musik live. Billa meninggikan volume televisi agar dapat ia dengarkan hingga ke dalam kamar mandi.
Bergaya casual itu adalah hal paling nyaman bagi Billa. Dia tidak suka berdandan berlebihan hanya untuk kegiatan sehari-hari. Meneliti wajah untuk memberi sedikit sapuan make -up saja. "Tinggal pake sepatu cats." Menyisir rambut, menatanya sebaik mungkin tanpa harus mengikat. Setiap kali melihat bulu matanya yang tebal dan lentik, Billa selalu bersyukur. Banyak yang iri dengan bulu matanya lebat dan lentik karena tidak perlu repot pakai bulu mata palsu.
"Oke Billa, kita berangkat!" katanya pada diri sendiri di balik cermin. Billa kemudian mengambil tas, kemudian ia mematikan televisi sebelum pergi. Billa menuruni tangga dengan berlari kecil. Setelah ke rumah Andini, ia akan mampir ke toko buku untuk berburu beberapa buku.
"Cerah banget hari ini!" kata Kakak menyudahi sarapan.
"Iya. Hari ini langitnya cerah!" balas Billa sambil duduk.
"Siapa yang bilang langit? Bukan langit, tapi kamu yang kakak maksud," ujar Kak Anisa, lalu membawa piring kotor ke dapur.
"Aku? Ada yang salah dengan dandanan aku, kak? Terlalu mencolok, ya?" tanya Billa, menambah volume suara karena Kak Anisa berada di dapur kotor.
"Nggak sih!" balasnya agak teriak melawan suara blender di dapur yang selalu sibuk.
"Kakak mah gitu, sarapan duluan!" protes Billa sebelum memulai suapan pertama.
"Hehe, maafkan kakakmu yang jelita ini, adik. Kakak harus buru-buru cek pesanan online. Heh, soal tadi, jangan heran gitu, kakak masih sering kagum dengan penampilan kamu, selalu aja pandai dalam berpenampilan sederhana, " katanya kemudian menggigit apel di tangannya.
"Heh ..., kakak selalu berlebihan deh! Aku bisa diabet gara-gara kelebihan kata-kata manis kakak," sahut Billa dengan nada bercanda.
"Yah ni anak, dipuji bukannya bilang terima kasih yang ada malah protes!" sahut Anisa.
"Makasih kakak ...!" Billa meminum air putihnya sebelum ia lanjut bicara. "Penampilanku selalu begini, casual. Buat aku yang penting warnanya oke, nyaman. Kita berdua emang udah ditakdirkan cantik," kata Billa mendekatkan wajah pada sang kakak semata wayang. "Warisan mutlak Ayah sama Ibu." Mengarahkan kamera handphone. "Pagi ...!" ucapnya pada kamera.
Ckrek!
Postingan pertama di i********: hari ini. Billa dan Kak Nisa baru selesai sarapan.
Kemudian dua gadis kakak beradik itu tertawa menggema menghiasi pagi.
"Harus aku akui, aku adalah Kakak paling beruntung!" seru Anisa.
"Aku juga ... terpaksa, jadi adik paling beruntung!" balas Billa.
"Udah ah, Kakak mau cek dulu pesanan katring online pagi ini," kata Anisa.
"Ya..., aku sarapan sendiri nih! Ibu..., Ayah..., ayo sarapan!" ucap Billa dengan sedikit berteriak.
"Duluan aja sayang, Ibu nunggu Ayah pulang joging!" teriak ibu dari dapur.
"Ibu ...!" Billa menghampiri dapur yang selalu ramai dengan ibu-ibu tetangga yang sudah jadi pegawai masak di usaha katring ibu.
"Iya sayang?" sahut ibu masih dari dapur.
"Mau minta disuapin ya?" goda Tante Nina yang sedang membuat rolade.
"Tante ada-ada aja, emangnya aku ini masih bayi! Ibu ayo sarapan...!" rengek Billa.
"Iya, sebentar ya aku tinggal dulu!" katanya pada lima orang ibu-ibu pegawai katringnya ibu.
"Itu ayah!" seru Billa bersemangat.
"Pagi..., Princess Ayah udah bangun!" ucap ayah yang baru saja pulang.
"Udah dong yah! Ayah joging sendirian aja!" tegur Billa.
"Iya." Ayah mencium pipi kedua putrinya secara bergantian sebelum akhirnya ia duduk di kursi makan.
"Hm, Ayah sekarang udah punya dua gadis cantik, pipi kanan buat Kakak, pipi kiri buat Adek, lupa sama pipi Ibu!" kata ayah.
"Cie Ibu cemburu!" ledek Billa.
"Pipi Ibu kan cuma buat di kamar," bisik ayah yang sengaja ingin menggoda ibu. "Ayahkan pemalu, di depan anak ibu yang sudah pada gede masak mau cium pipi ibu," rayu ayah.
"Nasib Ayah, jadi orang paling ganteng di rumah!" kata Kak Anisa. Kemudian ia kembali ke hadapan laptopnya yang sehari-hari selalu bersama dengannya.
"Ayah, aku pinjem mobil ya," kata Billa.
"Masih terlalu pagi untuk pergi ke kampus, kamu mau ke mana sayang?" tanya ayah.
"Ke rumah Andini, terus ke toko buku, habis itu baru deh ke kampus bareng dia," jawab Billa bernada merayu.
"Iya. Tapi habiskan dulu sarapannya," balas ayah meminta.
"Siap Ayah!" sahut Billa.
Setelah sarapan Billa langsung pamit pada kedua orang tuanya.
"Kakak nebeng dong!" kata Anisa merayu Billa.
"GPL, Kak!" ucap Billa.
"Oke, sebentar Kakak ambil dompet dulu, " balasnya lalu menghambur ke kamar.
Tak berapa lama kemudian kak Anisa sudah ada di samping Billa.
"Buruan Kak..., aku tuh banyak tugas. Ngejar waktu!" ucap Billa dengan manja dan bernada protes.
"Sabar dong...! Kakak jadi curiga nih, kamu itu mau ngerjain tugas, apa mau kencan, hm?" sempat-sempatnya Anisa menggoda adiknya.
"Tugas aku banyak Kak, makanya ngeburu waktu. Malah dibilang kencan! Kencan apa-an?!" protes Billa, menutup pintu mobil dengan sedikit kesal.
"Ya kali aja Adik aku yang tercantik ini udah nggak jomblo lagi!" tatapan Anisa menggoda, lalu memakai sabuk pengaman. "Udah enggak, apa masih?"
"Pertanyaan yang lebih menjurus ke sindiran deh!" Billa memakai kaca mata hitam dan mulai menjalankan mobilnya.
"Astaga!" ucap Anisa dengan ekspresi terkejut.
"Kenapa lagi? Ada yang tinggal?" selidik Billa.
"Dek, ini hari Minggu ya?" tanya Anisa tiba-tiba.
"Iya Kakak aku sayang...!" jawab Billa.
"Aduh, ada acara fenomenal cetar membahenol!" seru Anisa sambil bercanda.
"Apa-an?" tuntut Billa tak mengerti hingga membuat keningnya berkerut.
Anisa tersenyum tak jelas. "Ehm, ada acara kesayangan semilyar umat, First Love is Unforgettable, Boleh puter balik nggak?" rayu Anisa dengan wajah paling memelas yang ia bisa di sepanjang sejarah hidupnya.
"Nggak! Kakak..., udah dong..., apa-an sih, acara norak gitu doang, ah!" rajuk Billa sewot.
...
***