Part 2 b***k Cinta

1107 Words
Part 2 b***k Cinta “Diana!” Seseorang memanggil wanita yang sedang asyik memilih-milih sepatu yang ada di hadapannya. “Denny? Ya, ampun ... kemana aja selama ini? Sudah lama sekali ya, kita gak ketemu!” Diana berseru kaget begitu dilihatnya seorang pria tampan tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya. Mantan pacar Diana tujuh tahun yang lalu sebelum menikah dengan Reynaldi. “Aku pulang ke Balikpapan begitu lulus kuliah dulu, tapi setahun terakhir ini aku tinggal di Samarinda lagi karena kerjaan,” jawab Denny sembari menyodorkan tangannya mengajak Diana bersalaman. Mata bermanik hitam itu menatap tajam wajah wanita yang sangat ia cintai dulu. “Kamu sama siapa, Den? Kok sendirian?” Diana bertanya begitu dilihatnya tidak ada orang lain bersama Denny. “Aku memang masih sendiri, belum punya pendamping sejak seseorang tiba-tiba memutuskan hubungan kami karena tertarik dengan pria lain.” Denny menjawab sedikit ketus. “Hm … maaf ya, Den, kalau yang kamu maksud itu aku.” Diana menatap dengan rasa bersalah laki-laki yang tampak semakin tampan dan mapan. Sangat jauh berbeda kala masih menjadi pacarnya dulu. “Mama …!” Terdengar teriakan dua anak kecil yang berlari datang menghampiri Diana dan Denny yang masih berdiri saling bertatapan. “Eh, Tian, Kevin, kalian kok berdua? Mbak Sinta dan Mbak Ella mana?” tanya Diana kepada kedua anaknya yang berusia enam tahun dan lima tahun. “Tuh!” Si sulung Tian menunjuk dua orang babysitter yang berjalan dengan kepala mencari-cari. Sinta mendorong trolly Kellan--anak ketiga Diana yang berusia satu setengah tahun. Balita laki-laki itu duduk di trolly-nya. Sedangkan Ella mendorong troly Jane—si bungsu yang baru berusia enam bulan. Bayi cantik itu tampak tidur pulas dalam trolly-nya. Diana melambaikan tangan begitu melihat kedua babysitter itu datang mendekat ke arah mereka. “Maaf, Bu. Tadi Tian dan Kevin tiba-tiba saja lari, untung kami gak kehilangan jejak.” Sinta langsung minta maaf begitu tiba di hadapan Diana. “Gak apa-apa, mungkin karena mereka lihat saya.” Diana tersenyum memaklumi pengasuh anak-anaknya itu. Tadi ia memang meninggalkan mereka sebentar di arena bermain anak-anak yang tidak terlalu jauh dari tempat ia memilih-milih sepatu. “Ini anak kamu semua, Diana?” tanya Denny dengan wajah tak percaya. Matanya menatap heran wanita cantik dan langsing yang bediri di hadapannya itu. Wajah yang tidak banyak berubah dari ketika masih menjadi kekasihnya tujuh tahun yang lalu. Malah tampak lebih cantik dan seksi saat ini. “Iya, Den.” Diana menjawab sedikit tersipu malu karena kepergok Denny ternyata ia terlalu subur. “Hm ... produktif sekali, ya?” gumam Denny. Diana mendengarnya, membuat ia semakin malu. “Mama? Tian lapar,” rengek gadis ciliknya. “Kevin mau makan pizza, Ma!” teriak Kevin tak mau kalah dari sang kakak. “Iya, ya, Sayang. Ayuk, kita makan pizza.” Diana menenangkan kedua anaknya sembari menggandeng tangan mereka. “Den, aku pamit dulu ya, mau ajak anak-anak makan siang dulu,” ucap Diana kepada pria yang masih berdiri bengong. “Oh, hm … Diana, boleh aku yang traktir kalian makan pizza?” tanya Denny penuh harap, meski masih ada kekesalan di hatinya terhadap Diana, tapi rasa ingin tahu tentang kehidupan mantan pacarnya itu cukup besar. “Rame begini, Den?” Diana tertawa kecil. “Gak apa-apa, gak bakalan bikin aku bangkrut, kok,” jawab Denny ikut tertawa. “Ya, udah, ayuk.” Diana langsung berjalan bersama kedua anaknya. Diikuti oleh kedua babysitter yang mendorong trolly bayi. “Suamimu kok gak ikut nemenin, Diana?” tanya Denny yang duduk di hadapan sang mantan begitu mereka tiba di restoran pizza. “Lagi mancing dia,” jawab Diana santai. Ia sibuk menyuapi Kellan yang duduk di kursi khusus anak-anak. Tian dan Kevin yang sudah bisa makan sendiri duduk bersama kedua babysitter di meja sebelah mereka. Sang adik bayi masih tertidur pulas di trolly-nya. “Kamu bahagia menikah dengan laki-laki itu, Diana?” tanya Denny pelan. Matanya tiada lepas menatap wanita yang namanya masih awet di hatinya, meski sudah tak terhitung entah berapa orang wanita cantik yang sudah dipacari dan dikencaninya selama tujuh tahun terakhir ini. Wanita-wanita itu hanya sekedar mampir mengisi kekosongan hatinya setelah ditinggal kawin oleh Diana, cinta pertamanya. Diana menatap Denny sejenak, ia tak menjawab, malah kemudian kembali asyik menyuapi anaknya. Sesekali potongan pizza itu juga masuk ke mulutnya. Tidak luput dari perhatian Denny yang lebih tertarik memperhatikan Diana daripada menghabiskan potongan pizza di piringnya. “Aku langsung pulang dulu ya, Den. Anak-anak udah pada ngantuk, nih.” Diana langsung pamit begitu makanan mereka sudah habis semua. “Aku antar, ya?” Denny masih berat melepas Diana pergi. Ia masih menyimpan rindu yang mendalam untuk wanita cantik di hadapannya itu. “Gak usah deh, tadi aku bawa mobil sendiri. Makasih ya, Den, atas makan siangnya.” Kali ini Diana yang duluan mengajak bersalaman. “Sebentar, tolong tulis nomor Hp-mu dulu.” Denny malah menyodorkan ponselnya ke tangan Diana. Diana menatap ragu benda pipih yang berpindah ke tangannya. Namun, nomor ponselnya tetap diketik, lalu diserahkan kembali ke pemiliknya. Kemudian terdengar suara nyanyian sang juara Indonesian Idol yang lagunya sangat disukai Diana. Itu suara dering ponsel Diana dari dalam tas selempang miliknya. “Itu nomorku.” Denny mematikan ponselnya, lalu menyodorkan tangannya untuk bersalaman. “Hati-hati di jalan,” ujarnya lagi sambil menggengam erat tangan halusnya Diana. Senyum di wajah tampannya tampak sangat mempesona. Diana menganggukkan kepalanya dengan rasa haru, melihat perhatian kecil dari Denny, mantan pacar yang begitu menggilainya dulu. *** Diana baru saja akan merebahkan tubuhnya di pembaringan berukuran besar yang ada dalam kamarnya, ketika ponselnya di atas nakas berbunyi. Dilihatnya jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. “Mungkin Mas Rey yang telpon,” pikir Diana buru-buru mengambil ponselnya. Namun, ternyata itu panggilan dari Denny, sang mantan yang siang tadi ditemuinya di mall. “Hallo ... ada apa telpon malam-malam, Den?" tanya Diana pelan. “Iseng aja! Hm ... aku tebak pasti suamimu belum pulang, 'kan?” “Kok, kamu tahu?” tanya Diana seperti orang bodoh. “Ya, tahulah. Kalau ada suamimu, mana berani kamu mengangkat teleponku, iya, 'kan?” “Kamu mau apa, Den? Mau terus mengejekku?” tanya Diana ketus ketika terdengar Denny tertawa geli. “Maaf, Diana. Aku tidak bermaksud begitu, aku hanya ingin ngajak kamu bertemu lagi besok siang, bisa 'kan?” “Buat apa, Den? Aku tuh udah istri orang dan sudah punya banyak anak. Kenapa kamu masih mau menemuiku?” “Karena aku tahu, kamu gak bahagia, Diana.” “Siapa bilang? Aku bahagia, kok!” “Jangan bohong! Aku sangat mengenal dirimu. Dua tahun lamanya kita dulu pacaran, sebelum kamu pergi dengan laki-laki itu.” “Denny! Itu sudah masa lalu. Untuk apa diungkit lagi!” “Aku tidak pernah bisa melupakan hal itu.” “Eh, Den, udah dulu, ya? Sepertinya suamiku pulang.” Diana ingin memutus pembicaraan mereka begitu didengarnya pintu kamar dibuka dari luar. “Ok, pokoknya besok jam satu siang, aku tunggu kamu di kafe depan pintu masuk mall tadi.” Denny langsung menutup pembicaraan mereka sebelum Diana sempat menjawabnya. Bersamaan dengan pintu kamar yang terbuka. Diana buru-buru menyelipkan ponselnya ke bawah bantal di samping ia duduk. “Kok belum tidur?” tanya Reynaldi yang melihat sang istri masih duduk di ranjang mereka. “Nungguin kamu, Mas. Kok mancing ikan sampe malam begini. Cantik gak ikannya?” sindir Diana dengan hati cemburu. Jangan-jangan suaminya bukan memancing ikan, tapi memancing wanita cantik. “Ngawur kamu! Udah, tidur aja duluan. Aku mau mandi dulu.” Reynaldy langsung menuju kamar mandi. Diana menatap punggung suaminya dengan mulut seksinya maju dua senti. “Mas ....” Diana meraba d**a kekar sang suami yang baru merebahkan diri di sampingnya setelah selesai mandi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD