Fakta Sebenarnya

1094 Words
Elindra menggeleng dengan tangannya yang membelai rambut Alea. "Aku tidak tahu." "Apa mas Tama tidak memberitahumu sesuatu?" Dhira mengerjitkan kedua alisnya, menatap Elindra serius. Sementara Elindra masih terus memandangi wajah putih pucat Alea, matanya masih enggan untuk beralih dari perempuan yang tengah terbaring tak sadarkan diri. "Tama baru saja menjemputku di bandara. Dalam perjalanan pulang dia menerima telfon dan kami langsung kesini." Elindra menjelaskan tanpa menatap Dhira. Berselang beberapa menit kemudian, tampak dua orang perawat yang bertugas siap untuk memindahkan Alea ke ruangan rawat inap VVIP. Tama yang baru saja tiba di ruang igd berdiri menatap Alea yang terbaring di atas ranjang rumah sakit yang tengah di dorong. "Kamu baik baik saja?" tanya Elindra mendekati Tama dan merangkul lengannya. Tama tersadar dari lamunannya, ia mengangguk. "Ya," sahutnya singkat. Tak sengaja Dhira melihat kedekatan yang di pertontonkan Elindra dan Tama, segera ia memilih untuk pergi. "Mbak Dina, kita ke atas dulu sebentar. Setelah ini kita balik ke kantor," ucap Dhira pada mbak Dina yang sejak tadi setia menunggu sembari mengecek pesan email yang masuk di tablet pc. "Apa agenda penting hari ini mbak?" sambungnya sembari melebarkan kakinya memasuki lift. Mbak Dina mengekor dari belakang bosnya. "Hari ini kosong bu," sahut mbak Dina yang tengah melihat jadwal di agenda kecil yang dikhususkan untuk menulis jadwal jadwal penting yang harus dihadiri Dhira. Dhira mengangguk paham. Sepanjang koridor ia tampak memikirkan sesuatu, entah apa itu hingga raut wajahnya berubah menjadi sendu. Saat mereka tiba di dalam kamar tempat Alea akan menginap beberapa hari kedepan di rumah sakit itu, mereka telah mendapati Tama dan Elindra yang terlebih dahulu tiba di ruangan itu tengah berbincang kecil bersama Alea yang baru saja sadar. "Nadhira..." panggil Alea dengan seutas senyum tulus di bibirnya. Dhira yang masih mematung di ujung pintu pun tersadar, ia bergegas mendekati Alea. "Syukurlah kamu sudah sadar Alea," ucapnya sembari mengelus punggung tangannya. "Aku sangat mencemaskanmu," sambungnya dengan bibir yang tampak bergetar dan butiran air bening yang telah membuat kolam kecil di pelupuk mata indahnya. Alea tak kalah cemasnya, bahkan kini air matanya tengah berlomba lomba keluar dari pelupuk mata sendunya. "Terimakasih telah membawaku kemari," sahutnya dengan suara yang begitu lirih. "Aku enggak tahu akan seperti apa jadinya jika kamu enggak membawaku kesini tepat waktu. Bisa saja saat ini aku akan kehilangan bayiku." Alea memegang erat tangan Dhira dengan air mata yang terus mengalir. Kini air mata yang membentuk kolam itu pun telah tumpah ruah, membasahi pipinya. "Kamu harus terus bertahan Alea, apapun yang terjadi. Berjanjilah untuk terus menjaga bayi di perutmu." Dhira mengelus perut Alea yang masih rata. Ketiga anak manusia yang tengah melihat kejadian haru ini pun dapat merasakan apa yang tengah Alea rasakan. "Ehm..." Tama berdehem untuk menghilangkan perasaan melankolisnya, membuat semua orsng yang berada di sana meliriknya. "Alea, ini Elindra, adik Arjuna. dan Elindra, dia Alea. Dia..." Tama menggantungkan ucapannya, dia sendiri bahkan tidak tahu harus memulai semuanya dari mana. Elindra pun tampak mengkerutkan dahinya, menatap Tama penuh tanya. "Dia kenapa?" tanya Elindra yang tampak penasaran. Alea dan Tama tampak bertatapan, seakan mentransfer isi fikiran Alea yang kini tengah mengangguk pelan pada Tama memberikan isyarat entah apa, hanya mereka yang tahu. Tama menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. "Alea ... dia, dia sedang mengandung anak Arjuna, kakak kandungmu." Tama memegangi kedua bahu Elindra untuk memberikan kekuatan pada Elindra yang tentu akan merasa shock. "Jadi, itu adalah keponakan kandungku?" ucap Elindra dengan mata yang berkaca kaca. Tama mengangguk tanpa bersuara. Kemudian Elindra menatap Alea dan Dhira secara bergantian, ia melihat keduanya yang telah bercucuan air mata. "Tapi, bagaimana bisa? Bukankah Arjuna akan menikah dengan Dhira?" tanya Elindra dengan raut yang terlihat bingung. "Aku sudah memutuskan untuk enggak meneruskan perjodohan itu. Alea sangat membutuhkan Arjuna, dan dia jelas mencintai Arjuna," ucap Dhira dengan wajah sendunya, entah sudah berapa kali ia harus merasakan sakit yang mendalam seperti ini, di khianati oleh orang orang terkasih membuat Dhira berada di puncak kekecewaan. Dhira sudah tak tahan lagi dengan buncahan emosi yang akan meledak, ia memutuskan untuk segera meninggalkan tempat itu. "Alea, maafkan aku. Aku harus kembali bekerja karena ada agenda penting yang harus aku hadiri," dusta Dhira. Ia menatap Alea dengan senyum di wajahnya. "Aku ingin kamu tetap kuat dan bertahan. Besarkan lah dia dengan baik, aku sangat ingin melihatnya lahir kedunia ini dengan sempurna," sambungnya sembari mengelus elus pungung tangan Alea. Alea tak dapat berkata apapun, hanya anggukan kepala di iringi tangisan yang terlihat dari wajahnya. Tak lama Dhira berbalik badan dan berjalan untuk meninggalkan ruangan itu. Melewati Elindra dan Tama yang masih setia berdiri di depan ujung ranjang. "Apa kamu enggak mau mendengarkan satu fakta lagi Dhira?" ucap Tama menghentikan langkah Dhira. "Jika itu tentang kebenaran pernikahanmu dan Elindra, tanpa harus kamu beritahu, aku telah mengetahuinya." Dhira tetap dalam posisinya memilih tak menoleh pada Tama dan Elindra. Elindra mendekati Dhira perlahan. "Kamu salah paham Dhira," ucap Elindra sembari menyentuh lengan Dhira. Dhira mengerutkan dahinya, ia membalikkan tubuhnya hingga berhadapan langsung dengan Elindra. "Maksudmu?" tanya Dhira bingung. Elindra tersenyum ramah, kemudian menarik tangan Dhira perlahan untuk kembali mendekat. "Aku dan Tama bukan pasangan seperti yang kamu fikirkan." Elindra kemudian mendekati Tama. "Tama enggak mencintaiku, aku pun begitu. Sebenarnya aku dan Tama mengkhawatirkan hubunganmu dengan Arjuna, aku enggak mau kamu terluka seperti sahabatku lima tahun silam. Itu sebabnya, aku dan Tama berpura pura menjadi pasangan kekasih." Elindra menjelaskan kebenaran yang selama ini di tutupinya dari Dhira. Dhira menggelengkan kepalanya, ia masih tak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Elindra. Terlalu banyak pertanyaan yang berkeliaran di otaknya hingga ia tak mampu mencerna dengan baik setiap kata kata yang di ucapkan Elindra. "Maksudnya? Kalian tidak akan menikah sungguhan? lalu untuk apa mengkhawatirkan hubunganku dengan mas Arjuna? apa maksudnya? apa yang terjadi pada sahabatmu dengan mas Arjuna, hingga kalian begitu mengkhawatirkan aku." Wajahnya kini benar benar seperti orang kebingungan. Tama tersenyum penuh arti, ia begitu bahagia dengan pertanyaan demi pertanyaan yang di lontarkan dari mulut Dhira, menandakan dengan jelas rasa cinta itu masih ada untuknya. "Kenapa kamu terlihat begitu penasaran Dhira?" tanya Tama dengan wajah yang kembali datar. "Bukankah katamu telah mengetahuinya." Kini sorot tajam mata itu telah mengunci bola mata kecoklatan milik Dhira. Terlihat jelas raut kekesalan di wajah bidadarinya itu. Dhira mendengus kesal. "Aku akan segera pergi dari sini," ucapnya lalu berbalik badan tanpa pikir panjang. 'Sialan kamu mas. Aku tidak akan memaafkanmu.' Dhira membatin kesal. "Tama hanya mencintaimu Dhira. Hanya kamu, bukan aku ataupun perempuan lain." Suara Elindra terdengar jelas di telinga Dhira, hingga membuatnya hampir kehilangan keseimbangannya. Deg... Jantung Dhira berpacu cepat seiring dengan aliran darahnya yang mengalir deras saat mengetahui sebuah fakta yang telah lama menjadi pertanyaan besar untuknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD