Aroma Memabukkan

1085 Words
Setelah menggandeng beerapa tas belanjaan mereka memutuskan untuk memanjakan perut mereka dengan masakan lezat yang ada di sebuah restoran terenak di dalam mall tersebut. "Sudah puas kan belanjanya? Hutang ku sudah lunas pada mu," ucap Arjuna pada Elindra yang kini tengah bersandar di kursi akibat kelelahan setelah hampir empat jam berkeliling. "Hah, lebih dari puas mas. Terima kasih mas ku yang ganteng." Elindra melemparkan senyum manjanya pada Arjuna. "Kakak ipar kenapa enggak belanja sih, jangan takut kak, uang Mas Arjuna itu enggak akan habis hanya untuk membiayai sekali shopping kita." Elindra menggoda Arjuna. Dhira tersenyum tipis sambil menggeleng. "Aku masih memiliki banyak pakaian serta perlengkapan sehari hari, itu pun banyak yang belum terpakai." Tanpa sengaja Dhira telah menunjukkan kualitas dirinya sebagai seorang perempuan yang tak bergantung pada kemewahan yang dimiliki pasangan apa lagi belum berstatus suami untuknya. "Ah, kakak ipar ku memang terbaik," ucap Elindra mengacungkan jempol. "Memang kamu selalu ngabisin uang aku terus. Dasar boros..." sahut Arjuna sekenanya. Elindra hanya tersenyum malu karena yang dikatakan oleh Arjuna memang benar adanya. "Siap siap Tama, bisa jadi tabungan mu di kuras habis dengannya setelah menikah kelak." Arjuna tersenyum miring menatap Tama. "Jika itu yang menjadikan istri ku bahagia dan enggak berpaling dari ku. Aku enggak keberatan sama sekali. Bahkan aku bisa memberikannya lautan berlian asal dia tetap bersama ku." Tama mempertegas ucapannya dengan pandangan mata yang tertuju pada Dhira. Dhira hanya tersenyum sinis menatap Tama sambil mengunyah makanannya. ***** Di sebuah club besar dan mewah di daerah ibukota di penuhi oleh para pengunjung setiap hari nya, terlebih pada malam minggu seperti ini. Banyak pria wanita, tua muda yang datang sekedar untuk mabuk atau menjadi ajang pelampiasan nafsu dunia mereka. Bahkan terlihat dengan jelas perempuan perempuan setengah telanjang sedang menari nari mengikuti alunan musik yang di bawakan oleh dj ternama ibu kota. Setelah susah payah membujuk Arjuna dan Dhira akhirnya Elindra berhasil membawa keempat nya masuk ke dalam club besar ini. Mereka duduk di meja vip yang telah di siapkan. Dhira mengedarkan pandangannya ke sekitar, tubuhnya sedikit merasakan ketakutan melihat tempat yang di hiasi lampu warna warni dengan dentuman musik yang memekakkan telinga serta bau alkohol yang mendominasi seluruh ruangan. 'Inikah yang mereka banggakan? Huh, bahkan tempat ini lebih buruk dari pada neraka.' Dhira membatin. Elindra, Arjuna dan Tama tampak menikmati minuman alkohol terbaik yang mereka pesan. Terkecuali Dhira yang tak menyentuh sedikitpun minumal beralkohol tinggi itu. Dirinya sudah cukup trauma dengan kejadian malam itu hingga membuatnya mabuk berat dan merasakan sakit kepala yang hebat. Setelah hampir tiga puluh menit duduk di sana, Dhira mulai merasa jenuh ia berniat mengajak Arjuna pulang. "Mas, aku mau pulang." Dhira sedikit berteriak pada Arjuna yang sedang meneguk minuman. "Oke. Kita pulang sekarang ya," sahut Arjuna yang masih terkontrol. Arjuna dan Dhira berdiri hendak meninggalkan tempat itu, tapi tangan Arjuna di tarik tiba tiba oleh Elindra. "Kamu mau kemana mas? Jangan pulang, aku mau di temabi sama kamu," rengek Elindra yang mulai mabuk. "Enggak bisa, aku harus mengantar Dhira pulang. Kamu disini sama Tama," sahut Arjuna. Namun tidak semudah itu Arjuna meninggalkan Elindra, bahkan tangannya telah di kunci dengan Elindra yang kini merangkulnya erat. "Kakak ipar di antar sama Tama saja. Aku masih ingin di temani mas, lusa aku sudah berangkat kembali ke Paris." Elindra terus merengek seperti anak kecil yang tidak di perbolehkan makan permen oleh orang tuanya. "Sudah, kamu di sini temani Elindra. Biar aku yang mengantar Dhira pulang." Tama telah berdiri dan bersiap untuk menggantikan Arjuna. Arjuna tak bisa berbuat banyak, karena ia tahu betul jika Elindra sudah mabuk akan susah di kendalikan dan wanita itu hanya akan takut pada Arjuna. Dengan terpaksa Dhira bersedia di antar pulang oleh Tama. Dirinya terlalu takut untuk keluar sendirian dari club besar itu melihat telah banyak mata pria yang menatapnya seakan ingin memangsa saat itu juga. Setelah cukup jauh dari penglihatan Elindra dan Arjuna, Tama menggandeng erat tangan Dhira saat ia melihat raut kecemasan di wajah cantik Dhira. "Lepasin." Dhira berusaha melepaskan tangannya. "Diam dan turuti jika kamu tidak ingin di mangsa oleh mereka." Tama membisikkan tepat di telinga Dhira membuat siapa saja yang melihat beranggapan mereka adalah pasangan kekakasih yang sempurna. Mendengar itu, Dhira menjadi pasrah dan tetap bergandengan tangan hingga masuk kedalam mobil sport milik Tama yang tak kalah mahal dari milik Arjuna, sebuah mobil berlogo kuda jingkrak keluaran terbaru berwarna merah. Mobil yang selalu ia gunakan jika sedang ingin menyetir sendiri. Berbeda dengan Arjuna yang selalu memperlakukan Dhira manis, ia berjalan begitu saja tanpa menghiraukan Dhira yang tengah membuka pintu mobil sendiri. Sepanjang perjalanan, tak banyak suara yang keluar dari mulut keduanya. Dhira lebih memilih untuk melihat ke arah jendela di sebalah kirinya. Sementara Tama fokus menyetir dengan pandangan lurus kedepan. Tak lama Dhira membuka percakapan. "Turun kan aku disini," ucapnya ketus. Tama tak bersuara seolah tak mendengar perkataan apapun dari Dhira yang tengah kesal. "Aku bilang turunkan aku, aku bisa pulang sendiri." Dhira kembali mendengus kesal. Tama terus melajukan mobilnya tak perduli jika Dhira kini tengah berteriak meminta ia untuk di turunkan. "Aku bilang berhenti mas." Dhira berteriak dengan air mata yang mulai menetes di pipinya. Tama menghentikan mobilnya secara tiba tiba lalu menatap tajam ke arah Dhira yang tengah menangis kesal. "Turunlah," ucap Tama datar. Dhira hendak membuka pintu mobilnya namun di urungkannya saat melihat daerah sekeliling sangat sepi bahkan sangat gelap hanya ada cahaya dari lampu mobil Tama. Tiba tiba perasaan takut menggelayut di benaknya. Dhira menundukkan pandangannya, sebuah senyuman sinis terbit di wajah Tama. "Aku ma-" Cup... Bibir Tama mendarat mulus di bibir Dhira, mencecap mesra bibir bawahnya yang telah lama tak di rasakan oleh Tama. Membuat sang pemilik terkejut dan membulatkan matanya. Dhira mendorong kuat d**a bidang Tama, namun percuma saja karena kini tubuhnya telah terkurung dalam rangkulan tangan besar milik Tama. Tama terus mencecap bibir Dhira dengan lembut, aroma maskulin yang selalu mampu memabukkannya, meruntuhkan pertahanan Dhira hingga ia terhanyut dan memejamkan matanya menikmati lumatan panjang dan lembut yang di ciptakan oleh Tama. Tama melepaskan bibirnya, memandang wajah Dhira yang kini tertunduk malu akibat kebodohannya yang ikut menikmati. Tama mendekatkan wajah nya di telinga Dhira. "Aku sangat merindukanmu." Dhira masih tertunduk tak cukup banyak keberanian yang dimilikinya jika berada dalam dekapan Tama. Hingga Tama kembali melubat habis bibirnya dengan mesra, Dhira membalas lumatan itu dengan perlahan hingga tangannya kini telah menggantung di leher Tama. Tak bisa dipungkiri jika dirinya tak kalah merindukan sosok pria yang kini tengah menciumnya. 'Aku mungkin bisa melupakan mu, tapi aku tak akan pernah bisa melupakan rasa ini.' Batin Dhira disela sela lumatannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD