BAB3:Smash di Luar Dugaan

1378 Words
Tiga minggu telah berlalu sejak pertemuan kedua mereka di kafe itu. Dan sejak hari itu, segalanya berubah. Obrolan antara Malda dan Yulianto bukan lagi sekadar basa-basi kafe, tapi sudah merambah ke chat tengah malam, voice note random yang kadang absurd, komentar nyeleneh di story i********:, dan bahkan saling kirim meme soal olahraga dan makanan sehat. Malda, yang biasanya pulang kerja langsung rebahan dengan wajah setengah mati, kini punya kebiasaan baru: mampir ke kafe kecil itu. Entah hanya lima belas menit atau satu jam, ia merasa ada sesuatu yang selalu membuatnya ingin kembali. Hari itu, seusai shift panjang di kantor ekspor-impor yang menyesakkan, ia melangkah masuk dengan dua botol infused water di tangan. Ia langsung menuju meja pojok, tempat Yulianto sudah duduk santai sambil membaca buku. "Minum, biar awet muda. Katanya mentimun bisa bikin kulit kencang," ujar Malda sambil menyodorkan salah satu botol yang dibawanya. Yulianto menerimanya dengan senyum senang. "Kalau kulit doang yang kencang, percuma. Harus juga otot dan tekad." "Wah, motivator dadakan datang lagi," kata Malda, duduk sambil tertawa. Mereka menikmati waktu tanpa banyak tekanan. Canda, tawa, dan sesekali diam yang tidak canggung. Setelah beberapa tegukan air, Malda iseng membuka i********:. Jempolnya berhenti pada sebuah unggahan. Matanya menyipit. "Eh... ini... Ini Pak Yuli?!" ujarnya, menunjuk ke layar ponsel dengan ekspresi setengah kaget. Yulianto melongok sejenak. "Hmm? Oh, itu. Iya. Finalis ganda veteran. Minggu depan main di Kudus." Malda menatapnya dengan ekspresi tak percaya. "Pak... yang bener? Saya kira bapak main bulutangkisnya buat senam lansia, lho!" Yulianto ngakak, tubuhnya berguncang. "Senam lansia apanya! Lha ini lengan saya masih bisa smash 280 km/jam, kalau nggak salah radar turnamen kemarin." "Serius?! Bapak udah ngalahin kecepatan motor saya. Yang bener?" "Kalau bohong, nanti c**k smash saya meleset semua." Malda terkekeh. Tatapannya berubah. Kini ia memandangi Yulianto seperti sedang mengenal sisi baru dari seseorang yang selama ini ia anggap cuma penjual HP berhumor pakde-pakde. Ada kebanggaan di wajah Yulianto, tapi bukan kesombongan. Hanya kegigihan yang tak butuh panggung. "Pak Yuli... bapak tuh kayak... singkong goreng. Luarnya biasa, dalemnya panas dan bikin nagih." Yulianto mengangkat alis, gaya sok jagoan muncul. "Itu pujian atau kode mau traktir saya singkong goreng?" "Kalau bapak menang minggu depan, saya traktir. Deal?" "Deal! Tapi kalau saya menangnya karena kamu datang nonton dan nyorakin dari tribun, itu bonus." Malda nyengir. Dalam hatinya, ia tak menyangka, rutinitas yang semula melelahkan kini punya jeda menyenangkan. Obrolan dengan pria yang usianya dua dekade di atasnya, tapi jiwanya terasa lebih muda dari siapa pun. Ada sesuatu yang menghangat diam-diam. "Tapi serius, Pak... saya seneng lihat bapak punya semangat kayak gitu. Nggak banyak orang seusia bapak yang masih aktif tanding." Yulianto tersenyum, lalu menatap ke luar jendela. "Saya cuma nggak mau hidup saya jadi cerita basi yang diulang-ulang. Selama tubuh saya masih bisa bergerak, saya ingin tetap main. Di lapangan. Di hidup. Di hati orang lain juga, kalau diizinkan." Malda menatapnya sekilas. Ada getaran halus di dadanya. Kata-kata itu seolah dilempar santai, tapi menggema. "Saya pernah mikir... orang tua itu identik sama 'selesai'. Tapi bapak bikin saya percaya, umur nggak pernah jadi alasan buat berhenti hidup dengan penuh semangat." Yulianto menatapnya balik. "Dan kamu bikin saya percaya, orang muda bisa punya kedalaman yang lebih dari sekadar tren viral." Tawa kecil meledak di antara mereka. Tapi ada jeda hening yang lembut menyusul. Malda menyeruput airnya pelan. "Pak Yuli... boleh jujur?" "Boleh banget. Tapi jangan bilang kamu mau jualan MLM." "Hahaha, bukan. Tapi... akhir-akhir ini, saya sering nungguin chat dari Bapak. Atau nunggu story Bapak muncul. Kadang cuma pengin tahu... hari Bapak baik-baik aja nggak." Yulianto terdiam. Tapi bukan karena kaget. Ia hanya sedang memilih untuk meresapi. "Malda, hidup saya dulu ya datar-datar aja. Tapi sejak ngobrol sama kamu, ada semacam semangat baru yang muncul. Kamu kayak... partner main ganda yang saya nggak pernah sangka bakal cocok." "Walau usia kita beda jauh?" "Justru karena beda. Kamu bikin saya merasa muda lagi. Dan saya berharap, saya bisa bikin kamu merasa didampingi, bukan dihakimi." Malda menggigit bibir bawahnya. Hatinya bergetar, tapi bukan karena gugup. Melainkan karena rasa nyaman yang mulai tumbuh dan tak bisa disangkal. "Pak Yuli... kalau saya nanti nonton ke Kudus... dan Bapak kalah... saya masih tetap traktir, kok. Tapi cuma satu syarat." "Apa?" "Bapak janji nggak berhenti main dan bersemangat. Di lapangan. Dan... di hidup saya." Yulianto tersenyum. Lalu mengangkat botol infused water, menyodorkannya ke arah Malda seperti bersulang. "Deal." Mereka meneguk minuman mereka bersamaan. Di luar, senja mulai turun. Tapi di antara mereka, hari justru baru dimulai. Dan mungkin, itulah smash yang paling tak terduga dari semua pertandingan: rasa nyaman yang tumbuh pelan, tapi pasti. Setelah beberapa saat larut dalam keheningan yang damai, Malda menyandarkan punggungnya ke kursi. Tatapannya menerawang ke arah langit senja yang mulai beranjak kelabu. "Pak Yuli... boleh curhat sedikit?" Yulianto tersenyum. "Curhat boleh. Nangis juga boleh. Tapi kalau nyanyi dangdut, harus nunggu pengunjung bubar dulu." Malda tertawa, tapi cepat menghela napas. "Serius, Pak. Kadang saya tuh ngerasa kayak... hilang arah. Dulu lari adalah alasan saya bangun pagi, latihan, jaga makan, bahkan hidup. Sekarang, saya kayak nggak tahu lagi kenapa harus bangun. Semua terasa... datar." Yulianto mengangguk pelan, memberi ruang agar Malda bisa bicara tanpa beban. "Kerja di kantor ekspor-impor itu... keras, Pak. Bukan cuma karena jam kerjanya yang fleksibel tapi nggak manusiawi. Tapi juga karena lingkungan yang... yah, penuh tekanan. Saya pernah kerja sambil ngurus Papa di rumah sakit. Pernah tidur cuma dua jam dalam dua hari. Tapi tetap harus masuk dan senyum di depan atasan." Ia menunduk, memainkan tutup botol infused water. "Saya suka lari, Pak. Tapi sekarang, rasanya semangat itu memudar. Seolah saya ini cuma pelari yang terus disuruh sprint, tapi lintasannya nggak pernah selesai." Yulianto menatapnya lama. Ia tidak langsung menjawab. Hanya mengangguk dengan lembut, menandakan bahwa ia mendengar. Bahwa ia mengerti. "Saya pernah di titik itu juga, Malda. Nggak tahu arah, nggak tahu alasan untuk terus maju. Tapi kadang, kita nggak butuh alasan besar. Kita cuma butuh satu momen kecil... satu orang... satu rasa... yang bikin kita pengin coba lagi." Malda menoleh, matanya melembut. "Pak Yuli... kenapa sih Bapak bisa selapang ini? Selalu punya kata-kata pas? Selalu kayak... ngerti saya tanpa saya harus banyak cerita?" Yulianto menarik napas panjang. Ia meletakkan botol minumnya, lalu memandang jauh sebelum akhirnya berkata, "Karena saya tahu rasanya kehilangan, Malda. Dan saya tahu betapa berharganya satu orang yang mau dengerin." Malda terdiam, lalu pelan bertanya, "Keluarga Bapak... maksudnya... Bapak sendiri sekarang?" Yulianto mengangguk, perlahan. Senyumnya sedikit pahit, tapi tetap tulus. "Saya pernah punya istri yang sangat saya cintai. Namanya Lala. Lala Kurniasari. Cantik, lembut, sabar. Partner hidup saya yang nggak tergantikan. Tapi tujuh tahun lalu... dia pergi. Tanpa pamit. Tanpa sakit. Cuma... tidur, lalu nggak bangun lagi." Malda menutup mulutnya dengan tangan. "Ya Tuhan... saya ikut sedih, Pak." "Saya juga. Bertahun-tahun saya nunggu penjelasan dari hidup, tapi nggak pernah datang. Akhirnya saya belajar berdamai. Karena kadang, kehilangan itu bukan sesuatu yang bisa kita pahami, tapi cuma bisa kita peluk." Ia menatap Malda. "Saya punya dua anak perempuan. Yang sulung, Alice Patricia Chiquita Yulianto, tinggal di Vancouver. Nikah sama orang Kanada. Kerjanya di bidang seni termasuk membuat desain dan baju-baju cosplay. Hebat. Bijak. Tapi jauh." "Yang bungsu, Claudia Anna Zubizaretta Yulianto. Pramugari Silk Airlines. Cantik dan mandiri. Tapi selalu terbang ke mana-mana, kayak burung kecil yang nggak mau diam." "Jadi ya... sekarang saya sendiri. Tapi bukan berarti kesepian. Karena saya punya banyak ruang dalam hidup yang bisa saya isi dengan hal-hal baik. Termasuk... percakapan kita ini." Malda tak bisa berkata-kata. Ia menatap Yulianto dengan mata yang sedikit berembun. Ada rasa hangat yang menyelimuti dadanya, campuran haru dan kagum. "Pak Yuli... saya belum pernah ngobrol sedalam ini sama siapa pun. Bahkan sama sahabat sendiri. Tapi sama Bapak, saya bisa bilang semuanya. Kenapa ya?" Yulianto tersenyum. "Mungkin karena kamu tahu, saya nggak akan menghakimi. Dan saya juga nggak akan lari." Malda menunduk, lalu mengangguk pelan. "Saya senang kenal Bapak. Saya senang... Bapak nggak menyerah pada hidup, bahkan setelah kehilangan yang besar. Itu bikin saya pengin belajar berdiri lagi." Yulianto hanya menjawab dengan satu kalimat, yang membuat hati Malda terasa penuh: "Kita nggak bisa menghindari kesedihan, Malda. Tapi kita bisa memilih siapa yang menemani kita saat menjalaninya." Dan malam itu, kafe kecil mereka jadi lebih dari sekadar tempat minum infused water. Itu jadi lintasan baru. Tempat dua orang yang sedang belajar berani... untuk hidup lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD