Keesokan harinya, di kafe yang sama, Malda datang lagi. Bukan untuk membeli handphone, bukan untuk transaksi, bahkan bukan karena janji. Tapi karena ada sesuatu yang belum selesai di hatinya. Duduknya lebih tenang dari kemarin, tapi wajahnya lebih murung. Pandangannya menerawang, seperti menatap garis finish yang tak kunjung kelihatan.
Yulianto sudah lebih dulu datang. Ia duduk di pojok, mengenakan jaket olahraga tipis dan celana santai. Begitu melihat Malda, ia melambai kecil, wajahnya ramah, matanya berbinar.
"Kok tumben, kamu datang tanpa nanya diskon duluan?" godanya begitu Malda mendekat.
Malda duduk, menarik napas dalam, lalu mengulas senyum tipis yang lebih seperti lelah daripada bahagia.
"Diskon waktu kayaknya lagi nggak ada, Pak," katanya pelan.
Yulianto mengangguk pelan, menyimak lebih dari sekadar mendengar. Ia tahu, kalimat itu punya lapisan makna. Itu bukan tentang belanja. Itu tentang hidup.
"Pekerjaan lagi padat, ya?" tanyanya, hati-hati.
"Banget. Paruh waktu di perusahaan ekspor-impor itu nggak pernah benar-benar 'paruh'. Pekerjaan masuk dari dua negara, tapi gaji kadang kayak dari dunia lain." Malda menarik napas, lalu melanjutkan dengan suara lebih pelan, "Belum lagi urusan Papaku..."
Yulianto bersandar, matanya melembut. Ia ingat potongan cerita kemarin. Tentang seorang ayah yang dirawat, tentang kecelakaan.
"Kamu bilang Papamu kena tabrak lari, ya?"
Malda mengangguk, matanya mulai berkaca. "Udah dua bulan lebih. Polisi belum nemu pelakunya. Rumah sakit, surat-menyurat, urus ini itu... semua aku yang ngurus. Mama nggak kuat fisik. Adikku masih kuliah. Kadang... rasanya aku kayak robot rusak yang dipaksa terus gerak."
Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan emosi.
"Lari pagi udah jadi hal yang mewah sekarang. Padahal, lari itu... satu-satunya alasan aku dulu bangun pagi dengan semangat."
Yulianto menunduk sebentar, lalu mengambil sendok kecil dan menggambar lingkaran di atas busa cappuccinonya. Seperti sedang mencari cara menyampaikan sesuatu tanpa menggurui.
"Kamu tahu kenapa saya suka bulutangkis?"
Malda mengangkat alis, penasaran. "Kenapa?"
"Karena dalam bulutangkis, nggak ada istilah menyerah. Bola jatuh? Ambil. Ketinggalan poin? Kejar. Kadang kita kalah bukan karena kita nggak bisa, tapi karena kita berhenti percaya kalau kita bisa."
Kalimat itu sederhana. Tapi seperti shuttlecock yang jatuh tepat di sudut lapangan hati Malda.
"Malda, kamu pelari. Tapi bukan cuma pelari di lintasan. Kamu juga pelari di hidup. Kamu kuat. Bahkan kalau kamu lagi jalan pelan hari ini... nggak apa-apa. Yang penting kamu nggak berhenti."
Malda terdiam. d**a sesak, tapi bukan karena sedih. Ada sesuatu yang mencair. Ia tertawa kecil, matanya berembun.
"Kenapa omongan Bapak kayak... motivator dengan wajah pakde-pakde yang nyebelin tapi bikin nyaman?"
Yulianto tertawa ringan. "Karena saya bukan cuma jual HP. Saya juga jual semangat, kalau kamu mau."
Mereka tertawa bersama. Tawa yang meredakan tegang di d**a. Saat itu, seorang barista datang membawa minuman. Secangkir teh hangat untuk Malda, cappuccino untuk Yulianto, dan dua potong brownies sebagai bonus pelanggan setia.
"Tapi serius, Pak... kadang saya ngerasa capek banget. Kayak... semua orang lari, dan saya ditinggal. Nggak tahu harus ke mana."
Yulianto menggenggam cangkirnya. Tangannya tidak muda, tapi cara ia memandang Malda seperti seseorang yang pernah sangat muda dan sangat patah.
"Kamu tahu, waktu saya muda, saya pernah dibilang gagal karena nggak jadi atlet nasional. Tapi sekarang, saya sadar... gagal itu bukan soal nggak jadi sesuatu. Tapi soal berhenti jadi diri sendiri."
Ia melanjutkan, "Kamu nggak harus jadi pelari profesional untuk bisa tetap berlari. Kadang, yang kita butuh cuma satu lintasan kecil... dan satu orang yang percaya kita bisa."
Malda menatapnya lama. Dunia luar seperti hilang. Suara klakson, musik kafe, hiruk-pikuk... semuanya melebur.
"Pak Yuli... kalau saya jatuh... dan udah capek bangkit... boleh nggak... saya istirahat di hati orang lain sebentar?"
Yulianto tak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum, mencondongkan gelasnya dan menyentuh gelas Malda dengan bunyi kecil—
"Ting."
Mereka tertawa kecil. Tapi dalam keheningan itu, ada rasa hangat yang tumbuh diam-diam. Seperti api kecil yang mulai menyala di tengah malam.
Setelah beberapa saat, obrolan mereka meluncur ke arah yang lebih ringan. Tentang film. Tentang hiburan. Tentang cara sederhana untuk tertawa.
"Kamu suka nonton film?" tanya Yulianto sambil menyeruput kopinya.
"Dulu suka banget. Sekarang nonton YouTube aja rasanya kayak kemewahan." Malda tersenyum hambar.
Yulianto membuka ponselnya, lalu menunjukkan beberapa foto dan potongan video pendek. Ternyata, ia punya kanal media kecil yang sering memuat resensi film.
"Saya kadang nulis resensi buat media lokal. Kadang juga sekadar bantu temen bikin sinopsis. Jadi... kalau kamu mau nonton film—apa aja, kapan aja, di bioskop mana aja—tinggal bilang. Saya punya jalinan kerja sama sama XXI dan Cinepolis."
Malda melongo sejenak. "Serius?"
"Iyalah. Suka dikasih jatah tiket. Biasanya sih saya ajak keponakan. Tapi kalau kamu mau... tinggal bilang."
Malda tertawa kecil, kali ini lebih ringan.
"Pak Yuli, makin lama saya makin bingung. Bapak ini siapa, sih? Mantan atlet, penjual HP, reviewer film, motivator terselubung... apa jangan-jangan agen rahasia?"
"Rahasia saya cuma satu: saya senang lihat orang kembali tersenyum. Termasuk kamu."
Malda terdiam. Pipinya memerah sedikit. Tapi ia merasa nyaman.
Beberapa menit berlalu tanpa banyak kata. Tapi diam mereka bukan canggung. Justru penuh pengertian. Saat Malda bangkit dan berpamitan, ia menatap Yulianto dengan senyum tulus.
"Terima kasih, Pak Yuli... untuk semuanya."
"Kapan pun kamu butuh tempat istirahat sebentar... kafe ini, dan saya, nggak akan ke mana-mana."
Tapi sebelum benar-benar bangkit dari duduknya, Malda menatap Yulianto sekali lagi, kali ini lebih lama. Ada sesuatu yang ingin ia ucapkan, tapi belum berani. Yulianto seolah menangkap keraguan itu, dan hanya tersenyum tipis, memberi ruang.
"Pak Yuli..."
"Hm?"
"Saya tuh... nggak tahu ya kenapa... tapi kalau ngobrol sama Bapak, rasanya kayak... pulang." Kalimat itu meluncur tanpa filter, pelan tapi jujur.
Yulianto menoleh penuh perhatian. "Pulang?"
"Iya. Kayak... selama ini saya tuh capek banget, jalan sendirian. Tapi pas ketemu Bapak... rasanya kayak bisa duduk, napas, dan didengar tanpa harus berjuang duluan."
Yulianto terdiam. Pandangannya melembut.
"Saya ngerti rasa itu. Kadang kita butuh tempat, bukan buat sembunyi, tapi buat tenang. Kalau kamu merasa begitu... saya senang bisa jadi tempat itu."
Malda mengangguk. Di matanya, ada air yang belum jatuh. Tapi bibirnya tersenyum. Bukan senyum sopan, tapi senyum dari seseorang yang akhirnya merasa dihargai.
"Selama ini saya selalu dituntut. Harus kuat. Harus mandiri. Harus tahan. Bahkan saat Papa kecelakaan, orang-orang cuma bilang, 'kamu hebat, ya, bisa urus semuanya.' Tapi nggak ada yang tanya, 'kamu sendiri gimana?'"
Yulianto mencondongkan tubuh sedikit, menyentuh punggung kursinya.
"Sekarang saya tanya: kamu sendiri gimana, Malda?"
Pertanyaan itu sederhana, tapi menghantam keras. Malda tersenyum kecut, lalu menutup mata sebentar, mencoba menahan gejolak.
"Capek, Pak. Tapi... lebih baik sekarang. Lebih tenang. Mungkin karena akhirnya ada yang nanya."
"Ya sudah. Mulai sekarang, kalau kamu butuh rehat, cerita, atau sekadar diem bareng... tinggal bilang. Saya nggak janji bisa kasih solusi. Tapi saya bisa duduk di sebelah kamu, dengerin, dan kadang kasih lelucon jelek."
Malda tertawa kecil. "Lucu, kok. Tapi versi lawas."
"Yah, saya kan koleksi edisi nostalgia. Tapi tetap orisinal."
Tawa mereka kembali pecah. Tak ada jeda canggung. Malda merasa aneh, tapi nyaman. Ia jarang sekali bisa seterbuka ini, bahkan dengan orang-orang terdekat. Tapi di hadapan Yulianto, semuanya mengalir. Damai. Aman.
Ia memandangi wajah pria itu—mata yang penuh pengalaman, garis senyum yang tulus, cara bicara yang tidak menggurui. Tidak sempurna, tapi manusiawi. Dan mungkin itu yang membuatnya... istimewa.
"Pak Yuli..."
"Iya?"
"Terima kasih ya. Saya nggak tahu hidup saya mau ke mana. Tapi setidaknya, sekarang saya tahu... saya nggak sendirian."
Yulianto mengangguk. "Dan kamu nggak akan sendirian. Bukan selama saya masih punya kopi, kursi kosong, dan cerita."
Mereka saling tersenyum lagi. Satu kecil, satu besar. Tapi keduanya hangat.
Dan ketika Malda melangkah keluar dari kafe, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, langkahnya terasa ringan.
Ia memang belum kembali berlari. Tapi mungkin... ia sudah mulai berjalan lagi.