"Mas... syarat Mas kan tiga emas di Kejuaraan Asia. Tapi ini di kualifikasi dunia... Gimana dong?" bisiknya sambil senyum nakal, sembari menatap Yulianto dengan mata jenaka tapi basah. Yulianto menghela napas panjang, pura-pura berat. Lalu ia mendekat ke telinganya dan berbisik dengan suara rendah tapi jelas, "Kalau begitu, pernikahannya kita majukan sebulan. Gimana?" Miura langsung terbahak sambil tetap menunduk. Cahaya lampu stadion yang masih menyala menangkap air matanya yang jatuh—air mata yang tak pernah dimengerti dunia, karena mereka hanya melihat medali, bukan perjuangan. Malam itu, stadion Mugas memang sudah kosong. Tak ada lagi suara tepuk tangan, tak ada pelatih atau sorotan kamera. Hanya lampu-lampu kecil yang mulai redup, dan suara jangkrik yang menyelinap pelan. Di tengah

