Meski larut sudah mencapai batas akhir bahkan berpindah menjelang pagi. Di pelataran belakang, hanya tinggal Miura dan Yulianto. Cahaya lilin masih menari. Angin membawa suara jangkrik dan aroma bunga sedap malam. Miura bersandar di bahu Yulianto. “Mas…” “Ya?” “Aku pernah ingin mati.” Yulianto terdiam. Ia tidak menyela. “Aku pernah merasa dunia terlalu berat. Lututku retak, harapanku hancur, dan aku pikir... aku nggak layak untuk cinta siapa pun.” Yulianto menggenggam tangannya lebih erat. “Tapi ternyata... Tuhan punya rencana lebih baik. Aku dipertemukan dengan kamu. Yang nggak pernah memaksaku kuat, tapi juga nggak pernah membiarkanku hancur.” Yulianto menoleh, matanya berkaca-kaca. “Dan kamu... adalah alasan kenapa aku berhenti menyalahkan takdir.” Miura mengusap air mata di

