Bab 10

1131 Words
Setelah kepergian Rey, Ling Er menuju ke kamarnya dan mengambil beberapa pakaian bersih, kemudian menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Ketika keluar dari kamar mandi, ia mencium aroma makanan yang membuatnya lapar. Ia pun segera menuju ke arah dapur dan mendapati ibunya yang sudah menata makanan di atas meja. Hanya beberapa makanan sederhana, namun semua terlihat lezat. "Wow … aku jadi lapar, Ma," ucapnya sambil menatap makanan itu dengan mata berbinar-binar. "Ya sudah, kamu keringkan rambutmu dulu, habis itu kita makan sama-sama," timpal Nyonya Anita. Ling Er membungkus rambutnya yang basah dengan handuk, kemudian duduk di meja makan. Gadis itu sudah tidak sabar mencicipi masakan ibu Sierra. Nyonya Anita menggeleng melihat sikap putrinya itu. "Keringkan dulu pakai hairdryer sana, masa anak gadis begitu kelakuannya," ucap Nyonya Anita lagi. Ling Er hanya menyengir, lalu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Baru kali ini ia mendengar kata itu. 'Apa lagi itu? Herdraier bagaimana lagi bentuknya?' Ling Er segera beranjak dari duduknya setelah ibunya melotot kepadanya. Ia menuju ke kamarnya dan mencari barang yang disebut ibunya tadi. Gadis itu melihat sekeliling kamarnya dan menghela nafas panjang. 'Seandainya ada Rey, dia pasti berbaik hati membantuku dan menjelaskan cara pakai benda itu,' batin Ling Er sedih. Ia ingin menghubungi Rey, tetapi diurungkan niatnya itu karena tidak ingin terus-menerus merepotkannya. Mau bertanya kepada ibunya, tetapi ia tidak ingin ibunya mengkhawatirkannya lagi. Ling Er duduk di pinggir ranjangnya dan memperhatikan sebuah benda di depannya yang belum pernah dilihatnya. Sebuah benda yang berdiri di sudut kamarnya, memiliki kincir di tengahnya dan beberapa tombol di bawahnya. 'Apa ini ya?' Ling Er memegang dagunya sambil memperhatikan benda yang berukuran sedikit lebih pendek darinya. Ia pun mencoba menekan salah satu tombol dan benar saja, benda itu bergerak, kincirnya berputar dan mengeluarkan angin segar. Ling Er tersenyum kegirangan. 'Mungkin ini herdraier yang dibilang ibu.' Ling Er mengira kipas angin di hadapannya itu adalah hairdryer yang dimaksud ibunya. Ia segera berdiri di depan kipas angin itu dan mengeringkan rambutnya sambil mengikuti arah kipas angin tersebut yang berputar-putar. 'Kenapa sih orang zaman sekarang merepotkan diri sendiri? Mau keringkan rambut aja musti seperti ini,' batin Ling Er mendesah pelan. Gadis itu cukup lelah mengikuti arah putaran kipas itu karena ia tidak menaikkan tombol di belakang kipas itu yang mengatur gerak kepala kipas. Nyonya Anita yang sedang menunggu putrinya di meja makan merasa heran karena putrinya tidak kunjung keluar dari kamarnya. Ia pun segera beranjak dari tempat duduknya menuju ke kamar putrinya itu. Kaget, ya itulah ekspresi Nyonya Anita yang melihat putrinya saat ini. "Sierra! Apa yang kamu lakukan?" tanya Nyonya Anita mengagetkan Ling Er yang sedang asyik dengan mainan barunya itu. "Mama? Aku sedang keringin rambut," jawab Ling Er santai. Nyonya Anita menepuk keningnya dan mendesah kasar. Ia segera menarik tangan putrinya agar menjauh dari kipas angin itu, lalu mendudukkan putrinya di kursi meja belajarnya. Tidak lupa ia mematikan kipas angin tersebut terlebih dahulu. "Kamu duduk diam di sini!" perintah Nyonya Anita. Ling Er mengangguk dan memperhatikan gerakan wanita itu membuka laci meja di dekatnya dan mengambil benda yang baru pertama dilihatnya. Benda panjang berbentuk cembung dengan pegangan di ujungnya. Nyonya Anita memasukkan colokan kabel hairdryer itu ke stop kontak, lalu menekan tombol pada pegangannya dan mengarahkannya ke rambut putrinya itu. Ling Er sedikit kaget ketika hawa panas menyentuh kulitnya, tetapi akhirnya ia terbiasa dan paham kenapa ibunya tadi memarahinya. "Maaf ya, Ma. Aku tadi …." "Sudah diam, jangan bergerak." Nyonya Anita menggerai rambut putrinya dengan mengibas-ngibaskannya sambil diarahkan ke hairdryer di tangannya. Ling Er duduk diam sambil merasakan sentuhan tangan ibunya di helaian rambutnya itu. Setelah dirasa cukup, Nyonya Anita mematikan hairdryer tersebut dan mencabut colokan kabelnya dari stop kontak. Ketika Nyonya Anita meletakkan hairdryer yang masih panas itu di atas meja, Ling Er menyentuh tangannya dan menatapnya. "Ma, mungkin sekarang Mama merasa sangat kecewa sama aku. Maaf …." ucap Ling Er lirih. Nyonya Anita tidak menjawab. Ia hanya menghela nafas pelan dan bergumam dalam hati, 'Bagaimana aku bisa tenang meninggalkan dia seorang diri seperti ini? Sekarang ia seperti seorang anak kecil yang polos yang membutuhkan seseorang untuk membimbingnya.' "Mama mau ke mana?" tanya Ling Er refleks karena ia baru saja membaca pikiran wanita tua itu. Nyonya Anita kaget. "Ke-ke mana apanya? Ma-maksudmu apa? Mama tidak mengerti," elak Nyonya Anita. Ia heran kenapa putrinya itu mengetahui isi hatinya. "Ah, tidak … A-aku cuma nanya habis ini Mama mau ke mana," kilah Ling Er membelokkan pertanyaanya. Hampir saja gadis itu ketahuan kalau dirinya bisa membaca pikiran, ia tidak ingin dikatakan aneh atau gila lagi. Sungguh ia tidak tahu bagaimana dulu Sierra menjalani hidupnya dengan kemampuan seperti ini. Nyonya Anita sedikit bernafas lega, ia berpikir bahwa masalah penyakitnya sudah diketahui oleh putrinya itu. "Oh, tidak kemana-mana kok. Mama di rumah aja nemanin kamu hari ini," balas Nyonya Anita. 'Sierra tidak boleh tahu tentang penyakitku. Aku tidak ingin ia khawatir dan memikirkan biaya untuk berobatku nanti,' batin Nyonya Anita yang membuat Ling Er terhenyak mendengarkan isi hati ibunya itu. 'Mama ….' batin Ling Er sedih. 'Aku harus menyembuhkan penyakitnya, tapi dengan kondisiku sekarang bagaimana caranya aku mencari uang?' "Lain kali kamu ada yang tidak mengerti tanya sama Mama ya. Tidak perlu malu, paham?" ujar Nyonya Anita membuyarkan lamunan Ling Er. "Iya, Ma," jawab Ling Er pelan. "Hachiiuu … Hachiuuu …." Ling Er mengusap-usap hidungnya karena bersin tadi. "Tuh kan kamu jadi masuk angin gara-gara berdiri di depan kipas tadi. Lain kali gak boleh begitu, paham?" ucap Nyonya Anita mengingatkan Ling Er layaknya seorang anak berumur lima tahun yang diomelin ibunya. Ling Er hanya menyengir mendapatkan omelan dari ibunya itu. "Ayo makan dulu," ajak Nyonya Anita. Ling Er mengangguk dan mengikutinya ke meja makan. Ling Er segera mengisi piringnya dengan nasi dan lauk pauk yang disediakan ibunya. Ia memakannya dengan lahap. Nyonya Anita menggeleng-geleng melihat sikap putrinya. "Ra, menurutmu Rey bagaimana?" Nyonya Anita menanyakan pendapatnya kepada putrinya mengenai Rey. Ia dapat melihat kalau pria itu menyukai putrinya, tetapi ia tidak ingin lagi memaksa putrinya seperti dulu. "Rey? Dia baik," jawab Ling Er sambil mengunyah makanannya. "Apa kamu menyukainya?" Ling Er tersedak dengan pertanyaan ibunya itu. Ia menepuk-nepuk dadanya pelan. Nyonya Anita menyodorkan minuman kepada putrinya itu dan Ling Er segera meminumnya. "Kamu ini … seperti anak kecil saja makannya," omel Nyonya Anita. Setelah makanannya turun dengan sempurna dari tenggorokannya, Ling Er menghela nafas pelan dan menatap ibunya. "Ma …." Nyonya Anita membalas tatapan putrinya itu dengan lembut. "Baiklah, Mama tidak akan memaksamu, tetapi kamu mungkin bisa mempertimbangkannya," ucap Nyonya Anita melanjutkan makannya yang tertunda. Ling Er hanya menghela nafas mendengarkannya. Ia tidak memiliki perasaan apapun terhadap Rey. Hatinya masih dipenuhi dengan Qi Feng. Sekarang ia hanya ingin bertemu dengan Alex untuk memastikan bahwa pria itu bukanlah Qi Feng yang ia kenal. Walaupun ia tahu hatinya akan sakit, tetapi ia tetap harus mencari tahu kebenarannya agar dia bisa mengubur cintanya dalam-dalam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD