Bab 11

1587 Words
Cahaya mentari pagi menggelitik kulit seorang gadis yang masih enggan untuk bangun dari mimpi indahnya. Ia hanya menggeliat di dalam tidurnya dengan mata masih terasa berat untuk dibuka. Pasalnya semalam ia tidak tidur hingga dini hari karena sibuk mencari lowongan kerja melalui iklan yang dipasang di surat kabar. Ling Er menguap dan menutup mulutnya dengan tangannya. Ia mengusap wajahnya, meregangkan tubuhnya dan beranjak dari tidurnya. Walaupun ia masih mengantuk, tetapi ia harus keluar hari ini. Ia bertekad akan mencari penghasilan untuk memberikan biaya pengobatan ibunya. Sebenarnya berdasarkan pengalaman yang dimiliki Sierra, ia bisa saja bekerja di perusahaan bonafid, tetapi sayangnya ia bukanlah Sierra. Ling Er hanya bisa mencari lowongan kerja sementara yang menggunakan fisik daripada otak. Ling Er segera bergegas keluar kamarnya menuju ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya dan menggosok gigi. Setelah itu, ia berganti pakaian dengan kemeja putih dan celana panjang hitam. Nyonya Anita menatap putrinya dengan heran. Ia mengernyitkan keningnya. "Kamu mau ke mana, Nak? Kok tumben rapi sekali?" "Oh, aku mau pergi wawancara kerja, Ma," jawab Sierra sambil mengambil satu sendok nasi ke dalam piringnya, kemudian mengambil beberapa lauk dan memakannya dengan lahap. "Kamu kan baru keluar dari rumah sakit kemarin. Istirahat di rumah saja dulu," ucap ibu Sierra khawatir. "Gak pa-pa, Ma. Kakiku sudah baikan asal tidak dipakai berlari tidak apa-apa kata dokter. Lagian kalau aku di rumah saja, bosan juga. Lebih baik aku kerja sambil mengenal beberapa teman dan lingkungan," timpal Ling Er. Nyonya Anita sempat menceritakan kepada gadis itu bahwa gadis itu dipecat dari pekerjaan lamanya karena kecelakaan yang ia alami, sehingga sekarang dia menjadi pengangguran sekarang. Namun, ia tidak menyangka bahwa putrinya akan mencari pekerjaan secepat ini. "Memangnya kamu sudah tahu jalan di sekitar sini?" tanya ibunya lagi yang masih mencemaskannya. "Tenang, Ma. Kan ada ini," balas Ling Er sambil mengangkat ponsel yang diberikan Rey kepadanya kemarin. Rey memang sudah menjelaskan cara penggunaan ponsel itu, termasuk penggunaan GPS sebagai penunjuk jalan. "Tapi—" "Sudah, Ma. Jangan khawatir, oke? Aku pergi dulu ya," sela Ling Er segera beranjak dari tempat duduknya. Nyonya Anita menatap kepergian putrinya dengan cemas. Ling Er berjalan keluar rumahnya sambil memperhatikan ponselnya. Ia mencari alamat yang dituju dan GPS pun menunjukkan jalan dengan alat itu. "Ini sih lumayan jauh juga ya. Apa sebaiknya aku cari di daerah sekitar sini aja dulu ya?" gumam Ling Er melihat lokasi untuk wawancara kerjanya yang cukup jauh dari lokasinya sekarang. Ia pun memutuskan berjalan menuju pusat kota dan memasuki beberapa restoran di sana, tetapi ia selalu ditolak karena tidak mempunyai pengalaman apapun. Gadis itu pun melangkah keluar dari sebuah restoran bintang lima. Ia menghela nafas pelan. "Aarrgh …!" Ling Er mengacak-acak rambutnya kesal. Ling Er meninju kepalan tangannya ke udara. "Semangat Ling Er. Kamu pasti bisa!" teriaknya di depan restoran itu. Tanpa ia sadari, seorang pria telah memperhatikannya sejak tadi dan tersenyum melihat tingkahnya. "Tuan Kim," panggil seseorang di samping pria itu yang mengalihkan perhatiannya. "Ah, maaf Tuan Smith. Mari kita lanjutkan pembicaraan kita," ucap pria itu yang tidak lain adalah Alex. Sejak Ling Er memasuki restoran itu, Alex terus memperhatikannya, sehingga membuat konsentrasinya terpecah ketika sedang berunding dengan kliennya saat ini. Setelah menyelesaikan perundingannya dengan kliennya, Alex meminta Mark untuk mencari tahu apa yang dilakukan gadis itu tadi di restoran. Mark pun mencari manager restoran itu dan menanyakannya, lalu ia kembali melapor ke tempat Alex. "Bos, Nona Sierra kemari karena sedang melamar pekerjaan di sini, sayangnya dia ditolak karena belum memiliki pengalaman," lapor Mark. Alex memegang dagunya dan manggut-manggut mendengarkan laporan Mark. 'Aneh. Gadis itu bukannya baru saja keluar rumah sakit kemarin. Kenapa dia begitu terburu-buru mencari pekerjaan?' batin Alex. "Di mana Rey sekarang?" tanya Alex penasaran karena sejak tadi pagi ia belum melihat batang hidung asistennya yang satu itu. "Hari ini Rey menggantikan Anda untuk membahas kerja sama dengan perusahaan Emerald. Jadwalnya berbenturan dengan Tuan Smith, jadi Rey yang ke sana," lapor Mark lagi. Alex kembali manggut-manggut. "Untuk produk perhiasan terbaru kita, apakah sudah meluncur di pasaran? Apa sudah ditentukan siapa yang menjadi modelnya?" tanya Alex lagi. "Em … itu …." Mark terlihat ragu untuk menyebutkan nama model yang akan memakai perhiasan mereka nanti. Kedua alis Alex bertaut. Ia menatap Mark dengan tajam. "Apa ada yang kamu sembunyikan dariku?" "Maaf, Bos. Bukan saya ingin merahasiakannya, tapi …." "Tapi apa?" tanya Alex dengan dingin. Mark menghela nafas pelan, "Model untuk pemotretan perhiasan baru kita kali ini adalah Nona Angel, Bos," ucap Mark pelan. Ia hanya bisa pasrah menerima amarah Alex nanti. "Siapa yang memutuskannya? Kenapa aku tidak mendapatkan laporannya?" cecar Alex dengan tajam. Rahangnya mulai mengeras, ia begitu murka tatkala posisinya sebagai Direktur Utama tidak mendapatkan informasi itu dan merasa diabaikan oleh bawahannya. Mark menelan salivanya dengan bersusah payah. "Tuan Gavin yang memutuskan hal itu. Saya ingin melaporkannya kepada Anda, tetapi beliau sudah menandatangani kontraknya dengan pihak agensi Nona Angela." Alex mengepalkan kedua tangannya erat dan memukul meja di depannya dengan salah satu tangannya. "Saya tidak mau hal ini terulang lagi, Mark. Segera putuskan kontrak kerjasamanya! Bayarkan kompensasinya segera!" perintah Alex yang penuh dengan ancaman. Alex memejamkan matanya erat dan mencubit pangkal hidungnya. Pria itu tidak ingin berhubungan lagi dengan Angel bahkan di dalam hal pekerjaan sekalipun. "Baiklah," ucap Mark menyanggupi perintah atasannya itu dan segera menghubungi Divisi Perencanaan dan Pemasaran. ° ° ° Ling Er melangkah dengan gontai, pasalnya ini sudah ke sepuluh kalinya ia ditolak hari ini. Ia sudah mencoba melamar di berbagai tempat, seperti di restoran bintang lima, restoran siap saji, toko buku, bahkan agen jasa pengiriman pun tidak ada yang ingin menerimanya. "Padahal aku hanya ingin mencari penghasilan tambahan untuk membantu ibu, kenapa begini susah?" keluhnya sendiri. Berbagai alasan ia dapatkan, dari minimnya pengalaman, tidak bisa menggunakan kendaraan roda dua, bahkan dari wajah pun ia dikritik. Ling Er menghela nafas pelan mengingat pemilik toko buku yang baru saja ia datangi. Pemiliknya seorang wanita tua yang tidak suka dengan wanita berparas cantik, alasan yang sungguh konyol menurutnya. Ling Er mengelus perutnya yang sudah meminta untuk diisi. Ia ingin segera kembali ke rumah, tetapi rasanya ia tidak akan sanggup berjalan. Kakinya pun terasa sakit. Gadis itu melihat warung makan yang berada di dekatnya. Ia merogoh saku celananya yang hanya ada beberapa sen di dalamnya. 'Apa cukup untuk beli makan di warung makan itu ya?' batin Ling Er sambil menelan salivanya pelan. Ling Er memantapkan hatinya untuk masuk ke dalam warung makan itu. Ia melihat sekeliling tempat itu yang ternyata tidak begitu ramai. Ia mencari tempat duduk yang kosong dan segera menduduki tempat itu. Salah satu pelayan wanita datang menghampirinya dan memberikan buku menu kepadanya. "Silahkan segera pesan menunya, makanan akan segera disiapkan jika sudah melakukan pembayaran di kasir," ucap pelayan wanita itu dengan nada yang tidak biasanya. Nada yang tidak ramah menurut Ling Er. Pelayan wanita itu melihat wajah kusut Ling Er dan menatapnya seolah merendahkan dirinya. "Apa sudah menentukan pilihannya?" tanyanya lagi dengan ketus. Ling Er mengeluarkan recehan di tangannya. "Apa yang bisa aku pesan dengan uang segini?" tanya Ling Er yang tidak merasa tersinggung sama sekali. Pelayan wanita itu menaikkan satu alisnya dan menghela nafas pelan. "Nona, kami di sini bukan yayasan amal. Jika tidak punya uang, silahkan Anda keluar dari sini!" ucap pelayan wanita itu dengan nada yang meninggi, mengundang perhatian semua pengunjung yang berada di sana. "Ada apa lagi, Yumi?" tanya seorang wanita yang keluar dari dalam ruangan. Pelayan wanita itu sama sekali tidak merasa bersalah akan tindakannya. "Ma, gadis ini mau makan gratis di sini. Aku hanya mengusirnya saja," ucap pelayan wanita yang dipanggil Yumi itu. "Kamu ini! Sudah berapa kali saya katakan, sikapmu lembut sedikit kalau bicara dengan tamu!" hardik wanita itu yang dipanggil mama oleh Yumi. Ling Er sedikit kaget dengan sikap ibunya Yumi. Ia pun menyela, "Maaf, Bu. Yumi benar. Saya memang tidak punya banyak uang, jadi wajar saja jika dia mengusirku." "Hei, jangan sok baik deh. Sok kenal aja manggil-manggil namaku," ujar Yumi kesal. Ibu Yumi langsung memukul kepala anaknya dengan tangannya. "Sudah dibilang yang sopan!" balas ibu Yumi kesal dengan sikap putrinya. Yumi hanya menggerutu sebal dan menggosok kepalanya dengan tangannya. "Mama kalau begini terus sampai kapan warung makan kita bisa maju," gerutu Yumi dan beranjak pergi melayani tamu yang lain. Ibunya Yumi hanya menggeleng dan menghela nafas pelan. "Maafkan anakku ya, Nona. Dia memang kalau bicara gak ada remnya," ucap wanita itu sambil tertawa kecil. Ling Er pun tersenyum mendengarkan ucapannya. "Apa ada yang mau dipesan?" tanya wanita itu lagi kepada Ling Er. "Tante, saya memang tidak punya uang. Hanya ada segini. Jadi wajar saja jika Yumi marah dan mengusirku tadi," jawab Ling Er dan segera beranjak dari duduknya. Wanita itu menatap Ling Er dengan iba, kemudian ia tersenyum. "Kamu tunggu di sini. Tante siapkan makanan untukmu," ucapnya. "Tapi, Tan … te .…" Ling Er belum sempat menolaknya, wanita itu sudah masuk ke dapur. Ling Er memperhatikan sekelilingnya yang keadaan ruangan yang cukup memprihatinkan. Hanya beberapa tamu yang makan di sana, bisa dilihat dari pakaiannya kalau mereka juga hampir memiliki kondisi keuangan yang sama dengannya. Tidak berapa lama, ibu Yumi keluar dan menghidangkan semangkuk mie dengan topping telur di atasnya. Walau hanya semangkuk mie, tetapi aromanya begitu menggoda. Ling Er memperhatikan makanan di depannya. Ia menelan salivanya dengan pelan. "Makanlah," ucap ibu Yumi. Ling Er pun segera melahap makanan itu tanpa sungkan lagi karena rasa lapar yang menderanya saat ini. Ibu Yumi melihatnya dengan tersenyum puas dan meninggaĺkan Ling Er di meja itu. Baru kali ini Ling Er memakan mie yang begitu enak dan menggugah seleranya. Walaupun makanan yang disediakan oleh dapur istana begitu mewah, tetapi tidak pernah ia merasakan makanan yang selezat sekarang ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD