Enam

1661 Words
"Aku pergi dulu, Mom," pamit Marsha. Ia sudah membiasakan diri memanggil Catherina Mommy. Tak terasa satu bulan sudah, ia hidup dan tinggal di rumah Catherina. Mengisi kehidupan dengan tawa dan kasih sayang. Kasih sayang tulus dari wanita paruh baya yang bukan ibunya, bahkan bukan pula sanak saudaranya. Meski begitu, kesedihan tak luput dari ingatannya. Sampai Mommy barunya memarahi dirinya yang terkadang sering melamun. kepedulian Catherina tidak berhenti di sana, terlalu pedulinya, Mommy barunya itu mendatangkan psikolog untuk dirinya. Dengan dalih untuk kesehatan mentalnya yang selama ini tertekan akan masalah. Diantara satu bulan itu juga, ada satu hari ia mencari kejelasan di kantor tempat ia bekerja. Kenapa ia bisa di pecat begitu saja? Surat pemecatan lewat surat tanpa pesangon. Hasilnya, jawaban tidak memuaskan ia terima. "Kau yakin, sayang?" ujar Catherina, merasa tak rela ditinggal oleh orang yang sudah dianggapnya anak sendiri meski baru kenal sebulan yang lalu, entah kenapa ikatan itu terasa sudah sangat lama. Marsha tersenyum. "Mommy tidak perlu khawatir. Aku akan menjaga diri di sana, lagipula aku masih di Indonesia. Itu tidak jauh, Mom." Catherina mengangguk, walau matanya berkaca. "Kamu benar, Mungkin Mom akan sering-sering berkunjung ke sana." Mendengar pernyataan Catherina, Marsha menggelengkan kepalanya. Tanda ia tidak menyetujuinya. "Tidak, Mom. Pekerjaan Mom butuh Mom di sini. Tidak baik sering meninggalkannya. Banyak orang yang bergantung pada Mom, ingat?" Catherina berdecak kesal atas celotehan Marsha. "Baiklah, Sayang," pasrah nya kemudian dan ditanggapi senyuman oleh Marsha. Memang Catherina bukanlah orang biasa. Ia memiliki sebuah perusahan yang tengah berkembang pesat saat ini. Perusahaan property, peninggalan sang suami. Hidup Catherina hampir mirip seperti Marsha, anak yang tidak diinginkan orangtuanya. Ia dibuang begitu saja. Ditinggal di suatu tempat saat berusia 7 tahun, tanpa rasa kasihan sedikitpun. Beruntung seorang wanita dan pria paruh baya yang kerjanya sebagai penyapu jalanan menolongnya. Memberinya tempat berteduh dan menyekolahkan sampai kejuruan atas. Kemudian melanjutkan pendidikan, kuliah di salah satu universitas ternama di Jakarta tanpa biaya sedikitpun. Berkat kepintarannya Catherina bisa mendapatkan beasiswa. Hingga bisa bekerja di perusahaan ternama, lalu menikah dengan pemilik perusahaan tersebut. Seorang pebisnis muda yang handal. Sayangnya, baru setahun pernikahan mereka, sang suami pergi meninggalkannya. Berpisah untuk selama-lamanya. Padahal mereka belum dikaruniai anak. Karena sang suami berstatus anak yatim dan tidak memiliki sanak saudara lain. Jadilah perusahaan tersebut menjadi milik Catherina seutuhnya. Dan sampai sekarang, Catherina tetap setia pada suaminya. Ia tidak berniat menikah lagi. "Keretanya akan segera berangkat, Mom. Aku pergi dulu. Jaga baik-baik dirimu di sini ya, Mom." Mereka berpelukan untuk terakhir kalinya. Sebelum Marsha memasuki gerbong kereta dengan membawa tas pemberian keluarganya kemarin. Yang jelas, berisi semua pakaiannya. Marsha menolak segala pemberian Catherina, merasa tak berhak. Meski Catherina sudah menganggapnya anak sendiri, tetap saja rasa tak enak hati itu ada. Tapi kali ini Marsha tidak lolos untuk menolak pemberian Catherina ketika Catherina memaksa dirinya menerima uang pemberian wanita berusia lima puluhan tersebut. Dengan dalih, untuk memenuhi kebutuhan selama dirinya belum dapat pekerjaan di kota sana. "Hati-hati sayang. Sampai di sana telepon Mom yaa!" teriak Catherina seraya melambaikan tangannya, yang diangguki Marsha. "Siap, Mom!" Kereta telah berjalan. Butuh waktu setidaknya sembilan jam untuk tiba di kota tujuan. Yogyakarta. Marsha akan meninggalkan Jakarta. Meninggalkan semua hal yang membuatnya hanya ingat tentang luka. Rumah ia tak punya, pekerjaan pun sudah kandas. Pemecatan di lakukan tanpa tahu salahnya. Alasan yang buruk, karena ia absen satu kali tanpa kabar. Ck. Ketika kekuasaan berkuasa apapun bisa terjadi. Tapi sudahlah, ia lebih baik membuka lembaran baru. Menenangkan diri dan mulai melupakan semuanya. Kenangan buruk di Jakarta. Marsha masuk ke dalam gerbong, mencari tempat di mana ia harus duduk. Matanya tertuju pada kursi depan pojok gerbong dekat jendela, sesuai nomor kursi yang ia terima. "Permisi, bisa sedikit kau singkirkan kakimu?" pinta Marsha. Seorang pria berhodie abu-abu itu menoleh lalu tersenyum dengan mata berbinar ke arah Marsha dan bergumam pelan, "Angel." Dahi Marsha mengkerut, bingung melihat keterdiaman pria di hadapannya. "Kau baik-baik saja?" tanya Marsha seraya mengibaskan tangannya di depan muka pria itu. "Hah,iya. Aku baik-baik saja." Gelagap si lawan bicara yang kini menampilkan senyum pepsodent nya. Marsha tersenyum kecil sebagai balasan. "Aku ingin duduk." Terkesiap, pria itu langsung berdiri dari duduknya, mempersilahkan Marsha duduk di tempatnya-dekat jendela- seraya tersenyum konyol. Mungkin salah tingkah, duduk bersama perempuan cantik? Yah, berlagak suci. Padahal, pasti pacarnya banyak, pikir Marsha. "Ah ya, perkenalkan namaku Marcel." Pria yang ternyata bernama Marcel mengulurkan tangannya. Berniat berkenalan. Marsha pun menyambut uluran tangan tersebut. "Marsha." "Wah, nama kita mirip ya. Mungkin ini yang namanya jodoh." Marcel terkekeh dengan ucapannya sendiri, ia tak menyangka bisa bertemu wanita cantik apa adanya ini. "Rayuan yang gagal," gumam Marsha. "Jangan khawatir, aku punya banyak sekali rayuan yang berkualitas, kau pasti menyukainya, sampai fikiran dan hatimu selalu ada Aku," promo Marcel. Cocok menjadi sales teratas. Marsha menggeleng ringan. "Kalau begitu aku tidak mau mendengarnya," balas Marsha sembari menutup kedua telinganya. "Kenapa begitu, sih," rajuk Marcel. "Hahaha," tawa Marsha menggema dalam kereta, tingkah lucu Marcel serta wajah cemberut yang dibuat seimut mungkin, terlihat sangat menggemaskan. Bayangkan saja, seorang pria bertubuh proporsional, terlihat misterius dengan pakaiannya ternyata seorang yang humoris dan perayu ulung. Ckck. Marcel terdiam. Ia terpana. Baginya tawa Marsha, sesuatu yang tidak boleh dilewatkan. Yang pasti ia suka melihat perempuan itu tersenyum. Terasa lebih hidup. Bukan tatapan kosong dan syarat akan kesedihan, luka dan juga derita seperti saat keduanya tak sengaja bertabrakan di depan toilet stasiun tadi. Perempuan di sebelahnya mungkin tidak ingat tapi jelas ia mengingatnya. Entah kenapa diawal pertemuan ia mengagumi perempuan ini. Hatinya seolah tergerak. Apapun masalahnya, ia tahu, Marsha butuh sandaran, butuh penghibur, butuh penolong, butuh support yang jelas akan di tolak mentah-mentah. Perempuan itu tidak akan mau mengakui, karena pasti tidak ingin dilihat lemah oleh orang lain. Yang ada saat ini hanya kepura-puraan, sandiwara dan Marcel sangat tidak menyukainya. Jika Tuhan mengizinkan, ia ingin menjaga Marsha sampai perempuan itu hidup bahagia yang sesungguhnya bukan hanya pura-pura dan kalau bisa kebahagian itu ada hanya ketika bersamanya. Amin. Hah, tertarik pada pandangan pertama itu cukup merepotkan. Bersama Marcel perjalanan jauh pun tidak terasa. Sifat humoris yang pria itu miliki membawa pengaruh positif untuk diri Marsha. Hingga ia sendiri lupa akan kepedihan hidupnya untuk sementara. Setelah menempuh perjalanan selama sembilan jam , keduanya sampai di kota Yogya. Marsha tidak menyangka, jika Marcel memiliki tujuan yang sama dengannya. "Kau akan pergi ke daerah mana, Marsha?" "Aku tidak tahu." Marcel terkejut. "Kau tidak tahu? Bagaimana bisa?" Marsha tidak menjawab, kepalanya terasa pusing seketika sejak ia turun dari kereta. "Hey, kau kenapa?" Marcel panik, melihat Marsha akan limbung. Marcel pun menarik Marsha bersandar padanya sebelum terjatuh ke lantai kemudian menepuk-nepuk pipi Marsha, berharap wanita itu bangun dari pingsannya. Tidak menunjukkan tanda apapun, Marsha sadar, Marcel menggendong Marsha menuju pintu keluar stasiun guna mencari taksi. Ia sama sekali tidak perduli pandangan orang-orang terhadapnya, tujuannya hanya satu, membawa Marsha ke rumah sakit segera. *** Marcel menatap dalam diam Marsha yang masih belum sadarkan diri. Banyak hal yang berkecamuk dalam pikirannya. Tapi ia tidak ingin berspekulasi buruk. Apalagi terhadap perempuan yang baru dikenalnya. Firasatnya berkata, mungkin hal inilah yang membuat wanita ini memiliki sorot mata yang redup. Syarat akan kesedihan. Mungkin juga, karena masalah dengan suaminya. Entahlah. Marsha mengerjapkan matanya, pandangannya tertuju pada Marcel yang menatapnya intens dalam diam di kursi disebelahnya. "Kau sudah bangun?" "Ini di mana?" tanya balik Marsha tanpa menjawab pertanyaan Marcel. "Rumah sakit." "Rumah sakit?" "Iya, kau pingsan tadi, Marsha." "Ah, iya. Kau seharusnya tak perlu repot membawaku ke rumah sakit. Aku pasti kelelahan saja," ucap Marsha lemah. Yang sendiri merasa ragu dengan kondisinya saat ini. Seperti ada sesuatu yang mengganjal. Tapi apa? Ia tidak tahu. "Kau benar, kalian kelelahan." "Kalian?" Dahi Marcel mencetak kerutan mendengar pertanyaan dari Marsha. "Kau tidak tahu?" Marsha menggelengkan kepalanya. "Aku tidak mengerti maksudmu?" "Kau hamil, Marsha. Bagaimana bisa kau tidak tahu?" gemas Marcel, ia pun sampai berdiri dari duduknya sambil mengusap wajahnya kasar. Marsha terkejut, spontan ia bangun, terduduk di atas bankar rumah sakit seraya memegang perut ratanya. "A-ku ha-mil." "Iya, kau hamil. Ada nyawa dalam rahimmu." "Kau pasti bercanda, Marcel." Mengalir sudah air mata Marsha, ia cukup shock mendengar berita ini. Andai ia memiliki suami, kebahagian pasti dirasanya bukan malah kesedihan. Kesedihan yang bertambah. Sedih bukan karena anak dalam rahimnya, tapi bagaimana hidup anak ini nanti? Ia tak bisa membayangkan, hinaan dan cacian orang untuk calon anaknya yang bahkan tidak mengerti apapun, tidak bersalah juga, tapi mulut beracun orang lain tidak akan peduli hal itu. Dan lagi, anak ini nanti tidak akan mendapat kasih sayang seorang ayah. Oh, Tuhan. Kau harus jadi orang kuat, nak! Ibumu bersamamu. Merasa iba, Marcel membawa Marsha dalam pelukannya. Ia mengelus surai panjang Marsha, sedikit berusaha menenangkannya. "Tidak ada gunanya aku bercanda tentang hal ini, Marsha." "Bagaimana bisa?" lirih Marsha. "Hanya kau dan calon ayah dari bayimu yang tahu. Bagaimana ini bisa terjadi, Marsha? Suamimu harus tahu." Marsha mendongak, menatap Marcel. Ia menggelengkan kepalanya. "Ayahnya tidak akan menginginkannya, Marcel. Dia membenciku. Dia juga yang memintaku pergi menjauh darinya." Berbicara pada Andrean, tidaklah memungkinkan. Pria itu tidak akan peduli. Bisa jadi, bukan mendapat pertanggung jawaban malah ia akan kehilangan anaknya karena digugurkan secara paksa. Ia tidak menginginkan itu terjadi, biarlah ia yang merawat anak ini seorang diri. Begitu banyak pertanyaan menghampiri Marcel atas penuturan Marsha tadi. Tapi ia tidak memiliki hak untuk bertanya lebih lanjut. Rasa penasaran dan curiga itu ia singkirkan, karena dalam hatinya mengatakan jika Marsha adalah perempuan baik, wanita baik-baik. Ia percaya itu. "Anak ini tidak bersalah, aku akan membesarkannya walau seorang diri. Aku pasti bisa." Marcel menangkup wajah Marsha, menghapus air mata wanita itu yang mengalir deras di pipi. "Aku tahu kau pasti bisa, Marsha. Kau tidak sendiri ..." Marcel tersenyum tipis, Tuhan telah mendengarkan do'anya, Dia mengizinkannya untuk terus bersama Marsha. Menjaga wanita itu sampai menemukan kebahagiannya nanti. Dan Tuhan, apakah kau juga mengabulkan do'a ku yang lain, Bahwa kebahagian Marsha ada ketika hanya bersamaku? Mungkinkah? "... aku akan selalu menemanimu. Terus berada di sampingmu di setiap keadaanmu. Aku janji." Bukan hanya sekedar ucapan yang spontan keluar, itu adalah ucapan tulus dari dalam hati. Marcel meyakini itu. "Terima kasih, Marcel."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD