Jika kau bertanya tentang kisah bahagiaku, jangan harap aku menceritakannya. Ingat pun tidak. Tapi jika kau bertanya tentang kisah sedihku, aku bisa menjabarkannya sampai kau bosan. Sampai kau lelah dan menjauh, karena aku tahu.. Kau tidak sungguh-sungguh mengerti, hanya akan menganggap remeh kisahku.. Apa aku benar?
Marsha berdiri di depan rumah yang menyimpan banyak kisah untuknya. Entah itu suka atau pun duka. Sungguh, ia merindukan rumah ini.
Marsha mengetuk pintu kayu itu beberapa kali. Kalau saja tidak dikunci, ia bisa langsung masuk kedalam.
Tak lama kemudian pintu terbuka, menampilkan sosok sang ibu. Ibu yang telah mengandung dan melahirkannya.
Tidak ada senyuman.
Tidak ada tatapan kerinduan.
Itu sudah biasa.
"Ibu."
Marsha mengulurkan tangan, meraih tangan sang ibu untuk menyalaminya. Namun, saat itu juga langsung ditepis kasar.
Sakit yang sudah biasa, hah!
"Tia bawakan tas itu kemari!"
"Ada apa ini, Ibu? Apa aku tidak boleh masuk? Aku sudah rindu rumah."
tidak ada jawaban.
"Tia cepat!"
Kebingungan melanda Marsha, hingga matanya menangkap sang kakak sedang membawa satu buah tas ransel. Marsha cukup tau tas itu. Tas lusuh yang dulu selalu menemaninya menimba ilmu.
"Berikan padanya!" perintah si Ibu pada Tia yang berada disebelahnya.
Tia melempar tas itu di bawah kaki Marsha seraya memandang sinis sang adik.
"Apa maksudnya ini, Ibu?" tanya Marsha.
"Kurasa kau bukan orang bodoh. Tas itu berisi seluruh pakaianmu."
Marsha kaget, menatap tak percaya pada ibunya. "Ibu."
"Kau tidak berhak lagi menginjakkan kaki di rumah ini," tegas sang ibu seraya bersendekap dan menyender di pintu.
"Kenapa Ibu? Kumohon jangan. Aku masih ingin di sini." Marsha meraih tangan Ibunya yang lagi langsung ditepis begitu saja.
"Bukankah calon suamimu kaya? Tinggal saja dengannya? Kau senang 'kan, akan jadi Nyonya di sana sampai lupa keluargamu?" Marsha menggelengkan kepalanya, menolak pemikiran sang ibu. "Kau bahkan tidak mau memberi uang kepada kami lagi, sombong sekali dirimu. Tidak ingatkah kau siapa yang membesarkan mu, hah?"
"Aku tidak punya uang Ibu, sungguh. Aku belum gajian," bela Marsha.
Tapi tetap saja, Ibunya tak mau tau.
"Pembohong, calon suamimu itu kaya? Mana mungkin kau tak punya uang? Dasar perempuan picik. Sekarang pergi dari sini, aku sudah muak denganmu. Pergi!" teriak ibunya sekali lagi.
"Tidak Ibu, biarkan aku di sini," mohon Marsha.
"Ayah bilang pada Ibu, aku ingin di sini." Ayah Marsha yang baru muncul akibat mendengar teriakan sang istri langsung melengos pergi begitu saja, menghiraukan permohonan putrinya.
Meski begitu Marsha tidak menyerah, ia memandang kakak dan adiknya. "Kakak, adi--"
"Cih, mengganggu saja. Ayo masuk, Kak!"
Belum sempat Marsha berbicara, kedua orang itu pun pergi. Mereka sama sekali tidak perduli padanya.
Air mata mengalir deras, ini lebih menyakitkan daripada perlakuan dua sahabatnya serta Andrean orang baru dikenalnya.
Marsha bersimpuh di kaki sang ibu, lagi dan lagi memohon berharap ibunya berubah pikiran tapi wanita paruh itu bergerak mundur kemudian menutup pintu cukup keras di hadapannya.
"Ibu!"
"Ayah!"
Marsha menggedor pintu, memanggil keluarganya. Meminta belas kasih.
"Kakak!"
"Adik!"
Pintu kembali terbuka.
"Ibu!" seru Marsha. Ternyata ada secuil harapan untuknya. "Terima--"
"Siapa yang mengijinkan mu masuk? Aku cuma mau memberikan sampah dari kantormu, nih."
Pintu ditutup dengan kasar lagi.
Marsha menangkap amplop putih lemparan dari ibunya, hatinya mencelos mendengar penuturan sang Ibu sendiri.
"Ibu!"
"Ibu, beri aku kesempatan!"
"Tolong, buka pintunya!"
"Aku tidak jadi menikah dengan siapapun, Ibu!"
"Aku sendirian! aku tidak punya tempat tinggal!"
"Tolong buka pintunya, Ibu!"
"Ibu!"
"Ibu!"
Terus berteriak memanggil, kian lama suara Marsha terdengar lirih. "Aku mohon." Perempuan itu menempelkan dahinya di pintu, tak berhenti menangis. Tangan terkepal nya terus saja menggedor pintu.
Namun, tetap saja hasilnya nihil. Tidak ada yang memperdulikannya. Hari ini, Ia diusir oleh ibunya sendiri. Miris.
Marsha mengambil tas ranselnya kemudian pergi dari rumah bersejarah untuknya.
Banyak tetangga yang menyaksikan, menatapnya prihatin tapi tidak ada satu pun yang berniat membantunya.
Tidak ada yang memperdulikannya. Cukup tahu saja.
Marsha berjalan sambil menunduk, menghampiri Catherina yang menungguinya di persimpangan jalan, di dalam kendaraan wanita itu sendiri.
Catherina keluar dari mobil saat matanya menangkap Marsha yang berjalan dengan lesu.
"Marsha."
Marsha mengurai senyum.
"Bibi," ucapnya dengan bergetar.
"Kau baik-baik saja, 'kan?"
Seketika itu Marsha menubruk tubuh Catherina, mendekap wanita itu erat dan menumpahkan seluruh airmata nya.
Catherina membalas pelukan Marsha sama eratnya. Ia pun membisikkan kata-kata menenangkan agar wanita yang tengah memeluknya ini tenang.
Setelah dirasa cukup, Catherina mengurai pelukannya kemudian menghapus air mata Marsha lalu menggiring wanita itu masuk ke dalam mobilnya.
***
"Tuan, dia sudah pergi. Kita telah mengusirnya."
"...."
Suara dari seberang telepon membuat senyum terbit di wajah mereka semua.
"Kita tunggu transferan yang kau janjikan, Tuan."
"...."
"Baik, Tuan. Terima kasih."
"Bagaimana ibu?" Acungan jempol di dapat sebagai jawaban.
Bersorak lah mereka.
"Lalu bagaimana dengannya?"
"Ibu sudah tidak peduli. Ibu sudah capek membesarkan anak itu, anak yang tidak diinginkan kehadirannya," ucap seorang yang di panggil ibu seraya melirik pria paruh baya yang juga melihatnya. Berkata seolah menyindir.
"Ya, ibu, kita bisa jalan-jalan!"
"Tentu saja, Nak."
Mereka yang gila uang rela memutus tali persaudaraan. Inikah yang disebut akhir zaman?
***
"Melihat keadaanmu sekarang, aku yakin keluargamu tidak peduli lagi padamu. Mereka tidak menginginkanmu," ujar Catherina yang duduk di balik kursi pengemudi. Sedikit banyak ia sudah tahu cerita anak ini di tengah keluarga. Cerita mengalir dari anaknya sendiri sebelum menuju ke rumah itu.
Tangan Catherina terkepal erat disetir kemudi. Melihat sosok Marsha sekarang, mengingatkannya akan masa mudanya dulu. Ia juga pernah mengalaminya dulu.
"Dibuang, ditinggalkan dan dilupakan. Sama saja dengan mimpi buruk."
Marsha diam, pandangannya kosong ke depan. "Tinggal lah bersamaku. Kita rubah hidupmu."
Tanpa menoleh pada Catherina, Marsha menjawab. "Tidak."
Catherina membuang nafasnya kasar, niat baiknya berulang kali ditolak. "Kau akan ke mana? Kau punya tujuan?"
"Tidak."
Kesal akan jawaban Marsha, Catherina memegang kedua bahu Marsha membalik tubuh ringkih itu agar menghadap ke arahnya.
Ditatapnya intens mata yang kini telah kehilangan sinarnya. "Katakan padaku, apa tujuanmu sekarang? rencana apa yang ada dalam otak cantikmu itu?" tekan Catherina.
"Aku ingin memulai hidupku dari nol. Hal yang sama yang dulu pernah Bibi lakukan. Aku yakin, sebelum Bibi seperti sekarang, Bibi bekerja keras bertahun tahun untuk menjadi seperti ini. Karena itu, aku ingin melakukan hal yang sama."
"Tapi--"
"Aku mohon ini pilihanku."
Ketidaksetujuan jelas sekali terlihat dari wajah Catherina. "Itu bukan hal mudah."
"Aku tahu. Harusnya sudah biasa. Selama ini aku menjalani hidupku juga bukan hal yang mudah." Senyum terbit di wajah Marsha, memberi keyakinan untuk Catherina.
"Baiklah, tapi kau harus berjanji padaku. Jika ada apa-apa, jangan ragu menghubungiku. Akan kuberi banyak kartu namaku nanti." Marsha terkekeh kecil melihat Catherina tertawa, kemudian ia mengangguk. "Dan ada lagi, mulai saat ini panggil aku Mommy, oke," lanjut Catherina. Untuk Catherina besar keinginan untuk punya anak. Sayangnya, Tuhan tidak menitipkan itu.
"Mom-mommy," gagap Marsha.
"Iya, Mommy. Itu wajib."
"Mommy," ucap Marsha, matanya ikut berkaca, ia terharu. Begitu pun dengan Catherina sendiri.
"Benar, katakan sekali lagi?"
"Mommy."
Dalam sekali tarikan, Catherina membawa Marsha dalam pelukannya. "Oh, putriku. Akhirnya aku memiliki seorang putri," ujar Catherina riang.
Setelah sekian lama hidup seorang diri, Catherina merasa benar-benar hidup. Berasa punya keluarga yang harus dijaga dan dilindungi.
Terima kasih Tuhan, kau telah mempertemukan aku dengannya. Mengingatkan aku tentang siapa aku dulu. Tetap rendahkan hatiku, jangan buat aku lupa diri.
"Mommy, besok antar aku ke stasiun yaa." Saat ini Catherina tengah melajukan kendaraannya, membelah jalan ibu kota.
"Secepat itu?"
Marsha memberi pandangan menyesal kearah Catherina.
"Tinggal lah sebulan di rumahku dulu. Kasihanilah wanita tua ini, Sayang."
"Mommy tidak terlihat tua," polos Marsha.
Catherina mencebik mendengarnya. "Mommy ini, lebih tua darimu tahu. Mau ya? please??"
Tak tega, melihat orang yang sangat baik baginya ini. Marsha pun mengiyakan.
Catherina menepuk puncak kepala Marsha seraya tersenyum lebar.
"Oke, putriku mari bangkit dan mulai hidup baru. Sama-sama kita hadapi dunia yang kejam ini. Aku tak sabar, membuat momen indah bersamamu. Putri besar ku!"
"Terima kasih, Mommy."
Mungkin baru beberapa jam kita mengenal. Tapi jauh dari itu, kau sangat mengerti akan diriku. Terima kasih, Mommy.