Empat

1588 Words
Bagai jatuh tertimpa tangga. Kian malang hidup Marsha. Ia memiliki keluarga tapi seolah ia sebatang kara. Ia bertemu orang baru tapi menyakitinya. Menghancurkan seluruh hidupnya. "Marsha." Adel, asisten rumah tangga Andrean. Tergopoh-gopoh keluar dari persembunyiannya menghampiri Marsha begitu mendengar suara kendaraan tuannya meninggalkan pekarangan rumah. Di sini memang hanya ia seorang. Datang di pagi dan sore hari untuk bersih-bersih dan menyalakan lampu. Itu tugasnya sementara, sebelum rumah ini di tinggali pemiliknya. Niatnya untuk pulang pun gagal waktu ia mendengar teriakan marah Andrean menggelegar di seluruh penjuru rumah. Ditambah suara minta tolong dari Marsha wanita yang baru di kenalnya dua hari yang lalu. Semakin menghalanginya untuk pulang. Namun, ia tidak bisa melakukan apapun untuk menolong Marsha. Ia tidak berdaya. Wanita tua sepertinya bisa apa. Ia sebatang kara. Siapa yang akan menghidupinya jika ia kehilangan pekerjaan? Marsha menatap Adel nanar. "Bibi ... tolong," pinta Marsha, sebelum kegelapan merenggut kesadarannya. *** Marsha mengerjapkan mata untuk menyesuaikan cahaya yang di terima oleh matanya. Ia menatap ke sekeliling. Kamar yang tak begitu luas dengan satu lemari sedang dan ranjang berisi kasur kecil yang ia tiduri. Rasa lega melingkupinya, ini bukan tempat itu. Bukan tempat yang menghancurkan hidupnya. Perlahan air matanya menetes. Dua kali ia di lecehkan. Harga dirinya di injak-injak tanpa rasa bersalah. Tanpa tahu apa salahnya hingga di perlakukan sedemikian rupa. "Marsha." "Bibi Adel," lirih Marsha, menjawab panggilan wanita paruh baya itu. "Aku dimana?" tanyanya setelah menghapus air matanya. "Kau tenang saja. Ini di rumahku. Aku tadi meminta tolong satpam di sana untuk membawamu ke sini." Berusaha kuat, Marsha mengukir senyum. "Terima kasih sudah menolongku, Bibi." Adel menggeleng. "Tidak, Nak. Harusnya aku yang meminta maaf padamu. Aku tidak bisa menolong mu dari tuan Andrean. Aku tidak berdaya, Nak. Aku seorang ibu, aku seorang wanita tapi aku tidak bisa menyelamatkan sejenis ku." "Sudah, Bibi. Aku tidak apa-apa." Marsha bangun dari tidurannya, kemudian mengelus bahu Adel. Menenangkan wanita itu dari tangisnya. "Perlakuan ini sudah biasa aku terima. Bukan masalah, Bibi. Aku bisa menghadapinya," ucap Marsha, ia tengah menguatkan hatinya sendiri. Ia bisa melewati semua ini. Ia bisa, meski sendiri. Walau dalam hatinya menangis. Tak apa, sudah lama ia berteman dengan luka. Adel menangkup sebelah pipi Marsha. "Aku mendengar semuanya," kata Adel, Ambigu. Tapi Marsha mengerti itu tanpa penjelasan lebih jauh lagi. "Apa Bibi percaya?" secepat kilat Adel menggelengkan kepalanya. Meski mengenal perempuan di depannya ini tak lama, Adel tahu. Marsha bukan orang jahat. Mata syarat akan luka tersebut, tak mungkin tega berbuat jahat pada orang lain. "Aku tidak tahu, Andrean mendapat kebohongan itu dari mana. Dan aku yakin sekali, jika ada orang dibalik semua ini. Orang yang memfitnahku agar aku hancur." Marsha terisak pelan, ia tak kuasa menahannya. Apalagi di depan orang yang menangis untuknya. Adel membawa Marsha dalam dekapannya. "Sedari awal aku tidak pernah mengenal dirinya, Bibi. Hanya satu kali pertemuan, dan itu, saat aku bertemu Griya dipusat pembelanjaan. Memberiku undangan pernikahan. Setelahnya tidak ada pertemuan kedua kembali, Bibi. Griya pergi sebelum hari pernikahannya lalu kedua orang tua Griya memintaku menggantikan putri mereka menjadi pengantin pengganti andai Griya tak kunjung kembali dan ditemukan. Mereka tak ingin malu karena undangan sudah terlanjur tersebar." Marsha mendekap erat tubuh Adel. "Awalnya aku menolak tapi mereka meminta balas budi atas kebaikan mereka padaku. Aku bingung. Tak ada yang bisa ku perbuat hingga aku mendapat semua perlakuan itu. Di tuduh dan di lecehkan Bibi. Kenapa dia melecehkan ku, Bibi? Lebih baik aku dipukul daripada dilecehkan begini. Kenapa Tuhan tidak menolongku? aku capek Bibi, aku capek harus berteman dengan luka. Sekali saja, aku ingin bahagia. Bahagia yang sesungguhnya." Adel mengelus surai Marsha, mencoba menenangkannya. "Kau berhak berbahagia, Marsha." Marsha mengurai pelukannya. "Aku tahu, bibi. Aku bersyukur tidak jadi menikah dengannya. Hidupku sudah penuh luka, aku tak mau lukaku bertambah hanya karena menikah dengannya. Aku lelah, Bibi." Marsha menghapus air matanya kasar. "Sebelum itu, aku ingin menemui seseorang dulu. Meminta kejelasan. Jika Andrean berkata demikian, berarti kemungkinan besar Griya sudah kembali, Bibi. Aku harus menemuinya." *** Siang hari, Marsha meninggalkan rumah kecil Adel dengan memakai pakaian bekas milik Adel. Pakaiannya sendiri sudah tak layak pakai terlalu banyak sobekan di sana-sini. Sekarang satu tujuan Marsha, rumah Griya. Namun sesampainya di sana, Marsha tidak dapat menemui Griya atau pun orang tuanya. Satpam penjaga bilang kedua orang tua Griya sedang berlibur keluar negeri. Sedangkan Griya sendiri belum pulang ke rumah. Bukankah ini aneh? Bagaimana bisa di saat anak tidak diketahui keberadaannya, orang tua malah bersenang-senang. Wah, hebat sekali! Marsha pun tidak menyerah. Ia kembali berjalan ke rumah salah satu sahabatnya juga yang berjarak tiga blok dari sini. Cukup jauh. Hah, Marsha pasti bisa. Semangatnya pada diri sendiri. "Kau gila. Kau dan pikiranmu memang gila. Pasti sekarang si Marsha tengah menderita. Dan parahnya lagi. Dia bisa-bisa dihabisi oleh Andrean. Wow! Akhirnya dendam kita terbalaskan setelah sekian lama." "Hahaha, tentu saja. Awalnya aku tidak ingin menuduhnya yang tidak-tidak cukup mengumpankan nya saja. Tapi ya mau bagaimana lagi? Aku juga harus menyelamatkan diriku sendiri, ditambah dengan kondisiku saat ini. Tau 'kan betapa seramnya ketika Andrean mengamuk? Aku tidak mau dihancurkan begitu saja olehnya." "Saat kau menyuruhku menghubunginya pada saat itu, dengan dalih menunjukkan kepedulian ku padanya, aku merasa ingin melempar mu ke laut. Kau tahu sendiri, aku muak dengannya. Cih, apalagi wajah sok polosnya itu. Aku benar-benar membencinya." "Biar dia rasakan, mungkin sekarang wanita itu menangis tidak berhenti-berhenti. Hahaha, mimpi buruk tetaplah mimpi buruk. Dia akan mendapatkan mimpi buruk selama hidupnya, aku yakin itu. Sungguh, Marsha yang malang dan Andrean yang bodoh." "Tapi kau jadi menikahinya?" "Ck, Kalau bukan karena laki-laki tak bertanggung jawab itu pergi, aku tidak mungkin menikah dengannya, menerimanya dulu pun karena terpaksa. Dia terlalu royal dan bodoh." Tubuh Marsha bergetar mendengarnya. Ternyata selama ini dua orang terdekatnya telah mengkhianati nya. Mereka dengan begitu tega menjebak dirinya. Bagus sekali. Drama yang hebat. Jika saja tadi ia masuk dengan mengetuk pintu. Pasti semua ini tidak sampai ke telinganya. Bersyukur pemikirannya tadi membawanya masuk tanpa mengetuk ketika pintu terbuka lebar. Haruskah ia bersyukur tentang satu kenyataan yang malah semakin menghancurkannya? Haruskah? Perlahan Marsha berbalik pergi. Tidak perduli walau wajahnya berderai air mata. Ia pun terasa tuli saat satpam penjaga berteriak memanggil namanya. Rasanya ia ingin menghilang dari muka bumi ini. Meninggalkan semua orang yang mungkin akan sangat bahagia dengan kepergiaannya. Siapa yang akan menangisinya? Tidak ada. Ia sendiri. Selalu sendiri. "Argh!" teriak Marsha, beruntung taman kompleks ini cenderung sepi. Berteriak pun tidak akan ada yang mendengar, jika ada tidak akan ada yang peduli juga. "Kenapa seperti ini, Tuhan! Salah apa aku padamu? Kenapa kau buat hidupku menderita begini? Aku hancur, Tuhan. Aku lelah," ucap Marsha setengah terisak. Ia duduk di atas rumput, menekuk kedua kakinya dan menenggelamkan kepala di atas lututnya. Marsha menangis sejadi-jadinya hingga tanpa sadar ia terlelap di sana. *** Matahari mulai menenggelamkan dirinya perlahan. Waktu akan berganti. Marsha mengerjapkan kedua matanya, menyesuaikan penglihatannya. Matanya mengedar ke sekeliling, membawa ingatan tentang beberapa jam yang lalu. Hatinya bagai ditusuk ribuan kali oleh benda tajam tak kasat mata. Sakit. "Kau sudah bangun?" Marsha mendongakkan kepalanya, seorang wanita paruh baya yang tampak anggun dan terlihat muda, menghampiri dirinya seraya membawa satu bungkus kresek sedang berlogo khas supermarket. "Anda siapa?" tanya Marsha. "Catherina Wilson." Dahi Marsha mencetak garis-garis di sana, ia bingung. "Aku melihatmu berlari sambil menangis dari balkon rumahku. Entah, ada hal apa? Kakiku membawaku mengikuti mu. Ya disini lah aku sekarang." "Ini." Seseorang yang mengaku bernama Catherina Wilson itu menyodorkan sebungkus roti dan juga satu botol jus. "Aku tahu kau lapar. Makanlah. Jangan khawatir, aku bukan orang jahat." Walau sedikit ragu Marsha menerimanya kemudian memakannya. Sama halnya dengan Marsha, Catherina pun juga memakan roti ditangannya. Keduanya duduk bersama menikmati waktu sore yang sebentar lagi habis. "Hari yang berat." Marsha memandang Catherina yang menatap ke arah lain. "Setiap orang mempunyai masalah masing-masing. Berat tidaknya masalah itu tergantung si penerima masalah menyikapinya. Masalah bisa diselesaikan. Masalah juga bukan takdir yang tidak bisa berubah. Anggap saja, masalah adalah hiasan dunia. Tanpa masalah dunia tidak akan menarik, terlalu monoton. Apa kau mau hidup yang biasa-biasa saja tanpa rintangan?" Catherina menoleh, matanya menatap mata Marsha dalam."Kau harus menjalani apa yang Tuhan ujikan padamu." Wanita itu menepuk bahu Marsha seraya mengembangkan senyum di wajahnya. "Kau harus kuat. Jangan menjadi lemah, meski hatimu ingin kau menyerah dan otakmu mengacaukan pikiranmu. Jangan kosong. Kau harus ingat, Tuhan mu tidak akan memberi hambanya ujian melebihi batas kemampuan hambanya." Sejenak Marsha tertegun, yang di ucapkan wanita di sebelahnya memang benar. Pikiran untuk menyerah tak harus ada dalam otaknya. Ia harus kuat, ia tak mau mentalnya mengusik dirinya. "Aku bisa membantumu, percaya padaku. Tinggalkan semua luka dan mulailah hidup yang baru. Tunjukan pada mereka kau bukan orang yang lemah, kau bisa berdiri tegak tanpa mereka." Marsha kembali menjatuhkan air matanya. "Aku tidak tahu seperti apa luka yang kau terima tapi melalui matamu aku tahu luka itu sangat dalam. Ikutlah denganku, kita akan mulai merubah hidupmu." "Kenapa kau baik padaku? Tulus atau kau datang hanya untuk menambah lukaku?" Wajar, jika Marsha mulai antisipasi dengan orang baru. Ia hanya tak ingin ada luka lagi. "Sebagai orang yang pernah ditinggalkan, dijauhi, dimusuhi tanpa tahu salahnya. Apa benar jika harus memberi luka pada orang lain? padahal diri sendiri sudah tahu rasa sakitnya. Hmm?" Dari nada bicaranya, Marsha tahu jika orang di sampingnya berkata jujur. Bukan pula orang jahat, hatinya pun berkata demikian. "Aku masih memiliki keluarga." Catherina pikir wanita di sampingnya tak lagi berkeluarga dan hidup luntang lantung di jalanan. Ia salah menilai, ia terkecoh dengan baju lusuh yang wanita itu pakai. Catherina menghela nafasnya, sebelum berkata yang membuat tubuh lawan bicaranya terpaku. "Kau yakin mereka masih perduli padamu?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD