Tiga

1252 Words
Seorang perempuan bergelung dalam selimutnya dengan kondisi mengenaskan. Seluruh barang yang berada dalam satu ruang dengannya telah berhamburan, hancur dan tergeletak tak berdaya. Suara bel mengusik tidurnya, mata yang terlihat membengkak itu perlahan terbuka. Bangun dan terduduk dipinggiran kasur. Sejenak mengumpulkan kesadarannya sebelum beranjak membuka pintu apartemennya untuk tamu yang tidak tahu di untung. Berani sekali mengganggu tidurnya. "Huh, cleaning service tak bergu--" ucapan wanita itu terputus, yang dilihatnya kini tak sesuai perkiraan. Dia pikir cleaning service yang selalu datang di sore hari untuk membersihkan apartemennya tapi ternyata bukan. "Andrean." Ya, orang itu Andrean. Berkat orang-orang suruhannya, Andrean bisa menemukan seorang wanita yang akan mengacaukan pernikahan mereka berdua. Wanita yang dicintainya-Griya- Andrean mendorong Griya masuk lebih dalam ke apartemen dengan menutup pintu sekali sentak, membuat Griya tersadar dari keterkejutannya. "Kuharap kau bisa menjelaskan semuanya padaku, Griya." *** Tidak ada seorang wanita yang ikhlas hal berharga dalam dirinya direnggut paksa terlebih lagi oleh orang yang bukan suaminya. Bukan pasangan halalnya, melainkan orang asing. Begitu pun dengan Marsha. Dua hari ini setelah ia pulang bekerja, ia tak langsung pulang. Memilih berdiam diri di taman kota merenungkan nasibnya hingga malam menyapa. Pulang ke rumah larut di sambut cacian ibunya dan saudara-saudaranya. Ia tak ambil hati mengenai hal tersebut. Biasa baginya di tanggal tua. Toh, mereka akan masa bodoh dengannya nanti, ditanggal muda. Hah! Tidurnya pun tak lagi nyenyak. Dua sampai tiga kali ia tiba-tiba bangun dan tidak bisa kembali tidur. Mendekati hari H semakin membuatnya kehilangan fokus. Apalagi teror-teror pesan singkat ibu dari Griya terlalu mengusiknya. Mengancamnya agar tidak kabur, ia pun merasa selalu diawasi. Belum lagi hal ini belum ia beritahukan pada orang tuanya dan keluarganya. Ia bingung. Jujur, ia tidak menginginkan semua ini. Menghela nafasnya, Marsha merapikan meja kerjanya. Kemudian beranjak untuk ke tempat biasanya. Menenangkan diri. Sampai di luar kantor, sebuah mobil berhenti didepannya. Si pengendara keluar, dan berkata padanya tentang hal mendatangkan firasat buruk dalam hatinya ditambah pertemuan terakhir yang buruk. "Oh, Tuhan. Semoga tidak terjadi apa-apa." Do'a Marsha dalam hati. "Tuan Andrean ingin bertemu anda sekarang, Nona." *** Andrean membuka kasar pintu rumah yang ia siapkan untuk istrinya setelah menikah nanti. Wajah merah padam serta rahang yang mengeras. Terlihat sekali auranya. Syarat akan kemarahan. "Aku melihat kekaguman dimata Marsha untukmu. Dibalik kisah hidupnya yang menyedihkan, aku merasa kasihan. Saat aku memberikan undangan pernikahan kita dia memintaku menjauhi mu, dia tertarik padamu, dia mencintaimu dan ingin menikah denganmu. Meski berat, aku mengabulkannya. Aku ingin melihatnya bahagia. Apalagi dia meminta imbalan balas budi atas semua pertolongannya padaku, yaitu ... dengan melepas mu untuknya." Setiap langkah keras Andrean, ia terngiang penjelasan Griya padanya yang membuat kemarahan dalam dirinya semakin menumpuk di setiap langkah kakinya, ternyata selama ini semua dugaannya benar. Tuduhannya benar. Coba pikir, mana ada perempuan yang rela-rela saja di jadikan pengantin pengganti kalau perempuan itu tidak menginginkannya juga. Begitu pikiran Andrean mempengaruhi otak pintarnya- "Akhirnya aku pergi dengan skenario yang dia buat. Kepergian ku, tempat tinggal ku untuk bersembunyi darimu, semua dia rencanakan. Sungguh, maafkan aku Andrean. Aku tidak bersalah, kau tahu aku sangat mencintaimu, setiap malam rasa bersalahku padamu menghantuiku. Lihat betapa kacaunya diriku sekarang. Aku hancur, Andrean! Kumohon maafkan aku." -tanpa Andrean sendiri tahu semua penjelasan itu berbalik dengan fakta sebenarnya. Andrean terlalu bodoh untuk langsung mempercayainya. Terdengar suara pintu dibanting kasar. Marsha cukup terkejut dengan kedatangan Andrean. Setelah dua hari lalu memaksanya melakukan hubungan intim di setengah kesadaran pria itu dan mengintrogasi seenak jidatnya. Kini mereka bertemu lagi dengan aura yang sama, yang mampu menciptakan getaran takut dalam dirinya. Ada apa lagi ini, Tuhan? Sekarang berdiri dihadapannya sosok Andrean yang menatapnya dengan tatapan membunuh. "Munafik," tekan Andrean, matanya tak lepas dari sosok Marsha yang berdiri tak jauh darinya. "A-apa mak-sud--" "Diam!" Andrean berteriak meminta Marsha diam bersamaan menendang guci yang tepat berada di sampingnya. Seolah tingkahnya itu, sebuah kebiasaan jika marah. "Aku muak denganmu, aku muak dengan semua omong kosong mu, b******k!" bentak Andrean. "Aku sudah tahu kebenarannya." Sedikit jarak antara Marsha dan Andrean, pria itu kini menunjuk wajah Marsha dengan murka "Kau yang merencanakan semua ini. Kepergian Griya itu juga karena mu 'kan?! Jawab!" Mata Marsha membulat, kebenaran seperti apa yang Andrean terima. Ia tidak mengerti ini. "Tidak, semua itu tidak benar," belanya. "Cih, sekali penipu tetap penipu!" Andrean mencengkram rahang Marsha, ia semakin murka karena Marsha tak jujur. "Kau bahkan yang menyembunyikan Griya dariku. Kau pikir dengan semua yang kau rencanakan ini, menikah denganku, aku bisa mencintaimu. Membalas perasaanmu begitu. Jangan harap! Sekeras apapun kau berusaha, di mataku kau tetaplah sampah tak berguna," ucap Andrean penuh penekanan. Dia menduga Marsha melakukan rencana licik ini karena mencintainya. Sesuai penjelasan Griya padanya tadi. Sedangkan Marsha, ia lebih bingung lagi dengan tuduhan Andrean padanya. Ia diminta datang ke sini dan menunggu. Nyatanya ini yang ia dapat. Firasatnya benar. Tak seharusnya ia berpikir positif dan menyetujui datang ke tempat ini. "A-aku ti-tdak me-mengerti," ujar Marsha terbata, suaranya tercekat karena cengkraman Andrean pada rahangnya. "Cih." Andrean meludah tepat di wajah Marsha. "Masih tidak mau mengaku, baiklah." Andrean membanting Marsha di atas sofa ruang tamu seraya menyeringai kejam. "Aku akan membuatmu mengingat hari ini. Sampai kematian mu tiba kau akan hidup dalam penyesalan seumur hidup karena telah berani mempermainkan ku. Camkan itu di kepala mu." Dalam sekali sentak, Andrean menarik pakaian yang Marsha pakai hingga lepas seraya membuka pakaiannya sendiri. Marsha ketakutan, jelas sekali terlihat dari wajah cantiknya. Air mata pun kini ikut mengalir deras membasahi pipinya. Ia bergerak mundur, menjauhi Andrean namun gagal. "Kumohon jangan. Jangan lakukan apapun padaku," mohon Marsha. Andrean tidak memperdulikannya. Ia tetap akan membuat Marsha menyesal seumur hidupnya karena telah mempermainkan dirinya dan juga Griya. Sama sekali tidak goyah meski wanita dihadapannya berulang kali memohon. "Tolong!" teriak Marsha, berharap ada yang menolongnya. "Teriak lah sepuas mu. Tidak akan ada yang bisa menolong mu, bodoh!" Marsha menggelengkan kepalanya tangannya meraih tangan Andrean, agar tak melanjutkan perbuatan bejatnya. "Andrean tolong henti--" "Rasakan ini!" "Arghhh!" Bersamaan dengan itu Andrean memasuki Marsha dalam sekali sentak tanpa rangsangan apapun lalu menggagahinya secara brutal dan kasar. Sesekali juga ia melayangkan tangannya pada tubuh dan wajah Marsha dengan mulut yang tidak pernah berhenti menghina. Bayangkan ketika kondisi pusat tubuhmu kering kemudian dipaksa dimasuki benda tumpul dan keras lalu digagahi secara brutal. Pasti teramat sakit bukan? Itulah yang Marsha rasakan sekarang. *** Marsha tidak tahu berapa lama Andrean menggagahinya. Yang pasti saat ini tubuhnya mati rasa. Ia merasa bisa pingsan kapan saja. Ditambah nyeri yang teramat sangat pada pangkal pahanya. Huh,! Ini sungguh menyiksa. Dalam setengah kesadarannya, Marsha memperhatikan Andrean memakai kembali pakaiannya membelakangi dirinya kemudian pergi meninggalkan dirinya. Marsha sungguh tak mengerti. Siapa yang mengungkapkan semua kebohongan itu pada Andrean. Apa diluar sana ada orang yang membencinya? Ingin melihatnya hancur? Selamat kalau begitu. Siapapun orangnya, selamat sudah berhasil menghancurkan dirinya sehancur-hancurnya. Ditengah lamunannya, Marsha kembali dikejutkan dengan kertas-kertas yang dilempar tepat diwajahnya. Kesadaran Marsha kembali meski tak sepenuhnya terkumpul. Kepalanya terasa berat, rasanya seperti akan pingsan itu menguat, tapi ia harus bertahan didepan Andrean. "Terima itu, harga dari dirimu setelah melayaniku. Kemudian bawa pergi dirimu sejauh mungkin. Aku tidak ingin melihatmu di sekitarku dan Griya. Sampai aku atau Griya bertemu denganmu dan kau mengganggu kami lagi, aku benar-benar akan menghancurkan mu. Jika perlu aku akan menyiksamu dengan kedua tanganku sendiri sampai kau jera," ancam Andrean, lalu beranjak pergi. Meninggalkan Marsha yang saat ini telah kehilangan kesadarannya. Meski begitu Marsha masih jelas mendengar ancaman Andrean padanya. "Beruntungnya aku tidak jadi dinikahi wanita licik dan munafik macam dirimu." lanjut Andrean sebelum benar-benar pergi. Inikah akhir kisahku, Tuhan? Kenapa takdirmu begitu kejam padaku? Tidak berhakkah aku bahagia?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD