Makan Malam

1082 Words
Semua orang tersebut kini berada di meja makan, suara riuh dari sendok yang jatuh berbunyi beberapa kali, itu semua karena Alisa yang beberapa kali menjatuhkannya. Bukan karena apa, sejujurnya dia malu melakukan hal-hal seperti ini sehingga membuat tangannya berkeringat dan licin. "Maaf," ucap Alisa lagi ketika sendok miliknya jatuh dan entah sudah berapa kali diganti oleh pelayan yang. "Maaf ya Jeng, anak saya ini kadang kalau cemas memang suka gitu." Farah tentu saja harus mencari alasan. Ia tak mau keluarganya dinilai aneh karena kelakuan Alisa. "Iya, saya ngerti, soalnya sepertinya anaknya jeng Farah ini memang sedikit pendiam dan jarang keluar ya?" Agatha berkata lagi mendapat jawaban semua anggukan dari Farah. Alisa kembali hanya bisa nyengir. Agak malu juga melakukan hal bodoh ini, Tapi ini semua demi masa depannya. Karena dia tidak mau dijodohkan oleh laki-laki yang tak dikenal. Memang sih, tidak bisa dipungkiri kalau Rehan itu terlihat gagah dan tampan, tapi menurutnya ini adalah masalah perasaan. Dia tidak ingin menikahi seorang pria yang tak dicintainya. Selain itu usia Rehan masih ada di bawahnya. Prank! Lagi-lagi sendok milik Alisa jatuh, ia sendiri tidak mengerti mengapa menjadi gugup seperti ini. Kini Rehan berjalan mendekat dari meja seberang, meletakkan sendok baru miliknya ke arah Alisa. Tak lupa ia membuka jas miliknya, menutupi Alisa yang terlihat tak nyaman dengan gaun terbukanya. "Saya tahu kalau kamu gugup ketemu sama saya. Nggak perlu seperti itu, lagian saya nggak gigit orang kok." Rehan tersenyum, kemudian kembali duduk di kursinya. Dalam hati Alisa mencaci maki Rehan yang kepedean menurutnya. Sementara di sisi lain Farah dan juga Agatha terlihat malu-malu mah menyaksikan interaksi manis di antara Alisa dan juga Rehan. "Jadi, pernikahannya jangan terlalu lama ya Dan." Seno berkata kepada Daniel. Daniel menganggukkan kepalanya setuju dengan apa yang dikatakan oleh Seno barusan. "Aku setuju anak kita harus menikah secepatnya setelah pertemuan ini." Setelah acara makan malam, mereka mengobrol sebentar sebelum akhirnya keluarga Rehan memutuskan untuk pulang. Acara makan malam ini tentu memberikan kesan yang dalam kepada kedua belah pihak. "Hati-hati di jalan ya Nak Rehan, hati-hati mengendarai mobilnya." Daniel berpesan. "Iya Om, saya pasti hati-hati." Rehan kemudian menghampiri Alisa, kemudian menjabat tangan gadis itu. "Aku pulang dulu ya. Sampai ketemu lagi, terima kasih sambutan dan makan malamnya." "Iya," jawab Alisa sambil menunduk karena malu. Rehan dan keluarganya kemudian meninggalkan tempat itu. Daniel dan juga Farah menunggu sampai keluarga Seno pergi meninggalkan rumah mereka. Sementara Alisa sudah masuk ke dalam, dan duduk di kursi tamu. Setelah semua tamunya pulang, Daniel berjalan ke dalam dengan geram. "Alisa!" teriaknya memanggil putrinya. "Kenapa sih papa teriak-teriak? Aku di sini dan aku masih bisa dengar suara papa dengan baik." Alisa menjawab tak kalah ketusnya. Dia juga kesal selama makan malam tadi, sepertinya Rehan sama sekali tak berkutik dengan semua tingkahnya. "Kamu keterlaluan! Kamu bikin malu papa sama Mama! Lihat betapa baiknya Rehan ketika dia lihat kamu. Dia bahkan bisa tetap sopan dan ramah sama tingkah aneh kamu. Otak kamu di mana si Alisa? Malu-maluin diri sendiri, papa nggak tahu gimana tanggapan kedua orang tua Rehan! Gimana kalau mereka membatalkan perjodohan?!" "Ya bagus kalau kayak gitu. Aku nggak perlu nikah sama orang yang gak aku kenal dan nggak Aku sayang." "Pernikahan kamu dan Rehan akan tetap berjalan. Mau kamu suka atau tidak suka! Ngerti kamu Alisa!" Daniel menekankan kemudian dia berjalan cepat masuk ke dalam. Farah berjalan mendekati Alisa yang bernafas cepat karena marahnya. Dia mengusap-usap punggung belakang Putri kesayangannya itu. "Nurut saja sama papa, yang kami lakukan juga yang terbaik untuk kamu." Alisa bangkit dari duduknya, kemudian menatap sang Ibu. " Mama sama papa nggak ngerti perasaan aku!" Farah terdiam, menatap kepergian putrinya dalam diam. Sejujurnya Farah merasa bersalah, tapi seperti yang ia percayai, ini semua demi kebaikan putrinya. *** Alisa mengendarai mobilnya berniat untuk menemui sang kekasih dini hari, tentu saja dia melarikan diri. Pikirannya kacau setelah pertemuan dengan Rehan. Kedua orang tuanya sama sekali tak mengerti mengenai dirinya. Ia merasa terkekang dan pikirannya tidak didengar. Setelah sampai di sana ternyata Reno sudah menunggu. Pria itu terlihat baru saja bangun dari tidurnya. Keduanya kemudian duduk di ruang tengah. "Ren, aku dijodohkan." Alisa membuka pembicaraan di antara mereka berdua. Mendengar apa yang dikatakan oleh Alisa, Reno seolah tak terkejut. "Ya, terima saja, kamu kan emang mau buru-buru nikah." Alisa yang terkejut, mereka berdua sudah menjadi kekasih lebih dari 5 tahun. Sementara Alisa kini sudah berusia 32 tahun lebih muda 3 tahun dari kekasihnya itu. Tapi sampai sekarang, Reno sepertinya sama sekali tak berminat untuk menikahinya. "Tega kamu ngomong kayak gitu? Aku sayang sama kamu, aku maunya nikah sama kamu." Alisa sedikit merengek sama dia kecewa dengan jawaban yang diberikan oleh Reno. "Benarkan? Kalau kamu buru-buru mau nikah? Jujur, aku bener-bener belum kepikiran untuk nikah. Kamu tahu lah, gimana kondisi keuangan aku. Untuk diri aku aja sendiri susah. Apalagi aku harus nikah, hidupin kamu sebagai istri, belum lagi kita nanti punya anak. Uang dari mana aku?" Alisa sangat kecewa, menjadi lemas ketika mendengar bagaimana jawaban yang ia terima. Sejujurnya dia berharap kalau Reno mengatakan bahwa ia bersedia menikahi Alisa. Jika dipikir, bagaimana bisa ia selama ini bertahan dengan laki-laki seperti Reno? Bahkan yang lebih parahnya lagi, ia telah memberikan semuanya kepada Reno. "Jadi, sebenarnya, selama ini kita jalin hubungan itu untuk apa? Seharusnya dari awal kamu bilang kalau memang kamu nggak niat serius ke aku. Jadi aku nggak berharap." Alisa bertanya dengan nada pasrah. Bingung harus berkata apa lagi karena sepertinya tak akan ada jalan keluar yang diberikan oleh Reno. Reno tersenyum kecil, terkesan meremehkan dan mengucilkan Alisa. "Kamu masih nanya? Kita bersama-sama karena kamu yang terus tahan aku. Ingat juga waktu terakhir kali kamu hamil, untung kamu mau aborsi. Bisa kebayang nggak, hancurnya hidup aku, kalau harusnya hidupin kamu dan anak itu?" Hancur, hanya satu kata itu yang bisa dikatakan untuk menggambarkan perasaan Alisa selama ini. Tidak menyangka kalau seorang Reno menganggapnya seperti itu. Dan jelas sepertinya ia sama sekali tak ada artinya untuk Reno. 5 tahun bersama dan semuanya sia-sia. "Harusnya kamu bersyukur, karena orang tua kamu masih mau ngurus perjodohan untuk kamu. Kalau nggak, mungkin kamu nggak akan pernah menikah seumur hidup. Kamu tuh biasa aja, bisa dibilang nggak terlalu menarik," kata Reno lagi yang jelas membuat Alisa semakin terluka. "Tapi kamu jangan khawatir. Kalau kamu nikah aku masih bisa kok nerima kamu dengan baik di sini. Ya, kita bisa saling senang-senang seperti biasanya." Alisa tidak tahan dengan apa yang dikatakan oleh Reno. Dia memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. hatinya sudah hancur dan porak-poranda, dia benar-benar menyesal karena sudah membunuh janin dalam kandungannya dulu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD