sixteen : a plan

2214 Words
"Jadi, Lara ngambek?" "Iya." "Wah, mampus deh. Lo sih, A, pake bohong segala begitu. Udah tau si princess sensian." Ini yang paling membuat Hamdan malas kalau curhat dengan Harlan. Usai Hamdan bercerita, adiknya itu pasti akan selalu meledeknya. Seperti sekarang, Harlan tertawa puas sebagai respon pertamanya setelah Hamdan selesai curhat mengenai Lara yang hari ini ngambek padanya. Dua kakak beradik itu saat ini berada di sebuah cafe bar yang biasa mereka datangi. Hamdan yang mengajak Harlan bertemu karena memang mau curhat. Setelah apa yang dialaminya hari ini, Hamdan tidak tahu harus bercerita kepada siapa lagi. Jika cerita dengan ibunya, bisa jadi hanya akan menambah masalah. Kalau Jendra, Hamdan malas duluan karena temannya itu pasti akan meledeknya lebih habis-habisan lagi. Jadi, opsi terakhir hanya Harlan. Walau sudah lama tidak tinggal serumah, mereka berdua tetap sering bertemu untuk bertukar cerita pada saat-saat tertentu. Jadi, Hamdan pun mengajak Harlan bertemu disini setelah memastikan anak-anaknya sudah masuk kamar dan tidak akan keluar lagi. Harlan sendiri sempat protes karena katanya Hamdan mengganggu waktu quality time-nya bersama istri (yang mana bikin Hamdan geli setengah mati). Tapi pada akhirnya Harlan tetap datang karena penasaran, apa gerangan yang mau diceritakan oleh sang kakak. "Gue cerita gini bukan buat lo ketawain," dengus Hamdan yang sebal dengan ledekan Harlan. Bukannya berhenti tertawa, Harlan justru ngakak. "Idih, gitu aja ngambek," ledeknya. Hamdan memutar bola mata, lalu menyesap muscat ade yang menjadi minumannya malam ini. Berbeda dengan Harlan yang memesan signature cocktail di cafe bar itu, Hamdan justru memesan minuman non-alkohol. Sebab dirinya memang tidak pernah menyentuh minum minuman beralkohol jenis apapun. Alasannya simpel saja, Hamdan tidak pernah tertarik, sekaligus juga ia ingin menjadi contoh yang baik untuk anak-anaknya. Tidak merokok dan tidak minum minuman beralkohol adalah salah dua hal yang dilakukannya untuk itu. "Eh, tapi kok lo baru cerita sih kalau dikenalin Ibu sama cewek?" "Lo nggak nanya." "Gue kan nggak tau, apa yang mau ditanya anjir?!" Hamdan mengangkat bahu saja. "Now, tell me everything dong. Siapa tuh cewek? Kerjanya apa? Mau tau banget nih sama orang yang berhasil bikin kakak gue mau kenalan." "Nggak usah lebay," dengus Hamdan, tapi ia tetap menjawab juga, "Namanya Ambar Kusumaputri. Dia kerja di salah satu perusahaan e-sport team terbesar disini." "Wow cool. Cantik nggak?" Hamdan mengangguk. "Cieeee, cantik tipe lo ya? Pantes mau lanjut kenalan," ledek Harlan. "Bukannya gitu. Gue emang udah ketemu dia dua kali sebelum ketemu karena disuruh Ibu, jadi ya emang udah kenal." "Demi?! Jodoh banget nggak sih?!" Hamdan berdecak. "Ngawur," tukasnya. "Pokoknya gitu lah, udah kenal duluan. Ambar juga orangnya so far menyenangkan, pengertian, nggak nuntut apa-apa. Gue sama dia juga cuma temenan aja untuk sekarang. Karena Ambar pun belum siap buat jalin hubungan lagi setelah cerai dari mantan suaminya yang selingkuh. So, we are completely just friends." "Terus? Masalahnya apa?" "Sebelum Ibu ngenalin gue ke Ambar, Lara sama Jala ribut. Mereka debat karena tau tentang Ibu yang nyuruh gue nikah. Si Jala pro, sedangkan Lara kontra. Terus yaudah kayak yang gue ceritain sebelumnya, Lara ngambek karena mergokin gue lagi makan siang sama Ambar tadi. End up, dia juga tahu gue bohong hari Sabtu kemarin. Bilangnya pergi buat urusan pekerjaan, tapi kenyataannya malah pergi sama Ambar. Sekarang Lara ngambek, dari sore tadi sampai sekarang ngurung diri di kamar." "Lagian kenapa bohong sih, A? Kalau emang temenan ya bilang aja?" Harlan geleng-geleng kepala. "Sekarang ribet sendiri kan." "Gue cuma nggak mau mereka mikir yang macem-macem, Lan. Apalagi kalau sampe ribut lagi. Terus, Ambar itu tantenya Anette, teman sekelas Lara yang nggak pernah akur sama dia. That's why, gue nggak mau bilang karena tau Lara pasti bakal sensi banget." "Tapi dengan begini juga ujungnya ribut, kan?" Hamdan tidak bisa memungkiri kalau memang benar, keadaannya jadi berantakan sekarang. Niat awal ingin anaknya tidak berpikiran macam-macam, sekarang justru Hamdan menimbulkan pikiran macam-macam di benak Lara. Sekarang baru Lara yang tahu, kalau nanti Jala juga tahu, Hamdan tidak bisa menebak akan bagaimana. "Gue harus gimana sekarang? Berhenti berhubungan sama Ambar?" "Emangnya lo mau?" Hamdan menggelengkan kepal. "She's a nice friend, you know?" "Halahh nice friend nice friend, pret duttt! Lo tuh udah tertarik pasti, A." Hamdan diam. Tidak mau membenarkan, tapi juga tidak sampai hati untuk mengelak. "Sebelum gue kasih pendapat nih, gue mau tanya dulu, lo beneran mau nikah apa enggak?" "Siapa juga yang nggak mau, Lan? Gue selama ini sendiri bukan karena mau tapi karena belum ketemu yang klik aja." "Oke, get it." Harlan mengangguk, lantas merangkul Hamdan. "Jujur nih ya, gue seneng banget lo udah mau mulai buka hati lagi. Dari sekian banyak cewek yang mau kenal dan deketin lo selama ini, respon lo ke si Ambar ini yang paling baik. I think it's a sign of something good. Tapi gue tau kalau lo bisa mundur begitu aja misal emang Lara nggak setuju. Kebahagiaan anak-anak bakal tetap nomor satu buat lo daripada kebahagiaan lo sendiri, kan?" Kepala Hamdan terangguk tanpa ragu. Kenyataannya memang begitu. Melihat bagaimana Lara yang secara gamblang menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Ambar saja sudah membuat Hamdan mempertimbangkan apa yang harus ia lakukan. Kalaupun Lara meminta Hamdan untuk benar-benar berbenti berhubungan dengan Ambar, Hamdan bisa saja langsung melakukannya. "Lara tuh kaget, A. Selama ini lo nggak pernah dekat apalagi menjalin hubungan sama wanita manapun, karena itu ketika lo mulai nunjukin tanda-tanda kesitu, Lara jadi bersikap defensif. Dia udah terbiasa hidup cuma dengan kita aja, tanpa ada sosok ibu di hidupnya. Lara pun ngerasa dia nggak butuh sosok itu. That's why, dia jadi ngerasa terancam dan nolak di saat lo mulai nunjukin ketertarikan untuk nikah." Well, penjelasan Harlan itu sangat masuk akal. Hamdan juga sempat berpikir begitu. "Tapi nggak bisa gitu terus dong? Kalau selalu ngikutin maunya Lara, kapan hidup lo ada perkembangannya? Lo emang orangtua mereka, tapi lo juga punya kehidupan dan lo berhak membahagiakan diri lo juga. Pelan-pelan, mereka juga pasti paham, A, kalau papinya juga butuh bahagia." Hamdan merasa tertampar dengan kata-kata Hamdan itu. Ia jadi sadar betapa selama ini dirinya tidak pernah benar-benar memedulikan kebahagiaannya sendiri. Bukan berarti Hamdan tidak bahagia selama ini. Dia bahagia kok selama anak-anaknya bahagia. Tapi selama ini kebahagiaannya bersumber dari anak-anak dan apa yang dia lakukan untuk mereka. Sedangkan Hamdan sendiri tidak ingat kapan terakhir kali ia sengaja melakukan sesuatu untuk membahagiakan dirinya. Everyday, it's only about his kids. Selama ini yang Hamdan lakukan hanyalah berusaha untuk membuat mereka senang, nyaman, dan membuat mereka memiliki kehidupan baik. Sampai-sampai, Hamdan kerap lupa untuk merawat dirinya sendiri dan memikirkan apa yang sebenarnya ia mau dan alasan lain yang bisa membuatnya bahagia. "Terus gue harus gimana?" Tanya Hamdan. "Pelan-pelan kasih tau atau tunjukin ke anak-anak kalau lo tuh nggak akan hidup sendiri selamanya. Sooner or later, you will fall in love with someone and get married. Anak-anak harus terima itu." Hamdan menggelengkan kepala. "Nggak akan mudah buat mereka, Lan. You know the history." "Of course I know. Maksud gue tuh, mulai kenalin mereka sama kenyataan kalau suatu hari lo bakal punya pasangan dan mereka bakal punya ibu," jelas Harlan. "Gue tau hubungan lo sama Ambar itu belum pasti dan kalian cuma berteman untuk sekarang, tapi coba deh lo kenalin Ambar secara baik-baik ke Jala dan Lara. Bukan buat ngenalin sebagai calon istri lo, tapi sekedar buat mereka mulai belajar dan adaptasi sama keadaan yang baru. Jadi, ketika lo beneran punya pacar nanti, mereka nggak kaget lagi." Hamdan mengernyit, tidak yakin dengan saran Harlan itu. "Apa bakal berhasil kalau gitu?" "You will never know if you never try," ujar Harlan. Ditepuknya bahu sang kakak untuk meyakinkannya. "Jadi, coba aja dulu. Perihal gimana nantinya, itu urusan belakangan." Hamdan pun berpikir, lantas mempertimbangkan saran yang diberikan oleh adiknya itu. *** "Pi, aku nggak ikut aja ya? Ngantuk banget. Aku juga kan nggak jago main panahan. Kalau Papi hari ini ngajak nembak baru deh aku maju nomor satu." Hamdan menggeleng tegas menanggapi rengekan dari Jala itu. Tidak peduli kalau anaknya itu masih mengantuk berat karena begadang main game semalaman, Jala tetap harus ikut dalam agenda mereka weekend ini. Gelengan kepala dari Hamdan itu pun kian membuat Jala merengek. "Pleaseeee, Piiii. Aku mau tidurrrr." "Di jalan nanti bisa tidur," ujar Hamdan. "Kemarin kan kalian minta staycation. Berhubung belum bisa, kita main panahan dulu aja. Mumpung udah lama enggak. Kita mainnya juga rame-rame sama yang lain." "Yang lain tuh siapa aja, Pi?" Kali ini Lara yang bertanya. Begitu Hamdan menoleh pada putri kesayangannya yang hari ini sudah berpenampilan sporty dengan memakai vest merah muda bermotif heartwave, tennis skirt, dan sneakers, justru menampakkan wajah juteknya. Sejak kejadian Senin lalu, Lara memang masih super sensitif, walau ia sudah mau bicara dengan Hamdan. "Om sam tante kalian ikut, ada Om Jendra sama keluarganya juga, Tante Hara sama Om Wir-" Mendengar nama pasangan itu, mata Lara langsung berbinar. "Ada Tante Hara?!" Tanyanya semangat karena senang mendengar nama wanita yang merupakan adik dari Jendra, dan sudah dianggapnya sebagai tante sendiri karena mereka cukup akrab. "Kalau ada Tante Hara, I'm in dong!" Lara pun langsung membuka pintu mobil dan masuk ke dalam sana tanpa protes. Sementara Hamdan menatap putrinya itu gugup. Well...Lara tidak tahu saja kalau Hamdan belum selesai menyebut siapa-siapa saja yang akan ikut dalam olahraga panahan mereka hari ini. Tapi, ia tidak sampai hati untuk melanjutkan karena mood Lara yang sedang sangat bagus akibat mendengar nama Hara. "Hadehhh, seenggaknya ada Tante Gema," ujar Jala. "Tapi aku nggak mau main ya, Pi." "Yaudah, terserah kamu." Jala pun masuk ke dalam mobil, ke kursi penumpang yang ada di belakang. Remaja itu pun langsung berbaring disana dan memejamkan mata. Betulan ngantuk berat. Setelah anak-anaknya masuk ke dalam mobil, Hamdan pun menyusul dan akhirnya mobil mereka melaju pergi menuju area panahan yang ada di pinggiran kota. Seperti yang sudah Hamdan bilang kepada anak-anaknya tadi, hari ini ia akan mengajak mereka panahan. Namun, tidak hanya mereka sekeluarga saja yang akan ada disana, tapi juga ada yang lainnya. Niat Hamdan memang ingin quality time bersama anak-anak guna mengganti janji staycation minggu lalu. Tapi selain itu, Hamdan juga punya rencana lain yang semoga saja berjalan lancar. Dalam perjalanan mereka menuju area panahan, tidak banyak yang bicara. Jala tidur di kursi belakang, sementara Lara juga tidak banyak omong. Meski mood-nya membaik karena akan bertemu Hara, tapi Lara masih sedikit sebal dengan papinya sendiri. Nyaris selama seminggu ini, Lara lebih banyak diam daripada biasanya saat bersama Hamdan. Tidak butuh waktu lama hingga mereka sampai di area panahan itu. Kebetulan, mereka jadi yang pertama sampai sehingga area panahan yang sudah disewa khusus untuk mereka hari ini masih kosong ketika ketiganya sampai. "Jala, kamu beneran nggak mau main?" Jala menggelengkan kepala guna menjawab perranyaan papinya itu. "Mager, Pi." "Kamu ini males banget sih olahraga." "Ihh, Papi, kan aku nggak suka panahan," rengek Jala. "Aku juga ngantuk banget." Hamdan cuma bisa geleng-geleng kepala karena kelakuan anak laki-lakinya itu. Berbeda sekali dengan Lara yang langsung memilih panah mana yang akan digunakannya hari ini begitu mereka sampai. Jala justru langsung mencari tempat duduk agar ia bisa istirahat seharian. "Aku tidur dulu ya, Pi. Bangunin kalau nanti ada Tante Gema," ujar Jala yang kini sudah siap rebahan di sebuah bangku panjang yang ada di pinggir lapangan panahan. Namun, Jala batal melakukannya ketika ia mendengar teriakan tertahan Lara yang penuh semangat dan rasa excited. Begitu melihat ke pintu masuk, ternyata ada yang baru datang. "Tante Haraaa!" Seru Lara semangat dan langsung memeluk wanita cantik bertubuh mungil yang baru datang bersama suaminya yang super tinggi. "Sapa dulu Tante Hara sama Om Wira sana," ujar Hamdan pada Jala. Jala pun menurut. Ia batal rebahan dan kembali berdiri untuk menyapa pasangan yang sudah dikenal sangat baik oleh keluarga mereka. "Halo, Tante Hara, Om Wira." Jala menyapa Hara dan Wira yang kini sudah berada di dekatnya. "Mana Arsen sama Elora? Nggak ikut ya?" Wira tersenyum pada Jala dan menggeleng guna menjawab pertanyaan remaja itu. "Mereka lagi sama kakek-neneknya." "Yahhh, padahal kangen Om," timpal Lara. "Makanya kamu main dong ke rumah Tante," ujar Hara. Lara yang kini sudah gelendotan di lengan Hara pun mengerucutkan bibir. "Rumah Tante jauh banget sih. Tapi nanti deh, kapan-kapan main kesana." Jala dan Lara memang sudah akrab dengan pasangan ini. Hara sendiri merupaka adik dari Jendra, sahabat karibnya Hamdan sejak SMA. Jadi, dengan Hara pun mereka sudah saling lama mengenal, bahkan bisa dibilang sudah seperti keluarga. Sebelum Harlan menikah dengan Gema, tante favorit Lara ya Hara. Mereka sangat dekat dan sering pergi kemana-mana dulu. Namun, setelah Hara menikah dan pindah ke rumah suaminya yang cukup jauh, mereka jadi jarang bertemu. "Jendra mana ya? Kok belum sampe?" Tanya Hamdan pada Hara setelah mereka selesai bertegur sapa hangat. Hara mengibaskan tangan dan menjawab penuh ledekan, "Biasa lah, kayak nggak tau Mas Jendra aja. Dia kan emang suka ngaret kalau ngumpul-ngumpul begini. Berani taruhan, dia pasti datengnya terakhiran." Mereka semua pun tertawa. Namun, tawa itu terhenti ketika ada satu orang lagi yang baru datang dan menarik perhatian mereka semua. Hara dan Wira bingung dengan kehadiran seorang wanita yang asing bagi mereka, Jala juga begitu, sementara Hamdan merasa gugup, dan Lara langsung kehilangan senyumannya. "Halo semuanya, saya nggak telat kan?" Wanita itu menyapa dan tersenyum ramah ketika sudah berada di hadapan Hamdan dan lainnya. Fokus yang lain langsung tertuju pada Hamdan, terutama Jala dan Lara. Jala menyikut Hamdan yang ada di sebelahnya dan membisikkan pertanyaan, "Siapa, Pi?" Sementara Lara memandang Hamdan dengan sebelah alis terangkat yang seolah bertanya, "Seriously, Papi???" Hamdan mematung sejenak. Siap tidak siap, rencananya akan segera dimulai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD