fifteen : 'good friend'

1893 Words
Sejak pertemuan Hamdan dengan Ambar waktu itu, mereka jadi sering bertemu dalam rentang waktu beberapa waktu ini dan hubungan mereka pun bisa dikatakan berkembang jadi semakin akrab. Sudah Hamdan bilang kan, Ambar itu orangnya menyenangkan dan sangat easy going, namun ia bersikap apa adanya dan tidak berusaha mencari perhatian. Sikapnya yang seperti itu membuat Hamdan tidak risih dan dengan mudah akrab dengannya. Selama beberapa minggu ini, bisa dibilang Hamdan berkomunikasi cukup intens dengan Ambar. Mereka bertukar pesan untuk sekedar berbagi kabar atau mengobrol masalah pekerjaan, beberapa kali juga mereka sudah pergi bersama di waktu luang mereka, contohnya hari Sabtu lalu Hamdan diajak Ambar main golf bersama teman-temannya and it was quiet fun. Satu kebetulan lagi, kantor mereka ternyata berdekatan, bahkan masih bisa dibilang berada di kompleks perkantoran yang sama sehingga di jam makan siang, keduanya juga sering makan bersama. Entah itu Hamdan yang menghampiri Ambar ke kantornya, Ambar yang menghampiri Hamdan, atau mereka janjian untuk bertemu di restoran yang ada di sekitar kantor mereka. Hari ini, keduanya makan siang bersama lagi. Ambar yang menghampiri Hamdan ke kantornya sehingga mereka makan siang di kafetaria Rois Group. "Masa lebih sering kamu sih yang samperin saya kesini? Padahal niatnya saya yang mau nyamperin ke kantor kamu hari ini." Ambar tertawa menanggapi protes yang diutarakan oleh Hamdan itu ketika ia baru saja sampai dan mereka duduk berhadapan. "Saya suka makanan disini, habisnya enak-enak sih," ujar Ambar jujur. "Saya juga bosen makan makanan di kafetaria kantor saya." Padahal, Hamdan akan merasa lebih senang jika mereka makan siang di kantor Ambar saja, atau di luar kantor sekalian. Bukannya apa, Hamdan hanya tidak suka saja menjadi pusat perhatian. Karena ini kafetaria Rois Group, maka tentu saja isinya adalah karyawan Rois Group semua. Melihat bos mereka makan siang bersama dengan seorang wanita yang bukan berasal dari kantor itu tentu membuat mereka penasaran. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang secara terang-terangan mencuri pandang ke meja Hamdan dan Ambar. Pikir mereka, siapa wanita beruntung yang berkesempatan untuk makan siang dengan bos mereka yang selama ini tidak tergapai itu? Apa hubungan mereka? Tidak hanya Hamdan sebenarnya yang sadar dengan perhatian yang mereka dapat setiap kali makan bersama di kafetaria Rois Group. Ambar sendiri cukup peka dengan keadaan dan tahu kalau kemungkinan besar setelah agenda makan siang ini berakhir, ia akan jadi topik gosip terhangat di antara para karyawan Hamdan. "Udah berapa kali saya nyamperin kamu kesini, tapi kayaknya orang-orang di kantor kamu masih aja penasaran ya sama saya," ujar Ambar setelah makanan pesanan mereka berdua datang. Hamdan tersenyum meringis. "Sorry. Kalau kamu nggak nyaman, next time kita nggak perlu makan siang disini lagi. "Santai aja dong, saya kan cuma ngomong, bukan berarti saya ngerasa nggak nyaman," kata Ambar tenang. "Lagian, saya bisa maklum kok sama semua perhatian ini. Mereka pasti takjub karena bos mereka yang selama ini jara terlihat sama wanita manapun, jadi sering makan siang bareng sama wanita yang entah darimana. Mereka pasti iri sama saya deh, atau mungkin nggak sedikit juga yang mengumpat saya karena cemburu saya bisa makan siang bareng gebetannya." Kali ini Hamdan tertawa kecil. "Nggak begitu juga, Ambar. Bisa jadi mereka justru iri sama saya. Many men set their eyes on you, because you're so pretty." "Wah, ceritanya udah mulai flirting nih?" canda Ambar dengan sebelah alis terangkat. "Eh...enggak...maksud saya bukan begitu...saya cuma jujur mau muji kamu kok..." Ambar terbahak sembari menepuk-nepuk meja pelan, merasa lucu sendiri karena melihat Hamdan yang jadi kikuk dan salah tingkah karena pertanyaannya tadi. "Astaga, Hamdan, saya tuh cuma bercanda. Kamu kok langsung panik sih? Masih aja kaku begitu!" Ambar geleng-geleng kepala. "Kalau begini makin kelihatan deh kamu udah lama banget jomblonya." "Faktanya kan memang begitu." "Ih, kasian." Hamdan tertawa saja, tahu kalau Ambar hanya bercanda dan tidak benar-benar bermaksud untuk mengejeknya. Lagipula, Hamdan merasa lebih baik begini, ketimbang orang-orang yang mencoba menjodohkannya dengan orang lain setelah mengetahui status sendiri Hamdan yang sudah terjadi selama belasan tahun. Sebelum bertemu dan mengenal Ambar, Hamdan baru sadar kalau ia bersikap sangat defensif sekali dengan wanita. Ia sangat menjaga jarak dan membatasi interaksi sehingga saat ini Hamdan sama sekali tidak memiliki teman wanita. Bisa dibilang setelah sekian lama, Ambar adalah yang pertama. Iya, hubungan mereka memang masih ada di tahap teman. Walau sudah sering bertemu dan menghabiskan waktu bersama, namun Hamdan dan Ambar tahu jika masih ada batasan di antara mereka. Untuk sekarang, mereka masih nyaman dengan batasan itu dan sama-sama senang karena bisa berteman baik. Hamdan dan Ambar juga sepakat bahwa mereka tidak akan menceritakan apapun mengenai progress hubungan mereka ke orangtua masing-masing. Keduanya tidak mau ada tuntutan apa-apa sekaligus tidak mau pula memberi harapan yang belum pasti terhadap hubungan mereka yang belum tentu mau akan berakhir jadi lebih dari teman. "Oh iya, Ambar, weekend kemarin kan kamu udah ngajak saya golf. Gimana kalau weekend ini gantian, saya ngajak kamu olahraga panahan?" "Wah, boleh banget!" ujar Ambar semangat menanggapi tawaran dari Hamdan itu. "Kamu kayaknya udah coba banyak olahraga ya? Main golf jago, terus katanya pas SMA anak basket yang juga jago main futsal, sering berkuda, anggota klub tennis, dan sekarang kamu ngajak saya panahan? Seriously, what can't you do?" "Saya memang suka olahraga." "Ya ampun, kamu ini emang paket lengkap ya. Wajar banyak yang suka." "Kamu juga begitu Ambar. You're pretty, smart, hard working, and wonderful. Yang suka kamu juga pasti banyak." "Wah, flirting lagi nih?" Kali ini Hamdan tertawa menanggapi ledekan Ambar, tidak lagi salah tingkah seperti tadi. "You did it first," katanya. Ambar pun ikut tertawa. Namun, tawa itu tiba-tiba saja menghilang karena kehadiran seorang remaja berseragam SMA menghampiri meja mereka. Ambar terkejut karena kedatangan Lara, Hamdan apalagi. Tubuh Hamdan rasanya langsung menegang karena kemunculan sang putri kesayangan yang kini menatap lurus padanya, penuh selidik. Rasanya Hamdan seperti tertangkap basah. "Lara..." Hamdan menyunggingkan senyuman canggung. "...kamu kok disini?" Kening Lara berkerut dan tidak ada senyuman sama sekali di bibirnya ketika ia secara bergantian memandangi Hamdan dan Ambar yang juga hanya bisa menyunggingkan senyuman canggung. "Harusnya aku yang tanya," ujar Lara dengan nada suara tidak bersahabat. "Kenapa Papi ada disini sama tantenya Anette?" *** Dari sekian banyak hari buruk yang Lara lalui, sepertinya hari ini dapat dikategorikan sebagai salah satu hari buruk dari yang terburuk. Bagi Lara, memergoki papinya sedang makan bersama dengan seorang wanita (dan di matanya terlihat seperti kencan) bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Terlebih lagi, wanita yang bersama dengan papinya adalah tantenya Anette si musuh bebuyutan Lara. Mood Lara langsung jatuh ke dasar terdalam, mungkin jika dianalogikan sudah sampai di kerak bumi. Asli deh, Lara bete abis. Lara semakin overthinking karena melihat papinya dan wanita yang diketahui Lara namanya adalah Ambar. Makan siang hari ini pun jadi makan siang terburuk yang pernah Lara lalui. Bukan karena makanannya tidak enak, tapi karena Lara yang jadi harus terjebak dalam makan siang super canggung. Niatnya hanya mau makan bersama sang papi, Lara malah makan siang dengan papi dan plus one-nya papi yang entah apa hubungan mereka. Ada banyak sekali pertanyaan di benak Lara, namun ia tidak sampai hati untuk menanyakannya kepada Hamdan. Selain karena malas ngomong, Lara juga tidak siap untuk mendengar jawabannya. Ketika makan siang tadi sih, Ambar mengenalkan diri kepada Lara sebagai temannya Hamdan di luar statusnya yang juga tantenya Anette. Tapi Lara agak merasa sangsi kalau mereka hanya berteman. Karena selama ini, papinya tidak pernah makan siang dengan teman wanita manapun! Lalu sekarang, kenapa bisa tiba-tiba seperti ini?! AAARGGHHHHHH! Lara berteriak dalam hati, sementara aslinya ia hanya diam memasang tampang cemberut. Sekarang Lara sedang dalam perjalanan menuju ke rumah bersama papinya. Makan siang mengerikan itu sudah terlalui beberapa jam lalu dengan sangat canggung dan Lara nyaris tidak mengatakan apa-apa di sepanjang makan siang tersebut. Bahkan, Hamdan dan Ambar yang semula akrab sebelum Lara datang, jadi ikut super canggung karena ada Lara. Setelah makan siang tadi, Lara memang sempat menunggu beberapa jam di kantor Hamdan hingga jam kerja Hamdan selesai. Selama itu, Lara hanya diam, merengut, dan bad mood. Hingga sekarang di saat beberapa menit lagi mereka akan sampai di rumah pun masih begitu. "Kamu marah banget ya sama Papi?" Hamdan menanyakan itu kepada Lara untuk yang ke sekian kalinya hari ini. Untuk yang ke sekian kalinya pula, Lara menggelengkan kepala, menolak untuk mengaku. "Lara...Papi tau kamu marah," ujar Hamdan selembut mungkin, berhati-hati agar tidak salah bicara. "Enggak, Pi." "Terus namanya apa? Daritadi kamu cemberut sama Papi, jutek banget juga." Lara hanya menghembuskan napas. "Kalau ada yang mau ditanya langsung tanya aja, nanti Papi jawab." "Jawabnya jujur atau enggak, Pi? Entar bohong lagi," sindir Lara. Teringat kebohongan papinya Sabtu lalu. "Papi Pasti jawab jujur lah, Sayang." "Oh ya? Hubungan Papi sama tantenya Anette apa kalau gitu?" "Papi sama Tante Ambar cuma teman baik. Kita pernah nggak sengaja ketemu waktu di Semarang, terus dari sana jadi temenan, dan ternyata kantor kita juga deketan." "Temenan aja?" Hamdan mengangguk. Lara sendiri masih tidak percaya dan menyipitkan mata menatap papinya curiga. Setengah diri Lara percaya pada kata-kata sang papi sementara setengahnya lagi tidak. Lara rasa, masih ada yang disembunyikan. Lara pun kembali mengajukan satu pertanyaan, "Hari Sabtu kemarin Papi pergi bukan untuk urusan kerjaan kan?" Hamdan tidak bisa langsung menjawab, dan bagi Lara itu sudah cukup untuk semakin menambah kecurigaannya. "Papi pergi sama Tante Ambar? Soalnya hari Sabtu kemarin aku tanya ke Om Rafael, katanya Papi nggak ada urusan kerjaan." "Nggak gitu...Lara...Papi..." Hamdan jadi kelabakan sendiri. "Oh, bener pergi sama Tante Ambar ya? Tapi Papi malah bohong." "Perginya nggak cuma berdua," jelas Hamdan. "Ada teman-teman yang lain." "Kalau gitu kenapa nggak bilang? Kenapa mesti bohong bilang ada urusan kerjaan?" Lara sukses membungkam papinya sendiri. Suasana hati Lara pun kian anjlok. Ia sama sekali tidak senang dengan informasi yang didapatnya ini. Bukannya merasa tenang setelah mendapat konfirmasi langsung dari papinya, Lara justru semakin gelisah. Ini semua artinya apa? Ah, Lara pusing! "Kalau emang cuma teman baik, harusnya nggak perlu bohong begitu," gumam Lara sebelum dirinya melengos dan memilih untuk menatap ke luar jendela. Lara yakin kalau papinya mendengar gumaman Lara tadi, namun tidak mengatakan apa-apa. Entah karena terlalu bingung harus merespon bagaimana, atau karena merasa tersudutkan. Yang mana hal itu kian membuat perasaan Lara jadi campur aduk. Kesal, marah, gelisah, kecewa, semua jadi satu. Hingga mobil yang dikendarai papinya memasuki halaman rumah mereka, Lara tidak mengatakan apa-apa lagi. Begitu mobil berhenti, Lara langsung melepas seatbelt. "Lara, semuanya nggak yang kayak kamu pikir. Papi betulan cuma temenan sama Tante Ambar." Lara berdecak. "Aku liat semuanya, Papi. The way you talked to her, it looked like both of you were flirting." "Lara...nggak begitu." Gimana bisa Lara percaya? Ia menyaksikan semuanya tadi. "Papi kalau mau pacaran jangan sama tantenya Anette dong." Hanya itu yang dikatakan oleh Lara sebelum dirinya membuka pintu mobil dan keluar dari sana. Bahkan Lara sama sekali tidak menoleh ketika papinya memanggil. Ia hanya berjalan cepat masuk ke dalam rumah, menuju kamarnya. "Laraaaa, gue beliin boba kesukaan lo. Ada di kulkas noh." Lara juga tidak memedulikan Jala dan hanya berjalan cepat ketika berpapasan dengannya di tangga. Sampai-sampai Jala keheranan sendiri melihat tingkah saudara kembarnya yang pulang dengan wajah tertekuk. Lebih kaget lagi waktu dilihatnya Lara menutup pintu kamarnya dengan cara dibanting keras. "WHAT THE HELL, LARA?!" Seruan Jala tidak mendapat jawaban dari Lara. Ketika menoleh ke lantai satu, dilihatnya sang papi yang baru masuk. Buru-buru Jala bertanya, "Lara kenapa, Pi? Kok ngamuk?" Hamdan tidak menjawab apa-apa dan hanya menggelengkan kepala, lalu berlalu menuju kamarnya, meninggalkan Jala yang clueless setengah mati. "KENAPA SIH?! KOK KALIAN SEMUA ANEH?!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD