fourteen : surprise visit

1630 Words
"Jala dan teman-temannya udah nggak berani bolos lagi. Setelah kejadian kemarin, mereka udah rajin masuk kelas. Semua gara-gara kamu, Lara. Makasih yaaa." Lara memberikan cengiran lebar pada Bu Semira atas apa yang baru saja dikatakannya. Ia senang karena merasa dipuji, sekaligus senang mendapati adanya perubahan yang terjadi pada saudara kembarnya. "Hehe, itu sih paling karena mereka ngerasa diawasi, Bu. Tapi bagus deh kalau udah nggak bolos lagi, seenggaknya Aa nggak bikin ulah," balas Lara. Bu Semira tersenyum saja. Saat ini keduanya ada di ruang BK sekolah. Sejak kejadian berhasil menangkap basah Jala dan tongkrongannya yang membolos tempo hari, Lara memang jadi sering main kesini saat jam istirahat untuk menemui Bu Semira. Tidak ada tujuan khusus, Lara hanya datang untuk sekedar mengobrol dengan guru yang kini sudah akrab dengannya itu. Bu Semira pun menerima kehadiran Lara dengan baik. Katanya ia senang karena Lara sering datang dan menemaninya di ruang BK. Ia jadi punya teman mengobrol, karena di ruang BK kan Bu Semira sendirian, kantornya terpisah dari guru-guru yang lain. Mereka pun sering membahas banyak hal, tidak hanya seputar Jala saja. Karena Bu Semira masih terbilang muda, bahkan usianya lebih muda dari usia papinya Lara, maka mudah saja bagi Bu Semira untuk nyambung dengan obrolan Lara. Mengobrol tentang nail art bisa, tentang buku bisa, tentang drama Korea pun bisa, tentang ilmu psikologi apalagi. Rasanya seperti Lara tidak akrab dengan seorang guru melainkan seorang teman baru yang bisa berbagi banyak hal dengannya. Ditambah lagi, Bu Semira mengajari Lara mengenai banyak hal tentang psikologi yang menurutnya cukup menarik. Lara senang sekali bisa belajar hal baru. Selain itu, karena Bu Semira adalah guru BK, curhat dengannya pun juga bisa. Bu Semira pengertian, pendengar yang baik, tidak menghakimi, dan selalu tahu bagaimana harus menanggapi curhatan siswanya. Kalau sedang ingin curhat mengenai sesuatu yang Lara rasa tidak cocok untuk dibicarakan dengan Sean yang selama ini sudah jadi teman curhatnya, maka Lara sekarang akan lari ke Bu Semira. Contohnya seperti sekarang, Lara sebenarnya mendatangi Bu Semira untuk curhat. Apa yang mau dicurhatkan Lara? Papinya. "Bu, kayaknya hari Sabtu kemarin Papi saya bohong deh sama saya, padahal selama ini Papi saya sama sekali nggak pernah bohong, selalu jujur dan cerita apapun sama saya dan Aa. Mulai dari masalah kerjaannya, siapa aja yang mau Papi temuin, mau kemana, dan segala macam deh pokoknya!" cerita Lara. Semira pun mendengarkannya dengan penuh perhatian. Ia tidak mengatakan apa-apa dan membiarkan Lara melanjutkan ceritanya sampai selesai. "Tapi hari Sabtu kemarin, Papi pergi kan, katanya ada urusan kerjaan, which is nggak biasa banget. Soalnya Papi tuh kalau weekend biasanya mau istirahat atau quality time sama anak-anaknya. Papi perginya pagi-pagi gitu, Bu, sebelum saya sama Aa bangun. Papi juga nggak izin, nggak jelasin apa-apa, cuma bilang mau ketemu orang yang berhubungan sama kerjaan. Tapi waktu aku konfirmasi sama sekretaris Papi, katanya hari itu Papi nggak ada urusan kerjaan apa-apa. Berarti Papi bohong kan, Bu?" "Kamu udah tanya belum sama Papi kamu?" Lara menggelengkan kepala. "Saya nggak berani tanya, Bu. Terus saya juga nggak mau kalau ujung-ujungnya Papi tetap nggak jawab jujur. Tapi saya jadi kepikiran banget, Bu, dari kemarin saya pikirin terus." Lara tidak bohong, ia memang jadi kepikiran pasal papinya yang ia curigai berbohong ketiga pergi hari Sabtu lalu. Hamdan yang pergi pagi-pagi, baru pulang ketika menjelang sore. Begitu Lara bertanya, jawaban masih sama, ada urusan yang berhubungan dengan perkerjaan, sungguh bertolak belakang dari konfirmasi yang diberikan oleh Rafael. Dari hari Sabtu kemarin hingga sekarang sudah hari Senin, Lara jadi overthinking parah. Kenapa papinya bohong ya? Sebenarnya Papi pergi sama siapa? Kalau bukan urusan pekerjaan, terus Papi ngapain? Pertanyaan-pertanyaan tak terjawab itu terus berputar di benak Lara. "Lara, kalau kamu mau tau jawabannya, kamu harus tanya langsung sama Papi kamu," ujar Semira tenang. "Karena kalau kamu terus berasumsi macam-macam, tanpa tau kebenarannya gimana, yang ada kamu yang bakal dihantui pikiran buruk terus. Kamu nggak mau kan mikir buruk tentang papi kamu?" Lara menggelengkan. "Tapi saya juga takut Papi nggak jujur lagi, Bu. Saya nggak suka liat Papi bohong seolah mau nutupin sesuatu begitu. Rasanya kayak sesuatu yang buruk bakal datang gitu." "Saya belum pernah jadi orangtua Lara, tapi berkaca dari orangtua saya sendiri, saya rasa bohongnya mereka ke anak-anak selalu ada alasannya tersendiri. Dari cerita-cerita kamu selama ini bisa saya simpulkan kalau papi kamu orang yang baik Lara, jadi nggak mungkin dia bohong ke kamu untuk sesuatu yang buruk. There must be a good reason for it." Lara menggigit bibir dan berpikir. Jujur, ia tidak bisa merasa sepositif itu. Kebalikannya, perasaan Lara justru tidak enak. "Kalau ternyata Papi nyembunyiin pacar barunya gimana, Bu?" tanya Lara mencetuskan akar dari overthinking-nya belakangan ini. Semira tersenyum meringis. "Untuk yang satu itu saya nggak bisa berasumsi apa-apa, Lara. Solusinya cuma satu, kamu harus tanya langsung ke Papi kamu." Lara pun menghembuskan napas dalam. Oke, apa dia memang harus melakukan itu? *** Hari ini sekolah Jala dan Lara pulang lebih cepat daripada biasanya karena guru-guru sedang rapat. Para siswa pun jelas senang begitu mendengar pengumumannya. Mereka langsung bergegas merapikan barang-barang untuk pergi dari sekolah. Ada yang sudah berencana mau ke mall lah, mau kesini lah, kesitu lah. Bahkan tepat setelah pengumuman itu selesai disampaikan, Lara mendapat telepon dari Jala. "Adikku sayanggg, hari ini nggak pulang bareng ya. Gue mau main billiard dulu sama anak-anak. Lo balik sendiri ya atau minta anter Sean sono hehehe bye adik! Love you tapi boong! See you!" Lara bahkan belum mengatakan apa-apa, namun Jala sudah nyerocos panjang dan setelah selesai langsung memutuskan sambungan teleponnya, membuat Lara hanya bisa berdecak setelahnya. Aa-nya itu memang sudah gila. Baru juga hukuman selesai hari ini, langsung kelayapan kemana-mana. "Nonton yuk, Ra, mumpung pulang cepet nih," ajak Sean yang baru selesai membereskan barang-barangnya. Lara sendiri juga sudah selesai membereskan barang-barang, bahkan sudah menyampirkan ranselnya di bahu. Ajakan menonton dari Sean itu sebenarnya menarik. Lara sudah lama tidak menonton bioskop sepulang sekolah karena hukumannya beberapa minggu ini. Namun, hari ini Lara sudah punya rencana lain, jadi ia tidak bisa menerima ajakan Sean itu. "Lain kali aja ya. Hari ini gue mau ke kantor Papi," jawab Lara. "Mau ngapain?" "Iseng aja sih, mau kasih kejutan ke Papi, sekaligus ngajak makan siang bareng. Mumpung balik cepet ini." "Sama Jala ya?" Lara menggelengkan kepala. "Dia mau nongkrong sama temen-temennya. Gue naik taksi online." "Gue anter aja. Kantor papi lo juga searah sama rumah gue." Sekali lagi Lara menggelengkan kepala. "Lo kan belum punya SIM. Kalau Papi tau gue dianter sama orang yang belum punya SIM, entar diomelin." Sean mendengus, merasa tertohok dengan perkataan Lara. Sementara Lara tertawa saja dan meledek teman sebangkunya itu. "Makanya, kalau belum cukup umur tuh jangan bawa kendaraan dong." Setelah mengatakan itu, Lara berpamitan dengan Sean dan langsung berlari meninggalkannya. Sesuai yang dikatakan Lara pada Sean tadi, siang ini Lara memang ingin mendatangi kantor papinya. Selain untuk memberikan suprise visit sekaligus mengajak makan siang, Lara juga sebenarnya punya tujuan lain. Setelah curhat dengan Bu Semira tadi, Lara telah memantapkan diri untuk bertanya kepada papinya perihal kejadian Sabtu kemarin dan memastikan apakah sang papi benar-benar berbohong atau tidak. Kebetulan sekali hari ini sekolah pulang cepat dan Jala sedang pergi bersama teman-temannya, jadi Lara bisa lebih leluasa bertanya. Kalau ada Jala, pasti kakaknya itu akan menganggap Lara lebay karena bisa-bisanya mencurigai papinya berbohong hanya karena hal sepele. Atau kalaupun Jala percaya dengan semua overthinking-nya Lara, bisa jadi Jala justru semangat. Karena berbeda dengan Lara yang takut papinya punya pacar, Jala justru kebalikannya. Ia akan senang bukan main begitu tahu papinya punya pacar. Lara hanya bisa berdoa, semoga saja kekhawatirannya itu hanya sebatas kekhawatiran dan tidak akan terjadi. *** Tidak butuh waktu lama bagi Lara untuk sampai ke kantor papinya. Kebetulan jalanan tidak terlalu macet, lalu jarak antara sekolah Lara dan kantor papinya pun lumayan dekat karena sama-sama berada di pusat kota. Begitu turun dari taksi online, Lara bergegas menuju gedung perkantoran papinya. Walau gedungnya besar, tapi Lara sudah hapal dengan seluk-beluk gedung itu karena memang sudah sering datang kesana. Suasana hati Lara masih riang begitu ia sampai. Ia pun menyapa semua karyawan yang berpapasan dengannya dan memang sudah mengenali Lara siapa. Ketika Lara baru sampai di lobi Rois Group, kebetulan sekali ia bertemu dengan Rafael. "Om!" Lara menyapa sekretaris papinya itu. "Loh, Lara!" Rafael balas menyapa. "Kok disini? Nggak sekolah?" "Pulang cepet, Om, soalnya guru-guru lagi rapat." "Sendirian?" Lara mengangguk. "Aa lagi jalan sama temennya," ujar Lara. "Papi ada di ruangan kan, Om?" "Papi kamu udah keluar makan siang, Lara. Katanya tadi mau ke kafetaria." "Yaudah, aku kesana deh. Om mau kesana? Bareng aja kalau gitu!" Rafael menggeleng. "Om mau keluar sebentar. Dah, Lara!" Lara tersenyum saja ketika Rafael menepuk-nepuk bahunya, lalu bergegas untuk keluar dari kantor Rois Group. Sepertinya ada urusan mendadak sehingga harus pergi di jam makan siang ini. Sementara Lara pun mengubah tujuannya yang semula hendak ke ruangan papinya, jadi ke kafetaria kantor tempat dimana Rafael bilang papinya berada. Dalam perjalanan kesana, hati Lara masih riang. Ia senang dengan kafetaria di Rois Group karena makanan dan minuman disana enak-enak, jadi Lara sudah merencanakan mau memesan apa disana. Kafetaria itu cukup besar, desain interiornya juga cantik untuk ukuran sebuah kafetaria di kantor. Dinding-dindingnya terbuat dari kaca, sehingga orang-orang yang berada dari luar bisa melihat langsung ke dalam kafetaria. Lara belum sampai masuk ke dalam kafetaria begitu ia melihat papinya. Ia mempercepat langkah karena tidak sabar untuk mengejutkan sang papi. Hanya saja, begitu masuk ke dalam kafetaria, langkah Lara justru melambat sebab ia menyadari kalau papinya tidak sedang makan sendirian. Di salah satu meja kafetaria itu, papinya duduk dengan seorang wanita. Mereka makan bersama, mengobrol, dan tertawa besar. Demi apapun, rasanya baru kali ini Lara melihat papinya tertawa selepas itu dengan seorang wanita. Begitu Lara semakin dekat dengan meja papinya, Lara menyadari siapa wanita tersebut. Ia pun mematung di tempat dengan mulut menganga. Papi ngapain sama tantenya Anette?!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD