1. Sang Penolong

1488 Words
“Jadi, mau pesan roti dengan rasa apa saja, Mbak?” Kaina mulai jengah dengan pelanggan barunya. Bukan apa-apa. Mereka sudah berbicara berjam-jam, tetapi selalu kembali ke titik semula. “Dicampur saja lah, Dik. Semua rasa, ya,” putus Si Mbak dengan rambut pirang bergelombang itu. Dia mengibaskan tangan tidak sabar sambil menunjuk buku menu. “Saya catat ya, Mbak. Pesanan atas nama Diana Haditama untuk tanggal 24 Agustus 2019. Jenis pesanan, roti isi dengan berbagai varian rasa. Jumlahnya 500 roti. Benar?” “Ini rasanya apa saja tadi?” Diana kembali menanyakan sesuatu yang sama untuk ke sekian kali. Ingin rasanya Kaina mendengkus, tetapi dia harus profesional. Dia sedang berhadapan dengan pelanggan bawel. Ini sudah sering terjadi, jadi dia akan mengatasi seperti biasa. “Ini kan sudah ada keterangannya, Mbak,” ujar Kaina, menunjuk sebuah gambar yang sedari tadi terpampang jelas di hadapannya dan Diana. Diana manggut-manggut. Dia membelai rambut pirangnya dengan gaya berlebihan. Membuat Kaina memutar bola mata. Seharusnya Diana menyuruh orang lain saja untuk mengurus masalah seperti ini. Sungguh merepotkan. Jari lentik Diana kembali membuka buku menu yang sudah ditutup. Dia menelusuri jenis-jenis kue yang tersedia di toko roti Kaina. Dalam hati Kaina berdoa, semoga wanita itu tidak mengulang perkataannya lagi. “Ya, sudahlah, Dik. Itu saja. Nanti kalau ada perubahan biar aku telepon,” kata Diana sambil menutup keras buku di hadapannya. Kaina berusaha tersenyum ramah, meski sedikit kesal. Sabar, Kaina. Orang sabar disayang Tuhan. “Baik, Mbak. Saya tunggu sampai besok, ya. Kalau ada perubahan, tolong segera kabari kami.” Diana mengangguk singkat. “Ini pakai DP atau enggak?” Kaina bersiap untuk menjawab, tetapi Diana kembali bersuara. “Oh, tadi kamu sudah bilang, ya. Oke, aku ke kasir saja. Catat baik-baik pesananku.” Kaina tersenyum sopan dan mempersilakan Diana untuk menemui kasir. Tentunya setelah dia memberi rincian pembayaran. Jangan sampai ada yang salah atau Diana akan mengomel lagi sampai telinga Kaina terasa terbakar. Menghadapi pelanggan memang harus sangat sabar, apa lagi kalau ada yang “istimewa”. Menjalankan usaha toko roti Sang Bibi, membuat gadis itu banyak belajar tentang karakter setiap pembeli. Mulai dari yang sangat ramah sampai pelanggan pemarah. Serius! Kaina pernah menyerah menangani seorang pelanggan karena dia terus menyalahkan Kaina. Padahal kalau mau jujur, pelanggan itu memang tidak menyukai Kaina sejak pertama melihatnya. Entah apa alasan pelanggan itu. Kaina yakin mereka belum pernah bertemu. Kenapa Kaina seolah memiliki salah padanya? “Sudah selesai?” Kaina tersentak, hampir terjungkal dari kursi ketika mendengar suara di dekatnya. Sejenak dia merasa sesak memenuhi d**a. Namun, begitu tahu siapa yang muncul, dia mengembuskan napas lega. Gadis seumuran Kaina melihat tanpa kedip. Mulutnya terbuka lebar dan dia terdiam untuk waktu yang sangat lama. Dia tidak bermaksud mengejutkan Kaina dan membuat gadis itu syok. Tadi, dia lupa mengetuk pintu seperti sebelum-sebelumnya. “Maaf, Kai. Aku enggak bermaksud untuk ....” “Aku baik-baik saja, Ra. Cuma kaget saja,” ujar Kaina. Dia tersenyum dan mulai membereskan buku menu yang ada di meja. Meski berusaha untuk tenang, dia bisa melihat tangannya sedikit gemetar. Dara, Si Gadis yang mengejutkan Kaina, menjadi waswas. Kaina sudah lama tidak berekspresi seperti itu. Mulutnya bisa berkata kalau dia baik-baik saja, tetapi wajah Kaina sedikit berbeda. Dara yakin kalau Kaina hanya tidak ingin membuatnya khawatir. Bingung mau melakukan apa, Dara berdeham dan duduk di hadapan Kaina. Dia tidak mengeluarkan sepatah kata pun, takut akan membuat Kaina semakin membisu. Jadi, dia memutuskan untuk menunggu Kaina berbicara. “Kita jadi ke kampus?” Dara lega luar biasa ketika Kaina akhirnya bertanya. Dia memperhatikan Kaina yang sudah selesai menyusun semua buku. “Jadi. Mau berangkat sekarang?” Kaina melirik jam di tangan, lalu mengangguk. “Kita harus mempersiapkan acara amal itu agar berjalan lancar,” katanya sambil tersenyum. “Bagaimana dengan musik pengiringnya? Sudah ada yang mendaftar?” Kali ini Kaina menggeleng sedih. Mengajak orang untuk berbagi ternyata tidak semudah itu. Kaina sudah meminta bantuan pada anak-anak seni musik untuk membantu, tetapi mereka sedang sibuk mempersiapkan konser. Yang lainnya pura-pura tidak mendengar permintaan Kaina. Sebagai mahasiswi yang baru dua tahun berada di kampus, Kaina sadar betul jika dia masih belum bisa memengaruhi siapa pun. Ini salahnya juga. Sejak awal dia membatasi pergaulan. Dia nyaman mengerjakan segala hal seorang diri. Baginya, Dara saja cukup sebagai teman. Dia tidak membutuhkan orang lain. Sekarang dia baru menyesali sikap. Dia memang cukup dikenal oleh sebagian penghuni kampus. Siapa yang tidak mengenal Kaina. Si Mahasiswi penerima beasiswa penuh yang sangat cemerlang dengan segudang prestasi. Dia sering mewakili kampus dalam berbagai lomba dan meraih kemenangan. Sebatas itu. Sikap Kaina yang seolah tidak ingin diganggu membuat semua orang yang ingin mendekat urung. Mereka memutuskan untuk sekadar tahu prestasinya dan tidak berminat menjadikan gadis itu sebagai teman atau sahabat. “Waktu kita masih banyak. Kamu tenang saja,” hibur Dara, mengerti apa yang membuat saudara sekaligus sahabat baiknya itu murung. “Seharusnya aku lebih membuka diri, jadi mereka tidak akan enggan membantu.” Dara menghela napas. Dia sangat mengerti mengapa Kaina sulit untuk memulai pertemanan. Kaina itu gadis yang nyaris sempurna. Setidaknya itu yang dilihat oleh Dara. Sayangnya, Kaina mengalami hal yang bisa dibilang mengerikan dalam hidup. Dia sudah mengalami masa sulit yang panjang. Bukan tanpa sebab, Kaina tidak mau berteman. Dia hanya tidak ingin orang lain melihat bayang-bayang masa lalunya yang kelam. Jadi, agar tidak ada yang mengetahui kenyataan pahit yang telah dialami, dia memilih untuk menyisih. Kaina sudah sering mencoba untuk lebih memercayai orang baru. Namun, setiap kali sudah mulai nyaman, rasa yang dipendamnya bertahun-tahun senantiasa mengganggu. Dia mungkin bisa mengatakan pada orang terdekatnya kalau dia sudah melupakan kejadian memilukan itu. Nyatanya, sampai saat ini dia masih kerap dihantui mimpi buruk. “Jangan menyerah gitu, dong. Ada aku yang bakal bantu. Oke?” Dara menyatukan telunjuk dan ibu jarinya, memberi semangat pada Kaina. “Makasih ya, Ra.” “Kamu ini kayak sama siapa saja.” Tawa Dara membuat Kaina tersenyum. “Memangnya harus ada musik, ya?” “Enggak harus juga, sih, tapi kalau ada musiknya kan lebih berasa.” “Ya, sudah. Ayo, kita ke kampus. Kita cari pemusik andal yang keren dan mau main tanpa dibayar.” Ucapan Dara membuat Kaina tertawa. Memangnya ada yang seperti itu? Zaman sekarang, orang andal selalu ingin dibayar untuk setiap tampilan mereka. Yah, kecuali bagi yang benar-benar memiliki hati tulus. Meskipun begitu, Kaina tetap tidak ingin berhenti berharap. Dia yakin, masih ada orang yang peduli pada sesama. Orang yang akan membantu tanpa mengharap imbalan. Dia jadi tidak sabar melihat sosok penolongnya. *** Suasana kampus terasa semakin sepi pada saat seperti ini. Hanya beberapa orang yang datang. Itu pun karena urusan mendesak atau kehabisan tempat untuk nongkrong. Ada segerombolan mahasiswa yang memasuki gedung olahraga. Sementara di halaman kampus terasa lengang. Jika bisa memilih, Kaina lebih menyukai suasana ini. Tenang dan sepi. Seolah dunia memang diciptakan untuk kedamaian. Dia tidak suka berada di tengah keramaian dan merasa asing. Walaupun akhir-akhir ini dia sudah jarang merasakannya, tetap saja, sepi membuat gadis itu bebas. “Hai, Kaina! Sudah ditunggu yang lain di aula.” Seorang gadis berambut bob menghampiri Kaina. Itu Hilma. “Oh. Maaf, ya. Aku telat,” sesal Kaina. Dia sedikit menunduk untuk meminta maaf. “Biasa saja, Kai. Cuma telat sebentar, kok. Ayo, masuk!” *** Kaina berdeham dan menarik napas berulang-ulang. Ini bukan pertama kali dia berbicara di depan banyak orang, tetapi gadis itu tetap gugup. Dara menepuk pundaknya untuk memberi kekuatan. Kaina menoleh dan mengucapkan terima kasih tanpa suara. “Assalamualaikum. Selamat pagi, Teman-teman. Terima kasih karena sudah datang memenuhi undangan kami,” ucap Kaina membuka diskusi. “Seperti yang sudah kita sepakati bersama, kita akan mengadakan acara amal berupa bazar. Nanti akan ada beberapa stand untuk menjual produk kita. Sampai hari ini, bagaimana persiapannya?” “Tempat sudah oke. Bahan-bahan kue juga sudah oke, nunggu Si Tangan Ajaib buat bikin. Tinggal musik pengiringnya yang belum,” celetuk pria berkemeja coklat, Bima. “Kami sedang mengusahakan,” ujar Kaina pelan. “atau ada yang punya usul. Para mahasiswa seni musik sedang sibuk mempersiapkan konser, jadi mereka belum bisa membantu.” “Itu sih alasan saja. Mereka itu cuma sok penting, jadi maunya dibayar,” ujar seseorang yang duduk di barisan belakang, Tari. “Iya, Kai. Mereka itu enggak bisa diharapkan. Enggak punya rasa solidaritas,” timpal yang lain. Kemudian, aula menjadi sedikit ribut karena perdebatan antar peserta mengenai masalah musik. “Harap tenang semuanya. Jangan berburuk sangka, ya. Siapa tahu mereka memang sedang sibuk,” ucap Kaina menenangkan. “Tapi kan enggak semuanya ikut konser, Kai. Mereka itu cuma cari-cari alasan.” Kaina hanya tersenyum menanggapi perkataan itu. Dia tidak ingin memperkeruh suasana. Meskipun yang mereka katakan benar, tetapi dia tidak bermaksud meneruskan perdebatan tentang klub seni musik kampus. “Sudah, ya. Niat kita kan mau memberikan sesuatu yang baik. Jadi, jangan sampai ternoda dengan hal-hal yang jelek. Insyaallah, kita akan segera menemukan orang yang bersedia membantu.” Tidak ada yang membantah ucapan Kaina. Semua yang hadir di ruangan mengangguk setuju. Mereka sudah mempersiapkan hati untuk menolong sesama. Seharusnya mereka memang tidak berdebat untuk sesuatu yang tidak penting. Sebagai penggagas ide kegiatan amal itu, Kaina senang sudah banyak yang mendukung. Ini merupakan pengalaman pertamanya, jadi dia ingin bekerja keras. Dia tidak mau ada hambatan di tengah acara. “Mau gue bantu?” Kaina menoleh dan hanya bisa menelan ludah begitu melihat siapa yang berbicara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD