Musyawarah Keluarga

1203 Words
Sekar yang melihat ketenangan Devan itu, justru semakin kesal. Tidak perduli di hadapan keluarganya, ia pun langsung menarik pemuda itu. “Apa-apaan kau? Kenapa kau justru setuju dengan ucapan ayahku kau ‘kan juga bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi?” ucap Sekar di sela-sela air matanya. “Aku harus bagaimana? Kau juga bisa lihat sendiri ‘kan bagaimana aku bisa menjelaskannya. Sedangkan ayah kamu yang galak itu, sama sekali nggak mau dengar alasannya. Aku kira, setelah usianya setua ini, Pak Rahmad nggak bisa galak lagi. Ternyata tetap sama seperti dulu,” ujar Devan dengan tenang. “Kau benar-benar pria pembawa sial. Kau fikir aku mau menikah sama kamu?” “Yah, tadinya aku juga nggak mau nikah sama kamu. ‘Kan kamu dengar sendiri kalau ayah kamu yang mendesak,” “Sekar! Kemari kamu!” panggil Pak Rahmad dengan tegas. Gadis itu pun menurut. “Ayah, sumpah aku sama sekali tidak ingin menikah sama dia. Ini semua salah paham. Dia itu pria begajulan, Ayah. Tolong jangan anggap serius kesalah pahaman ini,” bujuk Sekar. “Ayah, ‘kan bisa dibicarakan baik-baik. Sekar juga pasti punya alasan. Masa ayah nggak percaya sama anak sendiri,” Bu Yumna juga turut membujuk suaminya. “Tidak! Apa pun itu mereka, keputusan ayah sudah bulat. Ayah tidak mau mereka semakin berani melakukannya. Jadi sebaiknya dinikahkan saja”. “Ayah, aku mohon. Aku sama sekali nggak ada hubungan apa-apa dengan laki-laki itu. Dia muncul dari jendela begitu saja. Aku sama sekali tidak mengundangnya,” rengek Sekar berharap sang ayah bisa menerima penjelasannya. Namun tetap saja nihil. * Hanya sekitar 30 menit, dan suasana hari menjelang malam, kedua orang tua Devan pun datang dan segera menuju ruangan tersebut. Saat pertama melihat kedua orang tua itu, Pak Rahmad seolah mengingat sesuatu. “Aduh, Devan. Ada apa lagi, sih ini?” seru Bu Jasmin. “Silahkan duduk dulu, bapak, ibu!” ujar Pak Rahmad mempersilahkan. Mereka pun duduk di ruangan seadanya itu. Tidak tampak ada yang mengeluh di antaranya. “Ayah, ibu, ini adalah Pak Rahmad. Salah satu guru di sekolah aku di kota P, sebelum kita pindah ke sini,” ujar Devan memperkenalkan. Sontak Pak Rahmad terkejut kalau ternyata pria yang bersama putrinya itu, pernah menjadi muridnya. “Jadi...,” Pak Rahmad tidak melanjutkan kalimatnya. Sedang Devan dengan sikapnya yang kekanakan itu hanya bisa selengekan. Wajah pemuda itu memang termasuk kategori pria tampan. Hanya saja tingkahnya itu, membuat Sekar muak. Terlebih kalau ingat perbuatannya semasa sekolah dulu. “Lalu, kenapa kau menghubungi ayah dan ibu untuk datang ke sini, dan bilang mau nikah mendadak? Apa kau mau mempermainkan ayah dan ibu lagi?” tukas ayah dari Devan. “Siapa juga yang mau mempermainkan ayah dan ibu? Aku serius kok bilang itu. Nggak bohong! Pak Rahmad yang nyuruh aku menikahi anaknya. Iya ‘kan, Pak?” Devan melemparkan pertanyaan itu pada ayahnya Sekar. “Tapi aku nggak mau nikah sama kamu. Entah datang dari mana kau sudha masuk aja ke ruangan ini. Aku sudah pernah bilang sama kamu. Kalau kau itu pembawa sial!” lancang jawaban Sekar. “Eh eh eh,” suara Bu Jasmin keberatan. “Jangan sembarangan bilang anak saya pembawa sial!” ucapnya tidak terima. Pak Wahyu Atmaja, menahan sang istri untuk lebih tenang. “Jadi, ini anaknya Pak Rahmad? Mau nikah sama anak saya? Tapi anaknya nggak mau, gimana, Pak?” tanya Pak Wahyu. Pak Rahmad pun menjelaskan apa yang terjadi antara putrinya dengan Devan, dan Pak Wahyu beserta istri hanya bisa mendengarkan saja. Bu Yumna hanya bisa memeluk putrinya, Sekar. Dan dahlia sendiri tampak Bingung. Berbeda dengan Devan yang justru asik memainkan gawainya. Usut punya usut, dari cerita itulah Pak Rahmad baru ingat siapa Pak Wahyu. Salah satu orang tua yang dulunya pernah dipanggil ke sekolah. Yang tak lain karena ulah Devan sendiri yang suka menjahili teman-temannya. Termasuk Sekar, anak dari wali kelasnya. Karena pada waktu itu, Devan terkenal dengan segala masalah yang ia buat. “Ah, iya. Saya baru ingat sekarang,” ujar Pak Wahyu. “Iya, Pak Rahmad. Lama tidak bertemu, yah. Karena pada waktu itu, saya harus pindah tugas ke sini. Makanya, setelah kejadian itu, Devan juga harus pindah sekolah,” lanjut Pak Wahyu. “Jadi bagaimana? Apa Pak Rahmad tetap yakin akan menikahkan putri Bapak dengan Devan?” tanya laki-laki itu. “Apapun itu, saya tetap pada tekad saya. Pak Wahyu sendiri bagaimana?” tanya balik Pak Rahmad yang bahkan tidak perduli rengekan Sekar, agar ayahnya berubah fikiran. “Sebenarnya, jujur saja. Saya dan istri memang sudah sepakat mencarikan jodoh untuk Devan. Dengan tujuan agar anaknya bisa lebih dewasa lagi. Kalau saya sih tidak keberatan. Apa lagi, saya sudah kenal dengan Pak wahyu. Tapi kelihatannya Sekar masih sangat membenci Devan. Saya takutnya dia yang tidak setuju,” ujar pak Wahyu. “Biar Sekar jadi urusan saya, Pak Wahyu,” ucap Pak Rahmad. Setelah saling mengenal antar keluarga secara kilat, keluarga Atmaja pun berpamitan untuk pulang dan berjanji untuk menjemput keluarga itu besok pagi. “Ayah, tolong fikirkan sekali lagi. Ayah nggak kasihan melihat Sekar tertekan seperti itu? Masa ayah mau menikahkan anak sama pemuda slengekan gitu?” tukas Bu Yumna menyampaikan rasa keberatannya. “Ibu nggak dengar apa tadi kata Pak Wahyu? Dia juga ingin menikahkan putranya agar bisa bersikap lebih dewasa?” “Trus, ayah menjadikan Sekar untuk tumbalnya?” gerutu Bu Yumna. “Sudahlah, Bu. Siapa juga yang mau kejadiannya seperti ini. Ibu fikir ayah nggak stres pertama kali melihat mereka ada di atas tempat tidur?’ “Tapi ‘kan Sekar sudah jelaskan kalau itu hal yang tidak terduga. Masuk akal ‘kan kalau pria itu memang sengaja masuk dari jendela,” “Apa pun keputusannya, Sekar harus tetap menikah dengan laki-laki itu!” “Tapi aku nggak mau, ayah. Aku nggak mau! Ayah ingat ‘kan dia itu siapa? Bahkan aku lebih baik melihat orang gila dari pada melihat dia. Devan itu selalu membuat aku sial ayah,” tangis Sekar. “Cukup, Sekar! Jangan membantah, dari dulu kamu selalu membantah, masih bisa ayah pertimbangkan. Tapi tidak untuk kali ini. Kalau kau berani membantah, itu artinya kau juga sudah siap kehilangan ayah,” tukas Pak Rahmad memilih untuk keluar untuk sementara waktu. Meninggalkan istri dan kedua putrinya di ruangan itu. Sekar terus menangis. “Sabar yah, Nak. Bagaimana pun itu sudah keputusan ayah kamu,” ujar Bu Yumna. “Tapi aku nggak suka sama Devan, Bu,” “Jangan bicara begitu, Nak. Pasti ada hikmah dibalik ini semua. Devan yang kamu kenal dulu mungkin anaknya jahil. Tapi siapa tahu, sekarang dia sudah banyak berubah,” sang ibu berusaha menenangkan. “Berubah apanya, Bu? Jelas-jelas dia itu masuk lewat jendela. Dikejar-kejar orang lagi. Itu pasti karena perbuatannya,” tukas Sekar. “Tapi kok aku nggak yakin yah kak? Padahal abang itu orangnya ganteng. Dan penampilannya juga nggak terlihat seperti orang slengekan. Kak sekar coba aja dulu!” tukas Dahlia dengan polosnya, setelah dari tadi ia hanya mendengar saja sambil berusaha memahami. “Diam kau! Anak kecil tahu apa,” tukas Sekar melotot dengan matanya yang masih membasah. “Ye, kali aja ‘kan kak. Kayak di film Korea, gitu?” Bu Yumna hampir saja mau tertawa. Namun teringat dengan tekanan hati Sekar. Ia hanya memeluk wajah putri sulungnya itu. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD