Belajar Bertanggung Jawab

1236 Words
Bu Jasmin masih meracau sesampai mereka di rumahnya. Ia bahkan menjitak kepala Devan karena kesal. Namun justru hal itu membuat Devan tersenyum kecil. “Apanya yang lucu, Devan? Kamu fikir pernikahan itu ajang main-main?” tukas pak wahyu menanggapi ekspresi putranya yang sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah. “Memangnya ayah dan ibu fikir, karena aku tertawa, aku jadi mempermainkan masalah ini?” ujarnya datar. “Trus, kenapa kamu senyum-senyum?” “Nggak boleh kalau aku senyum? Atau ayah dan ibu mau lihat aku menangis sambil menggerogoti dinding rumah ini?” sahut devan. “Devan, ayah dan ibu sedang tidak ingin melihat kamu bercanda!” tukas pria paruh baya itu lagi. “Ayah, ibu. Aku hanya menertawakan nasib aku. Bukankah permintaan kalian segera tercapai, yang selalu bilang ingin menikahkan aku biar lebih dewasa? Lalu, apa lagi? Permintaan kalian segera terkabul ‘kan?” “devan, ayah dan ibu memang mengharapkan kamu menikah agar lebih dewasa. Tapi nggak begini juga sih caranya? Mendadak sekali. Lagian, kalau kamu memang suka sama dia, kenapa kamu nggak bilang kalau kalian itu pacaran?” ujar sang ibu. “Idiiih, siapa yang pacaran? Aku juga nggak nyangka kalau pertemuannya seperti itu,” ujar Devan. Pak Wahyu menatap putranya lebih serius. “Jadi, apa yang dikatakan Sekar tadi, itu semuanya benar?” “Iya. Kamu sama sekali nggak nyangka akan bertemu seperti itu,” jawab Devan. “Lantas, kenapa tadi kamu tidak mengatakan hal yang sebenarnya. Dan bahkan menyetujui permintaan Pak Rahmad?” tukas Pak Wahyu. “Mau bagaimana lagi, ayah. Itu ‘kan desakan ayahnya. Mungkin saja ayahnya juga mau anaknya segera menikah. Karena kalau melihat sekilas, sepertinya Sekar itu perempuan yang jutek. Makanya sampai sekarang anaknya itu belum menikah. Wajar ‘kan kalau seorang ayah resah kalau putrinya masih belum menikah?” “Terus kenapa kamu setuju? Bukankah dulu di sekolah itu, kamu suka sekali mengganggunya. Dan sekarang tanpa berfikir panjang, kamu langsung menyetujui pernikahan ini?” pungkas Pak Wahyu lagi. “Lha, tadi di depan Pak Rahmad, kelihatannya ayah setuju aja. Kenapa sekarang malah balik marah sama aku?” balas Devan. “Bukan mau menyerang kamu. Nggak harus juga ‘kan ayah harus adu pendapat sama Pak Rahmad di tempat tadi? Apa lagi kamu juga terlihat baik-baik saja dengan kejadian itu. Wajar setelah sampai di sini, ayah dan ibu tanya apa maksud kamu menyetujui pernikahan ini. Makanya ayah dan ibu, tidak mau kamu main-main. Karena pernikahan itu adalah sakral,” “Ayah, ibu. Bukannya sebagai orang tua, kalian tahu takdir perjodohan itu sangat unik. Aku aja nggak tahu sama sekali kalau itu adalah kamar keluarganya. Siapa suruh mereka liburan ke sini?” ucap Devan membela diri. “Sebenarnya tadi kamu kok bisa ada di sana? Kok bisa masuk ke kamar Sekar lewat jendela, bukannya itu aneh?” tanya Bu Jasmin. Pak Wahyu juga menunggu jawaban yang sama. “Oh, itu. Nggak ada. Aku cuma mau liburan. Udah lama juga nggak ke sana. Awal aku pindah sekolah ‘kan, aku sering di ajak sama teman main ke sana. Yah udah, aku iseng ke sana. Ternyata di sana ada sekelompok pemuda. Salah satunya pernah berantem sama teman aku. Nggak tahunya dia kenal sama aku, jadi main serang gitu aja. Padahal sama sekali nggak niat mau mengganggu siapapun,” jelas wahyu dengan ekspresi yang jujur. “Yakin kalau salah satu dari mereka itu pernah berantem sama teman kamu? Bukan sama kamu?” “Ayah, kalau memang aku yang berantem dengan salah satu mereka, mana mungkin aku akan pergi ke sana sendirian dengan tangan kosong. Itu bunuh diri namanya,” celutuk Devan. Sedang ketiganya bermusyawarah di ruang tamu, tiba-tba terdengar suara seorang gadis. “Ada apaan sih? Kayaknya obrolannya seru banget, sampe nggak tahu kalau anak sulungnya sampai?” tergurnya. Gadis itu adalah Zaskia Atmaja. Kakak dari Devan. Mereka sering memangilnya dengan Jessy. “Ah, Jessy. Kamu sudah sampai, Sayang. Itu adik kamu. Ibu sudah tidak tahu lagi harus bagaimana menjelaskannya,” uar Bu Jasmin sambil menekan kecil pelipisnya. Pak wahyu pun terdiam sejenak. “Hhhmm, ada ulah apa lagi yang kamu lakukan sampai ayah dan ibu terlihat tertekan seperti ini, Devan?” Devan terlihat cengengesan. “Stres, padahal karena doa mereka terkabul,” jawabnya. Yang justru membuat Jessy mengerutkan wajahnya. “Maksudnya?” “Aku akan segera menikah. Mungkin besok, atau lusa,” jelas devan. “Hah, kau bercanda! Kau mau melewati aku dulu?” “Kalau sudah jodoh, kenapa nggak? Nggak ada masalah ‘kan? Karena dari kemarin kalian selalu meledekku ingin segera menikahkan aku, biar lebih dewasa. Biar punya tanggung jawab. Iya ‘kan?” “Jadi ini beneran serius?” tanya Jessy menoleh ke arah ayah dan ibunya yang pasrah. Kedua orang tua itu lelah untuk bersuara. “Sialah lu! Anak siapa yang udah lu buntingin?” ucap Jessy masih tidak percaya. “Kak Jes, jangan sembarangan ngomong! Biar begajulan begini, aku masih belum pernah menyentuh dan melecehkan anak orang. Ini murni memang kemauan Bapaknya. Yah, karena memang kecelakaan yang tidak diinginkan, dan faktor ketidak-sengajaan,” jelas Devan. “Udah, ahk. Aku juga jadi pusing kalau harus menjelaskan dari awal! Aku ke kamar dulu. Dari tadi belum mandi,” “Tapi lu belum bilang sama aku. Pasti cewek itu nggak mau sama kamu! Anak begajulan,” ledek Jessy. “Nggak apa-apa. Nanti dia juga bakalan cinta sama aku! Dijalani aja, dulu!” tukas Devan yang menghilang di balik pintu kamarnya. “Ayah, bagaimana ini?” tukas Bu Jasmin. “Yah, mau bagaimana lagi. Mungkin ini memang jalan terbaik. Siapa tahu dengan begitu, Devan benar-benar jadi punya tanggung jawab. Siapa lagi yang akan meneruskan perusahaan Atmaja,” ujar Pak Wahyu. “Tapi, tadi ayah nggak bilang ‘kan kalau keluarga kita itu adalah keluarga Atmaja. Melihat sikap anak gadis itu, sepertinya dia matre. Jangan-jangan kalau dia tahu siapa Devan, dia jadi berubah sikap,” ujar Bu jasmin mengingat sikap Sekar yang menolak Devan. “Tidak. Biarkan mereka tahu dengan sendiri. Tapi sepertinya ibu salah. Sekilas sekar sama sekali bukan gadis seperti yang ibu bilang. Nggak mungkin juga dia nggak bisa menilai penampilan ibu yang modis. Tapi dia tetap bicara kalau Devan itu begajulan di depan kita,” Pak Wahyu memaparkan hasil pengamatannya. “Iya, juga, sih! Tapi tetap aja ibu nggak suka dia mengatai Devan,” “Memang itu kenyataannya ‘kan, Bu? Lagian dia bilang di depan kita. Bukan di belakang kita. Itu artinya dia berterus terang,” jelas suaminya itu lagi membuat Bu jasmin tidak bisa lagi membela diri. “Memangnya perempuan itu seperti apa? Sepertinya seru, karena bicaranya terdengar lantang. Jadi ini pernikahan paksa? Ayah kenala dengan keluarga perempuan itu?” “Ayah perempuan itu adalah guru di sekolah Devan di kota P dulu, sebelum kita pindah ke kota ini. Mereka datang ke sini untuk berlibur. Dan putrinya itu adalah salah satu teman sekelas Devan yang dulu sering dijahili. Kamu tahulah adik kamu itu seperti apa. Anak gurunya saja dijahili. Kalau nggak salah, itu adalah ulahnya yang terakhir di sekolah. Yang sampai panggilan orang tua. Dan setelah kejadian itu, bersamaan ayah juga pindah tugas ke sini,” jelas Pak Wahyu. “Wow, jadi ini cerita ini bertema pertemuan yang tidak terduga, berujung jodoh, terpaksa menikah dengan orang yang dulu sering dijahili, begitu?” Jessy tampak cengengesan. “Apapun itu, kita akan mempersiapkannya dengan baik. Karena besok, kita akan menjemput mereka dari hotel ke rumah ini,” ujar Pak Wahyu. “Secepat itu, Ayah?” “Ya!” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD