prolog

508 Words
Lampu kristal menggantung anggun di langit-langit ballroom. Ribuan bunga putih menghiasi ruangan, musik klasik mengalun lembut, dan para tamu dari kalangan pejabat hingga pengusaha ternama saling berbisik sambil menikmati hidangan mewah. Dari luar, pesta itu tampak sempurna—sebuah pernikahan megah pewaris keluarga besar. Namun di tengah sorot lampu dan kilatan kamera, Emyr Hadiwijaya pria berusia 27 tahun yang merupakan pengusaha muda tampan dan sukses, berdiri kaku. Jas hitamnya membungkus tubuh tegapnya, senyum tipis dipaksakan menghiasi bibir. Ia berjalan berdampingan dengan Alyssa Nirmala, gadis berusia 20 tahun yang kini sah menjadi istrinya, seorang gadis dari kalangan keluarga sederhana yang sama sekali tidak pernah Emyr kenal. Mereka adalah dua orang asing yang tidak saling kenal dan terjebak dalam ikatan pernikahan. Alyssa tampak anggun dalam gaun putih berkilauan. Senyumnya lembut, tapi matanya menyimpan keraguan. Ia tahu, semua tepuk tangan dan ucapan selamat bukan untuk dirinya—ia hanyalah pengganti, bagian dari perjanjian yang ia buat dengan nenek Emyr. “Lihatlah mereka… pasangan yang sempurna,” salah satu tamu berbisik sambil menyesap sampanye. Emyr mendengarnya, dan hatinya mencelos. Ia tahu betul betapa tidak sempurnanya pernikahan ini. Tatapan neneknya dari kursi utama terasa seperti pengawasan yang tak bisa ia hindari—dingin, tegas, penuh peringatan bahwa ia tak boleh mengecewakan. Sementara itu, Alyssa berusaha menjalankan perannya. Ia menyapa tamu, menunduk sopan, menahan tangis yang hampir pecah. Sesekali, ia melirik ke arah Emyr, tapi pria itu tetap memasang wajah beku, seolah dirinya hanyalah rekan bisnis dalam sebuah kontrak. Ketika mereka diminta naik ke pelaminan untuk bersulang, Emyr mengangkat gelasnya tanpa kata. Alyssa meniru gerakannya. Semua tamu bersorak, musik mengiringi, dan pesta berlanjut dengan tawa serta keriuhan. Namun di balik gemerlap cahaya, dua hati yang duduk di singgasana pengantin itu sama-sama terikat bukan oleh cinta, melainkan oleh hutang dan paksaan. Hiruk pikuk pesta masih bergema di ballroom. Musik, tawa, dan suara tepuk tangan berbaur dengan aroma bunga. Namun di koridor samping yang sepi, Emyr berjalan cepat, melepaskan dasinya dengan geram. Dadanya sesak—setiap senyum palsu dan ucapan selamat barusan terasa seperti belenggu yang semakin mencekik. Alyssa, yang melihatnya keluar dari pelaminan, ragu sejenak sebelum mengikuti. Tumit sepatunya beradu pelan dengan lantai marmer, gaun putihnya menyapu lantai. “tunggu…” suaranya pelan, hampir tenggelam oleh suara pesta di balik pintu. Pria itu menoleh. Tatapannya tajam, penuh letih. “Kau tidak perlu mengikutiku. Kembalilah. Mereka masih menunggumu di sana.” Alyssa menggenggam gaunnya erat-erat. “Aku… aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja.” Emyr terkekeh sinis, tanpa senyum. “Baik-baik saja? Kau pikir aku bisa baik-baik saja saat dipaksa menikahi seseorang yang bahkan tidak kuinginkan?” Ucapan itu menohok hati Alyssa, tapi ia mencoba tetap tegar. “Aku pun tidak menginginkan ini. Aku tidak meminta berdiri di sampingmu malam ini. Tapi… aku tidak bisa menolak.” Emyr menatapnya tajam, seolah mencari kebohongan. “Kenapa? Apa yang bisa membuatmu rela terjebak dalam pernikahan seperti ini?” Alyssa terdiam lama. Lalu dengan suara nyaris bergetar, ia berbisik, “Karena.... Belum sempat bicara... seseorang di belakang memanggil nya. "Alyssa..." Alyssa menoleh dan mendapati seseorang berdiri tersenyum padanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD