part 2

998 Words
HOTEST BAR.. malam hari Lampu kristal berkilauan berpendar di langit-langit bar mewah itu, kursi kulit hitam yang empuk, dan aroma anggur bercampur dengan asap cerutu tipis dari sudut ruangan. Musik jazz yang mengalun lembut menambah suasana elegan, tapi bagi Greta, semua itu hanya latar yang tak berarti. Yang penting baginya hanyalah pria di hadapannya malam itu—Emyr. Greta meneguk pelan napasnya, jantungnya berdetak cepat. Dia memilih gaun satin berwarna emerald malam ini, sengaja untuk membuat dirinya terlihat anggun, meski dalam hati dia begitu gelisah. Dari balik kilau lampu, matanya menatap Emyr yang duduk santai, mengenakan jas hitam dengan kemeja putih terbuka dua kancing di atas. Sikapnya tenang, tapi justru ketenangan itu membuat Greta resah. “Emyr,” suara Greta terdengar pelan, hampir tenggelam oleh musik, “aku ingin kita bicara serius malam ini.” Emyr mengangkat alisnya, jemarinya memutar perlahan batang gelas wine yang belum disentuh. “Aku sudah menduga kau akan mengatakan itu.” Greta menelan ludah, menunduk sebentar sebelum kembali menatapnya. “Aku butuh kejelasan. Kita sudah terlalu jauh berjalan, tapi aku tidak tahu… arah hubungan ini ke mana. Aku tidak bisa terus-terusan terjebak di antara harapan dan keraguan.” Emyr diam, wajahnya sulit terbaca. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu melipat tangan di d**a. “Kau merasa aku hanya mempermainkanmu?” “Bukannya aku ingin menuduh,” jawab Greta cepat, “tapi… aku tidak bisa membaca hatimu, Emyr. Kau selalu hadir, tapi di saat yang sama terasa jauh. Kau membuatku jatuh, tapi tak pernah mengulurkan tangan penuh untuk menangkapku.” Kalimat itu membuat keheningan jatuh di antara mereka. Suara denting gelas dan tawa dari meja-meja lain seakan terdengar jauh. Emyr akhirnya menghela napas panjang, suaranya dalam dan berat. “Kalau aku tidak sungguh-sungguh, Greta… aku tidak akan berada di sini malam ini. Aku tidak akan pernah mengizinkan diriku terikat denganmu sejauh ini.” Greta menggenggam jemarinya sendiri, berusaha menenangkan hatinya yang bergejolak. Kata-kata itu menenangkan sekaligus membuatnya bingung. “Tapi sungguh-sungguh yang seperti apa, Emyr? Cinta? Atau hanya rasa nyaman?” Tatapan Emyr menajam, ia condong ke depan, jarak wajah mereka hanya terpaut meja kecil. “Kau pikir aku pria yang mudah memberikan waktuku pada sembarang orang? Kau pikir aku mengorbankan segalanya hanya demi permainan?” Greta terdiam. Kata-katanya keras, tapi justru menyimpan sesuatu—sebuah rahasia yang belum diucapkan. “Ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku, bukan?” suara Greta nyaris berbisik, tapi penuh keyakinan. Emyr tidak langsung menjawab. Matanya sedikit redup, seolah terseret pada pikiran yang jauh. “Mungkin,” katanya akhirnya. “Dan mungkin itu yang membuatku tidak bisa sepenuhnya memelukmu… setidaknya, belum sekarang.” Greta merasa dadanya diremas. Separuh dari dirinya ingin bangkit dan pergi, tapi separuh lainnya ingin tetap duduk di sana, menggali kebenaran lebih dalam. “Kalau begitu,” suaranya bergetar namun tegas, “aku tidak bisa menunggu tanpa batas waktu. Aku mencintaimu, Emyr. Tapi aku tidak ingin cintaku menjadi penjara.” Emyr menatapnya lama, lalu tersenyum tipis—sebuah senyum yang tak bisa ditebak apakah itu senyum meyakinkan atau justru sebuah perpisahan yang halus. “Kau lebih kuat daripada yang kubayangkan, Greta. Dan itu alasan aku tidak bisa melepaskanmu.” †** Sore itu, langit di luar jendela berwarna kelabu. Di dalam ruang keluarga besar, suasana jauh lebih dingin. Emyr duduk di sofa panjang dengan wajah datar, sementara di seberang neneknya, Nyonya Ruth—sosok wanita berambut perak, elegan, namun sorot matanya tajam bak pedang—menatapnya lekat-lekat. “Jadi, kabar itu benar?” suara Ruth rendah tapi menusuk. “Kau berhubungan dengan seorang model bernama Greta?” Emyr menghela napas berat. “iya nek…aku bisa menjelaskannya..." “Jelaskan?” Ruth menepuk tongkatnya ke lantai, nadanya meninggi. “Apa yang perlu dijelaskan? Seluruh majalah gosip sudah menulis namamu bersama perempuan itu. Foto-foto kalian tersebar, dan orang-orang mulai bertanya-tanya kenapa pewaris keluarga ini berubah jadi laki-laki yang tidak tahu malu!” Emyr terdiam, menunduk. Ia ingin membela Greta—wanita yang benar-benar ia cintai. Tapi ia tahu, setiap kata tentang cinta hanya akan dianggap omong kosong oleh neneknya. “Aku mencintainya,” akhirnya Emyr berkata lirih, tapi tegas. “Greta bukan seperti yang media katakan. Dia—” “Cukup!” potong Ruth dengan suara tajam. “Kau pikir cinta bisa menjaga nama baik keluarga ini? Kau pikir cinta bisa menutup mulut media, investor, dan rekan bisnis kita? Tidak, Emyr. Cinta itu rapuh. Yang bertahan hanyalah kehormatan dan kuasa.” Emyr mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. “Lalu apa yang Nenek inginkan dariku?” Ruth mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya menyala penuh perhitungan. “Aku ingin kau berhenti bertingkah seperti remaja mabuk cinta. Aku ingin kau memutuskan scandal itu. Emyr menatap neneknya, tatapannya getir. “nenek ku mohon jangan meminta ku memutuskan apa yang tidak bisa ku lakukan " Ruth menatap cucunya lekat lekat, cucu satu satu nya yang ia besar kan dengan kasih sayang Keheningan menekan ruang itu. Emyr memejamkan mata, hatinya memberontak. Emyr mengangkat wajahnya, matanya berkilat penuh tekad. “Untuk pertama kalinya, aku ingin memilih sendiri hidupku, Nek. Aku akan menikahi Greta. Dia bukan seperti yang Nenek pikirkan. Dia tulus.” Wajah Ruth memucat, amarah dan kecewa bercampur. “Kau berani menentangku? Selama ini aku yang membesarkanmu, mengajarkanmu arti tanggung jawab! Dan sekarang kau melupakan semua itu demi seorang perempuan?” Emyr menarik napas dalam, lalu menundukkan kepala sebentar sebelum kembali menatap lurus. “Aku tidak melupakan apa pun. Aku hanya tidak ingin hidup dalam bayang-bayang keputusan orang lain selamanya. Jika aku harus kehilangan segalanya demi Greta, aku siap.” Keheningan panjang jatuh. Nyonya Ruth terdiam, matanya berkaca-kaca—bukan hanya marah, tapi juga kecewa. Ia tidak terbiasa ditentang, apalagi oleh cucu yang paling ia andalkan. Akhirnya, dengan suara lirih namun tetap dingin, Ruth berkata, “Baiklah. Kalau itu pilihanmu, lakukan sesukamu. Tapi ingat, Emyr… sekali kau memilih jalur ini, kau akan kehilangan restuku.” Emyr menelan pahit, hatinya bergetar. Tapi bibirnya tetap berucap mantap, “Aku sudah siap, Nek.” Ruth memalingkan wajah, menyembunyikan air matanya. Untuk pertama kalinya, ia merasa kehilangan kendali atas cucunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD