[Nessa Falesia Renata]

1469 Words
"Dasar anak aneh," seorang cewek dengan kaki mulus menendang betisku, membuatku jatuh tersungkur. "Ngomong kok sama burung."  "Ih! Jangan sentuh dia! Lo mau ketularan sama penyakit jiwa dia?" Aku bangkit dan segera mengusap lutut yang terasa agak perih karna bergesekan dengan lantai kamar mandi. Kedua cewek itu pergi sambil cekikikan setelah memandangku dengan tatapan merendahkan. Aku hanya bisa mengedikkan bahu sekilas, cuek dengan apa yang terjadi. "Mereka siapa sih, Chy?" tanyaku seraya mendongakkan kepala. Archy, sahabatku satu-satunya, burung yang tak bisa terbang karna sayapnya yang terluka hanya bisa menatapku dengan kepala miring. "Yauda deh Chy, mereka mungkin iri sama persahabatan kita." Aku bangkit sembari menepuk-nepuk rok abu bagian belakang kemudian berjalan ke westafel dan membuka keran air. Archy yang tadinya bertengger di kepalaku langsung melompat dan bermain dengan air. Matanya menatapku dalam, memberikan isyarat padaku. "Oh, jangan sekarang deh, little bird," aku berkacak pinggang, menatapnya dengan penuh kekesalan. "Aku gabisa nemenin kamu mandi sekarang," bisikku seraya melirik sekitar. Wajah Archy terlihat sedih, dia merentangkan sayapnya sebentar lalu melompat dan keluar dari westafel. Aku menghela napas, mengangkat tubuh kecilnya sebelum menatap matanya dalam. "Gak boleh ngambek," kataku sambil menggoyangkan telunjuk ke kanan dan kiri. Seorang anak perempuan masuk ke dalam toilet, dia menatapku dengan satu alis terangkat. Memandangku dan Archy bergantian. "Apa? Kamu mau kenalan sama Archy?" tanyaku seraya menjulurkan Archy padanya. Orang-orang suka melihat Archy dengan sorot penasaran. Mereka pasti mau kenalan sama Archy, ya 'kan? Dia burung yang baik, lho. Gak pernah jahat sama aku. Tapi yang membuatku mengerutkan kening adalah, orang yang kuajak berkenalan dengan Archy pasti akan mendengus—seperti gadis itu. Dia kini sudah melengos pergi, membuatku mengerucutkan bibir. "Tiap ada orang yang mau kenal sama kamu kok malahan gitu sih," ujarku kesal, menendang tong sampah di salah satu sudut ruangan. "Mereka gak sopan banget sama kamu." Archy hanya berkicau lucu, membuatku tertawa dan meletakkannya di dalam saku baju. Ketika bel masuk terdengar, aku terlonjak kaget. "Archy! Saatnya kita perang!" ujarku semangat. Seperti mengerti perkataanku, Archy mengangguk dan segera berpegangan erat pada seragamku. Menurutku, ketika bel sekolah masuk terdengar adalah saatnya kita perang dengan pelajaran dan guru-guru yang sangat membosankan. Apa asiknya sih dengerin mereka ngomong trus kitanya cuma diam dan nulis? Kan bosen. Tapi demi Mama Papa yang kucinta, aku harus memasuki medan perang! Semangat, Rena! Aku merapatkan diri di dinding, menatap para siswa yang sedang berjalan hilir mudik menuju kelas mereka masing-masing. Ah bukan kelas, tapi medan perang. Kakiku melangkah perlahan, berjalan menyamping dengan punggung rapat ke dinding. "Rena." Deg. Suara itu. Pemilik suara yang selalu kuperhatikan akhir-akhir ini. Aku tidak mengerti, tapi setiap melihat dia jantungku seperti mau copot. Apa aku kena penyakit jantung ya? Bukannya menoleh, aku malah melebarkan kaki, bersiap untuk menjauhinya. Nevan. "Eits," dengan sigap Nevan menarik kerah bajuku."Mau kemana lo?" "Ke medan perang!" ujarku gugup. Nevan tak berkata apapun, tapi bisa kurasakan dia menaikkan alisnya. Itu kebiasaan dia yang sering kuperhatikan akhir-akhir ini jika dia bersamaku. "Maksud lo kelas ya?" tanyanya setelah berhasil berdiri tepat di hadapanku. Aku mengangguk berkali-kali namun pandanganku ke sepatu. Aku tak berani menatapnya, Tuhan. Dia terlampau ganteng. Rasanya aku mau lari keliling lapangan sambil teriak-teriak barengan sama Archy untuk memuaskan kegembiraan ini. "Kelas di sebelah sono, Rena," Nevan memutar tubuhku, "bukan arah sini." Aku berontak, berusaha melepaskan diri dari cengkraman Nevan. Dia pasti akan membawaku menjadi sandera Bu Arta yang galak itu! Kalau aku sampai tertangkap, bisa-bisa aku dihukum berdiri di depan selama peperangan berlangsung. Aku tak mau itu terjadi. Aku harus tak terlihat. Makanya aku harus berputar melewati taman belakang lalu masuk lewat jendela kelas. "Gamau! Nanti aku ditangkep sama Bu Arta!" "Gak ada yang nangkep elo," Nevan memutar kepalaku hingga tubuhku berbalik arah dan berjalan sesuai kehendaknya. "Ada! Aku selalu ditangkep sama dia kalo lagi ngobrol sama Archy di medan perang! Padahal 'kan aku harus memenangkan perang itu, Nev!" ujarku berapi-api. "Iya-iya-iya," katanya sambil memutar matanya malas. "Sekarang nurut aja ya sama gue, Pembimbing lo." Oh ya, aku lupa kasihtau. Nevan itu Pembimbing aku. Dia diperintahkan oleh Pak Robert—Wali Kelasku untuk menjagaku selama di sekolah. Aduh, aku 'kan gak akan kabur ke mana-mana. Lagian, aku gak ngerti juga deh, kenapa Nevan mau aja diperintah sama Pak Robert? Dunia ini penuh dengan misteri. ♥♥♥ "Archy, kamu mau ngapain?" Keningku berkerut dalam ketika melihat sahabatku kini berdiri menatap pohon yang biasa kugunakan untuk menatap matahari tenggelam kala sore hari. Aku melangkah perlahan mendekati Archy dan ikut duduk di pinggiran jendela. "Kamu mikirin apa?" tanyaku lagi, kini menatapnya yang berkedip-kedip lucu, paruhnya bergerak-gerak bersamaan dengan terdengarnya suara kicauan. "Hmm," aku mengusap dagu, "kamu mau terbang ya? Kamu kangen rumah?" Archy menganggukkan kepalanya dengan semangat yang membuatku tersenyum lebar. Aku mengedip-ngedip, mencari peralatan yang sekiranya bisa kugunakan untuk terbang. Ketika menemukan kardus kecil bekas Mama membeli kulkas kemarin, segera kuambil dan memegangnya di kedua tangan, seakan itu adalah sayapku sesungguhnya. Beberapa kali aku berpikir untuk terbang jauh, berlari dari orang-orang yang selalu saja menganggapku aneh. Aku tidak aneh. Aku hanya punya pola pikir yang berbeda dengan mereka semua. Mungkin, ini adalah saat yang tepat karena Archy juga ingin terbang bersamaku. Brukk. Pintu kamarku terbuka dengan keras. Membuatku kaget, kakiku menyandung pembatas jendela hingga aku berjalan mundur ke belakang. Ternyata itu Mama. "RENA! KAMU MAU APA?!" pekiknya histeris. Dia menatapku horor, seakan tak percaya dengan apa yang akan kulakukan saat ini. Aku memang ingin terbang, bersama Archy. Sebelum aku benar-benar terjatuh menghantam tanah, kepalaku terkena batang pohon yang biasa kududuki dan itu terasa sangat sakit. Hal terakhir yang kulihat sebelum semuanya menggelap adalah air mata Mama. Selain itu, aku juga melihat langit biru yang sangat indah. Dulu, aku selalu berpikir langit itu kosong, tak ada apapun. Tapi sekarang aku tau, selalu ada awan yang menghiasinya. Tapi, kenapa aku selalu sendirian? Hidupku kosong. ♥♥♥ Aku benar-benar sudah meninggal ya? Buktinya aja aku transparant gini tangannya. Aih, gapapa deh. Ini asyik loh! Sekarang aku bisa terbang, melayang dengan bebas tanpa memakai bantuan apapun. Ini menyenangkan! Tapi ada satu hal yang membuatku sedih. Mama dan Papa. Mereka daritadi hanya terdiam di lorong Rumah Sakit, saling memeluk dan menangis. Apa mereka sedih karna aku sudah tak ada disana? "Ma, Pa," panggilku, namun mereka tak mendengarnya. "Rena udah seneng loh sekarang di sini. Punya banyak temen. Mama Papa jangan sedih dong ..." Sekeras apapun aku mencoba untuk membujuk kedua orangtuaku untuk tersenyum, semua usahaku gagal. Tidak mendapatkan hasil yang kuinginkan. Archy bahkan hanya diam saja tuh di pojokan. Dia gak bisa liat aku ya? "Kakak." Anak gadis yang selalu mengikutiku itu saat ini sudah berdiri di sisiku. Dia memainkan jemarinya yang hanya tinggal setengah itu. Dia bilang sih katanya jari-jari dia putus saat kecelakaan mobil yang membuatnya meninggal. Tangannya itu terjepit pintu mobil dan akhirnya putus deh. Kasian sih, tapi ... "Kakak! Ayo kita main! Ih!" Tapi dia nyebelin banget. Bawel. Berisik. Manja. "Aku capek tau, aku 'kan pengen istirahat," ujarku setengah kesal. Sumpah. Aku sudah terlalu terbiasa sendirian—selain sama Nevan. Ah, dia bentar lagi dateng kayaknya nih. Asyik. Bisa liatin muka ganteng Nevan lagi. Kalo kata dokter, aku itu koma. Ah, aku gak ngerti deh. Intinya, sudah beberapa minggu ini aku hanya bisa melihat tubuhku tanpa bisa kembali masuk ke dalamnya. Hmm, aku cantik ternyata kalau lagi tidur. "KAKAK! AYO KITA MAIN!!" Kali ini wajah Rossie—nama gadis itu—berubah super menyeramkan. Dia marah. Wajahnya yang pucat itu kini semakin seram dengan bola mata yang berwaran merah menyala. Dia melotot. Rasanya aku mau mati saja sangking ketakutannya. Eh? Aku kan sudah mati. "Ayo deh, kita main," kataku malas. Baru saja aku akan melayang menembus tembok bersama dengan Rossie, suara langkah kaki Nevan terdengar dari kejauhan. Aduh! Rossie rese banget nih, aku jadi gabisa ketemu sama Nevan 'kan. Ah, gapapa deh. Besok bisa ketemu sama dia lagi. Tapi, baru saja aku mengalihkan pandangan dari Nevan, tubuhku ini terasa sangat sakit dan seperti tertarik ke suatu tempat. Aku gak bohong loh, buktinya aja Rossie sampai kaget karna melihatku yang merintih kesakitan. Apa Roh juga bisa merasakan sakit? ♥♥♥ Aku mengerjapkan mata beberapa kali ketika sadar tubuhku terasa sangat sakit saat ini. Rasanya sangat berat. Ketika pandanganku sudah mulai jelas, mataku menangkap sosok Rossie yang menatapku aneh. "Rossie ..." Kemana suaraku? Aduh, tenggorokan aku rasanya kering banget. Aku menoleh ke kanan, lalu ke kiri dan mengernyit bingung. Ini 'kan, kamar rawat dimana tubuhku berbaring. Bukannya aku tadi mau main sama Rossie ya? Kenapa bisa sampe sini? "Kakak jahat!" Rossie berteriak histeris tepat di telingaku lalu hilang bagitu saja dari pandangan. Nah, dia kenapa? Ini juga ... tanganku kenapa banyak selang? Jangan bilang kalo aku kembali? "Rena?" Aku tersentak kaget. Saat menoleh, kulihat Nevan menatapku tak percaya. Apel di piringnya yang sudah dikupas bahkan berhamburan dilantai. Dengan cepat dia memanggil dokter dan para suster. Memberitahukan semua orang bahwa aku telah sadar. Jadi benar, aku kembali hidup? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD